REVITALISASI PERTANIAN BALI

SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN
Drs. I Ketut Suweca, M.Si

1. Pendahuluan
Sudah banyak wacana belakangan ini yang membicarakan tentang pertanian Bali. Pertanian Bali, dikatakan kian surut peranannya dalam pembangunan Bali, karena orang tak lagi banyak yang tertarik menjadi petani, apalagi generasi muda. Dilihat dari perkembangan PDRB Bali dari tahun ke tahun tampaknya kontribusi sektor primer kian menurun, sedangkan sektor sekunder dan tersier semakin meningkat. Ini mengindikasikan semakin surutnya peranan sektor pertanian sekaligus juga kian menurunnya kontribusi pertanian dalam PDRB Bali dibandingkan dengan sektor industri dan jasa.
Memperhatikan perkembangan seperti itu, maka pihak-pihak yang peduli terhadap eksistensi pertanian Bali mengingatkan masyarakat untuk kembali ke pertanian dengan berbagai upaya revitalisasi yang mungkin dilakukan. Ajakan nuntuk kembali memperhatikan sektor pertanian tidak melulu datang dari masyarakat, bahkan juga kaum intelektual dengan mengambil prakarsa untuk mengakomodasi berbagai pemikiran demi membangun kembali pertanian Bali yang belakang mulai ditinggalkan karena orang tak tertarik menjadi petani dan berbagai alasan lainnya.
Universitas Udayana, misalnya, pada tanggal 18 September 2009 menggelar seminar yang bertema Revitalisasi Pertanian Bali dengan menghadirkan 150 orang dari kalangan stakeholder pertanian. Banyak gagasan yang muncul dalam seminar itu sebagaimana dilaporkan media Balipost tanggal 19 dan 20 September 2009. Tentu saja semua masyarakat Bali berharap agar hasil seminar itu dapat disarikan, lantas diteruskan kepada Pemerintah Prrovinsi Bali untuk kemudian diterjemahkan ke dalam kebijaksanaan di sektor pertanian Bali.
Harus diakui bahwa sudah banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota se-Bali untuk menjaga eksistensi pertanian Bali. Akan tetapi, semua itu masih jauh dari cukup kalau dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian Bali. Usaha-usaha pemerintah Daerah itu tetap harus dihargai sebagai langkah untuk menjaga dan melestarikan Bali dengan sektor pertaniannya. Namun, kiranya diperlukan kebijakan-kebijakan yang lebih sesuai,
intens dan komprehensif bagi tumbuh kembangnya sektor pertanian Bali ke depan mengantisipasi kian ditinggalkannya sektor ini dalam pembangunan Bali.
Jika diperhatikan laporan Bank Indonesia tentang Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Bali edisi November 2008, terlihat perkembangan PDRB Bali pada sektor pertanian adalah sbb. : pada tahun 2003 sebesar Rp. 5,666 triliun (T), tahun 2004 Rp. 6,011 T, tahun 2005 Rp. 6,887 T, tahun 2006 Rp. 7,463 T, tahun 2007 sebesar Rp. 8,266 T.
Selanjutnya, dapat dilihat kontribusi sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap PDRB Bali. . Data dalam laporan BI tersebut menunjukkan sbb. : pada tahun 2003 sektor Perdagangan Hotel dan Restoran berkontribusi terhadap PDRB Bali sebesar Rp.7,439 T, tahun 2004 Rp. 8,452 T, tahun 2005 Rp. 9,968 T, tahun 2006 Rp. 10,797 T, dan tahun 2007 sebesar Rp. 15, 267 T.
Sektor jasa memperlihatkan kontribusi terhadap PDRB Bali sbb.: tahun 2003 Rp. 4,382 T, tahun 2004 Rp.4,815 T, tahun 2005 Rp. 5,496 T, tahun 2006 Rp. 6,064 T, dan tahun 2007 Rp. 6,962 T.
Total PDRB Bali tanpa migas adalah sbb.: tahun 2003 sebesar Rp. 26,167, tahun 2004 Rp. 28,986 T, tahun 2005 Rp.33,946 T, tahun 2006 Rp.37,388 T dan tahun 2007 sebesar Rp. 46,712 T.
Apa yang dapat dilihat dari data di atas adalah bahwa secara kuantitatif kontribusi sektor pertanian Bali sesungguhnya relatif besar terhadap total PDRB Bali. Akan tetapi, kontribusi itu tidak terlalu mengesankan, berbeda dengan peningkatan yang terjadi pada dua sektor lainnya, baik sektor perdagangan maupun sektor jasa-jasa. Kalau dilihat pada sektor perdagangan, kontribusinya secara kuantitatif selalu mengalami peningkatan yang besar dan terus naik dari tahun ke tahun. Hal yang sama terjadi pula pada sektor jasa-jasa.
Melihat kecenderungan seperti di atas, bukanlah tidak mungkin peran sektor pertanian dalam pembangunan Bali secara terus-menerus akan berkurang yang pada akhirnya Bali harus mendatangkan beras dari luar daerah bagi warganya sendiri.
Dengan latar belakang di atas, maka dalam makalah yang sederhana ini pertama-tama akan diangkat kondisi obyektif sektor pertanian Bali berdasarkan data kuantitatif dan informasi yang berhasil dihimpun. Kondisi obyektif ini merupakan serangkaian tantangan bagi Bali dalam membangkitkan sektor pertaniannya. Selanjutnya, akan diketengahkan usulan berupa langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan dalam rangka merevitalisasi pertanian Bali sekaligus menjadikannya sebagai basis perekonomian Bali.

2. Kondisi Obyektif Pertanian Bali

2.1. Lahan Pertanian Bali Semakin Menyusut

Luas lahan persawahan di Bali pada tahun 2000 mencapai 85.777 hektar atau 15,23 persen dari seluruh luas wilayah. Jika dilihat dari jenis pengairannya, maka lahan sawah ter-irigasi merupakan lahan persawahan terbesar yang mencapai 98,77 persen dari luas lahan sawah. Kemudian disusul lahan persawahan tadah hujan 1,22 persen dan lahan sawah lainnya yang mencapai 0,01 persen. Namun , pada tahun 2002, luas lahan persawahan mengalami penurunan menjadi 81.416 hektar. Penurunan ini disebabkan karena semakin menyempitnya sawah irigasi yang disebabkan karena adanya alih fungsi lahan menjadi lahan pemukiman atau lahan industri dan lahan yang tidak diusahakan.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman menjadi penyebab utama semakin menyempitnya lahan persawahan di Bali. Hal ini terlihat dengan semakin luasnya pemukiman dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2000, luas lahan pemukiman mencapai 43.550 hektar, sedangkan tahun 2002 bertambah menjadi 44.758 hektar atau naik sebesar 2, 77 persen.
Dr. Made Antara, pada kesempatan sebagai penyaji dalam suatu seminar mengatakan, bahwa koversi lahan sawah sudah sangat mengkhawatirkan. Konversi, katanya, terjadi di daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Tahun 1977 luas lahan sawah 98.000 hektar, kini di tahun 1998 tinggal 87.850 hektar. Jadi, selama sepuluh tahun terjadi penyusutan lahan sawah sebanyak 10.150 hektar.
Berdasarkan data yang ada, luas lahan tegalan atau lahan kering di Bali mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, luas lading mencapai 127.428 hektar, kemudian meningkat sebesar 0,23 persen atau 127.723 hektar pada tahun 2001. Pada tahun 2002, luas lahan untuk ladang kembali meningkat menjadi 128.594 hektar atau sebsar 0,68 persen.
Belum diperoleh data untuk keadaan lahan pertanian sawah maupun lahan kering (ladang) untuk tahun 2003 hingga sekarang (2009). Kalau dilihat trend-nya, dapat diperkirakan bahwa lahan sawah dan lahan ladang secara terus-menerus mengalami penurunan luasannya. Hal ini terutama karena pengalihan lahan ke pemukiman, sebagai akibat semakin padatnya jumlah penduduk di Bali yang membawa konsekuensi pada kebutuhan akan pemukiman yang kian meningkat dari tahun ke tahun.

2.2. Pencemaran Sumberdaya Air

Di wilayah perkotaan, sudah banyak keluhan-keluhan dari masyarakat yang terkait dengan terjadinya pencemaran sumber daya air. Air yang dulunya dipakai untuk mengairi sawah, tidak bisa dimanfaatkan lagi. Persoalannya adalah karena telah terjadi pencemaran air oleh limbah industri, seperti misalnya pencelupan sablon, dan sebagainya. Pencemaran air ini dikhawatirkan akan semakin parah bersamaan dengan meningkatnya jumlah industri di beberapa lokasi, terutama di perkotaan. Di samping karena industri, pemukiman dan perhotelan juga memegang peran dalam kontribusi limbah ini.
Sungai dan saluran irigasi menjadi tercemar dan tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian karena mengandung unsur racun di dalamnya. Kalaupun, misalnya, air mengandung limbah ini terpaksa dimanfaatkan juga untuk pengairan, niscaya akan berdampak negatif terhadap produksi hasil pertanian, dan pada akhirnya berdampak jelek bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup yang mengkonsumsinya.

2.3. Lembaga Subak yang Mulai Berkurang

Luas lahan pertanian di Bali semakin tahun semakin berkurang. Diperkirakan setiap tahunnya terjadi penyusutan luas lahan pertanian seluas 1.000 hektar terutama untuk pemukiman. Penciutan luas lahan pertaniaan ini terbilang sangat pesat, terutama di lokasi seputar perkotaan. Salah satu pertimbangan petani menjual lahan pertaniannya, karena dipicu oleh harga tanah yang melambung tinggi dan hasil yang diperoleh dari pertanian kurang memadai. Ditengarai, petani cenderung menjual lahan pertaniaannya, dan uang yang diperoleh dari hasil pernjualan itu didepositokan di bank, sehingga mendapatkan bunga yang cukup besar setiap tahun yang besarnya jauh lebih tinggi dibandingkan hasil yang diperoleh kalau lahan itu dikelola sendiri.
Bertumbuhnya pemukiman di seputar kota berdampak pada lembaga irigasi yang bernama subak. Pemukiman cenderung menghambat saluran irigasi. Irigasi itu sendiri merupakan obyek utama garapan subak. Karena irigasi suda mati atau setengah mati, maka subakpun tidak bisa berperan. Akhirnya, lembaga subak kian lama kian berkurang jumlahnya bersamaan dengan berkurangnya lahan pertanian, juga berkurangnya sistem irigasi. Dengan kata lain, penciutan lahan pertanian berkorelasi positif terhadap berkurangnya organisasi subak di Bali. Orang yang tadinya adalah petani lambat laun beralih profesi menjadi pekerja di bidang lain, seperti sebagai buruh industri atau jasa.

2.4. Generasi Muda Enggan Bertani

Ada pendapat bahwa bertani di sawah tidak dapat mendukung peningkatan kesejahteraan petani. Berbeda dengan kalau bekerja di sektor industri atau jasa khususnya yang berkaitan dengan pariwisata. Hal ini disebabkan karena kecilnya luas lahan pertanian, dan rendahnya nilai tawar petani. Bagi generasi muda Bali, bekerja di luar sektor pertanian jauh lebih menarik dibandingkan dengan dalam keseharian bergelimang lumpur. Balum lagi harga hasil pertanian yang seringkali berfluktuasi, yang bukan tidak mungkin mengakibatkan kerugian yang cukup besar akibat anjloknya harga yang mungkin terjadi sewaktu-waktu.
Oleh karena itu, dapat dipahami kalau generasi muda desa terdorong pergi ke kota untuk mencari penghidupan di sektor luar pertanian. Mereka berharap kehidupannya akan dapat berubah menjadi lebih baik, tidak seperti orang tuanya yang setiap hari bergelimang lumpur dan dipandang kurang bergengsi di mata masyarakat. Kalau generasi muda pergi ke kota, maka yang tinggal di desa adalah generasi tua yang kurang produktif. Akibatnya, penanganan terhadap lahan pertanian menjadi tidak optimal, hasilnyapun tidak memadai. Hal ini bisa menjadi pemicu untuk dijualnya lahan pertanian itu dan uangnya ditabung di bank. Hasil akhinya adalah lahan pertanianpun kian berkuang dari tahun ke tahun bersamaan dengan berkurangnya minat generasi muda untuk menjadi petani dan memilih menjadi enaga kerja di sector industri dan jasa di kota.

2.5. Persaingan dalam Pemasaran Hasil Pertanian

Akan tiba waktunya Indonesia harus terbuka terhadap masuknya komoditi pertanian produk luar negeri. Sektor pertanianpun, mau tak mau, harus terbuka untuk investasi asing dan dituntut agar mampu bertahan dalam kondisi persaingan bebas tanpa subsidi dari pemerintah. Sekarang saja di pasar-pasar modern di sejumlah kota sudah mulai kebanjiran produk-produk pertanian seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan daging yang dihasilkan oleh petani asing yang dapat menggeser kedudukan produksi pertanian yang dihasilkan oleh petani-petani negeri kita sendiri.
Keadaan ini kian lama akan kian terasa dampaknya bersamaan dengan derasnya produk pertanian asing masuk ke Indonesia. Kalau produk pertanian dari petani-petani kita tidak mampu meningkatkan kualitasnya, maka cepat atau lambat daya saing produk pertanian Bali akan jauh menurun. Kalau hal ini terjadi, maka dapat diperkirakan akibatnya terhadap animo generasi muda untuk bertani, luas lahan pertanian, dan akibat ikutan lainnya.

3. Revitalisasi Pertanian Bali

Tantangan pertanian Bali demikian kompleks. Satu dengan yang lain saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Tantangan yang satu berkeit erat dengan tantangan yang lainnya. Oleh karena itu, penanganannyapun semestinya dilakukan secara komprehensif dan holistik. Semua pihak terkait mesti bergerak menuju bangkitnya pertanian Bali. Tak hanya petani yang berjuang sendiri, bahkan terutama pemerintah dengan segala kebijakannya yang berpihak kepada petani. Demikian pula berbagai pihak terkait lainnya yang bersentuhan dengan pertanian, baik langsung maupun tak langsung, mesti fokus untuk memajukan pertanian. Gagasan, komitmen, gerakan bersama sangat diperlukan untuk maju bersama. Sinergitsitas tak bisa diabaikan dalam konteks ini.
Jika dirinci lebih jauh, maka ada beberapa langkah strategis yang dapat diusulkan demi berlangsungnya revitalisasi pertanian Bali ke depan.



3.1. Intensifikasi Pertanian Bali

Seperti dipaparkan dalam kondisi obyektif pertanian Bali di atas, lahan pertanian sudah semakin menciut. Pengurangan lahan itu karena dipakai untuk lahan pemukiman , perhotelan, dan sebagainya. Tentu saja tidak ada kemungkinan bagi Bali untuk memperluas lagi lahan pertanian yang sudah terlanjur dialihfungsikan untuk keperluan lain.
Dalam menghadapi sempitnya lahan pertanian ini, pertama-tama harus dibatasi terjadinya pengalihfungsian lahan lag, terutama lahan-lahan pertanian yang produktif. Diperlukan peraturan dan pengawasan yang ketat terhadap pemanfaatana lahan yang ada. Berbagai upaya bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengerem pengalihan fungsi lahan pertanian, diantaranya dengan memberikan keringanan pajak tanah pertanian, insentif pupuk, bibit unggul, dan bantuan teknologi pertanian.
Terhadap lahan yang terbatas ini, sebaiknya dilakukan pendekatan pertanian yang berbasis teknologi sehingga lebih dimungkinkan terwujudnya peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian. Sekadar contoh, Denmark dan New Zealand adalah dua negara yang memajukan ekonominya dengan berbasiskan pertanian, tanpa merasa perlu mengembangkan industri besar. Toh dengan pertanian berteknologi maju, kedua negara itu dapat menghidupi warga negaranya dan memajukan negerinya sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Untuk di dalam negeri dapat dilihat Provinsi Gorontalo saat dipimpin Gubernur Fadel Muhammad, yang telah menjadikan sektor pertanian, khususnya produk jagung selain dinikmati oleh masyarakat setempat, juga diekspor ke Malaysia, Singapura, Filipina, dan Korea Selatan.

3.2. Stop Pencemaran Sumber Daya Air

Belakangan ini, air sudah menjadi barang yang makin langka dan semakin mahal. Beberapa media massa bahkan memberitakan beberapa daerah di Bali dilanda kekeringan dan mengancam ketahanan pangan penduduk. Fenomena kelangkaan air ini sudah terjadi sedemikian rupa, belum lagi air yang ada mengalami pencemaran Bagaimana manusia bisa hidup sehat kalau makana yang dimakan berasal dari hasil pertanian yang diairi oleh air yang telah tercemar oleh limbah industri? Bagamana manusia Bali bisa sehat kalau air yang diminum oleh sebagaian besar pendududknya sebenarnya adalah air yang tak layak minum karena tercemar oleh kandungan yang merusak kesehatan peminumnya?
Oleh karena itu, air mesti dijaga dan dilestarikan. Jangan sampai tercemar. Penanaman pohon seharusnya lebih digalakkan. Penyedotana air bawah tanah semestinya dibatasi. Penggundulan hutan selayaknya dihindari. Dan, pemanfaatan air seyogianya dibatasi. Upaya-upaya apapun yang dilakukan demi melestarikan sumber daya air ini hendaknya tak pernah berhenti.

3.3. Menjaga Kelestarian Subak

Bersamaan dengan berkurangnya lahan pertanian, lambat laun lembaga subak bisa jadi akan menjadi catatan masa lalu di Bali. Keberadaan subak kian lama bukannya kian eksis, melainkan kian tenggelam oleh gemuruhnya sektor industri. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya-upaya pemberdayaan terhadap lembaga irigasi tradisional Bali ini guna meningkatkan kemampuannya mengahadapi berbagai tantangan masa kini dan masa datang.
Kalau ditilik lebih jauh, banyak hal yang dapat dibanggakan dengan keberaadaan subak ini. Diantaranya, di dalam subak ada semangat gotong royong yang tinggi, organisasinya yang relatif mantap karena tanggung jawab dan wewenang pengurus dan anggotanya sangat jelas, di samping karena menjunjung tinggi budaya Bali yang berfalsafah Tri Hita Karana. Dengan potensi internal seperti itu, maka dapat diharapkan bahwa subak akan mampu berperan dalam melestarikan pertanian Bali.
Perhatian pemerintah terbilang sudah cukup baik terhadap subak ini, melalui berbagai pembinanan dan bantuan yang diberikan. Ke depan, komitmen untuk menjaga dan melestarikan sistem irigasi pertanian yang satu-satunya di Bali ini, mesti lebih dimantapkan. Subak mesti lebih berdaya dalam mengajegkan pertanian Bali, sehingga untuk bisa berperan seperti itu, maka subak harus didukung penuh oleh pemerintah dan masyarakat Bali. Tentu saja tak satupun dari masyarakat Bali menghendaki hilangnya subak ini. Karena, kalau subak ini punah, maka pertanian Bali pun akan lenyap. Begitu pula sebaliknya. Keduanya hanya akan tinggal dalam catatan sejarah.

3.4. Mendorong Generasi Muda Berkiprah di Pertanian

Seperti dikatakan Prof. Dr. I Wayan Windia, Guru Besar Pertanian Universitas Udayana, bahwa revitalisasi itu seyogianya menekankan bagaimana menjadikan sektor pertanian itu mempunyai daya tarik bagi para generasi muda Bali. Persoalannya adalah bagaimana mengajak dan mendorong generasi muda bersedia bekerja di sektor pertanian. Ini sepertinya sebuah pekerjaan sulit di tengah-tengah daya tarik sektor industri, pariwisata, perdagangan dan jasa yang kian pesat perkembangannya. PDRB Bali sendiri sudah menunjukkan kecendrungan betapa kontribusi sektor pertanian terus-menerus berkurang sedangkan sektor sekunder dan tersier kian meningkat. Walaupun relatif sulit mengajak generasi muda bekerja di sektor pertanian, upaya yang stimulus ke arah itu harus terus dilakukan tanpa pernah surut.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi didorong untuk membuka jurusan pertanian. Para mahasiswa yang masuk disitu diberikan beasiswa selama studi. Di dalam studi para mahasiswa hendaknya dibekali keahlian mengolah lahan pertanian dengan teknologi, dan merekayasa tanaman sehingga dapat menghasilkan buah-buahan, sayur-sayuran dan produk pertanian lainnya dengan kuantitas dan kualitas yang jauh lebih bagus. Penelitian di bidang pertanian perlu dikembangkan. Di samping itu, kepada para mahasiswa juga diberikan keahlian manajemen dan entrepreneurship dalam mengelola pertanian dan hasilnya. Perlu dilakukan berbagai upaya agar generasi muda Bali tertarik dengan pertanian dan bangga menjadi petani.

3.5. Meningkatkan Kemampuan Bersaing di Pasar

Pengelolaan pertanian dengan menggunakan teknologi maju tentu saja diharapkan akan dapat meningkatkan produk pertanian Bali, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas yang memadai dan kualitas yang memenuhi tuntutan pasar, dengan sendirinya akan membawa produk pertanian itu mampu bersaing. Apalagi, dengan teknologi pula, dilakukan pengolahan terhadap hasil-hasil pertanian sehingga menjadi produk dengan nilai tambah. Anggur bisa diubah menjadi wine, pisang dan nangka bisa diubah menjadi kripik dan dodol, serta melon, jeruk, dan sejenisnya dapat diolah menjadi juice.
Jadi, pertama-tama, dalam bertani para petani sudah harus menerapkan teknologi maju. Selanjutnya, dalam pengolahan hasil pertanian juga dengan teknologi sehingga mendapatkan produk yang mampu bersaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini, mau tak mau harus dilakukan, mengingat dalam perdagangan bebas produk pertanian dalam negeri harus sanggup bersaing dengan produk pertanian dari negara lain. Indonesia dan khususnya Bali, mungkin harus belajar banyak dari negara-negara yang telah maju yang berbasis pada sektor pertanian.

4. Menjadikan Sektor Pertanian Sebagai Basis Perekonomian Bali

Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menyadari kemunduran yang dialami oleh sektor pertanian. Itu pula alasan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan untuk lima tahun ke depan.
Dokumen revitalisasi itu sangat starategis, tetapi belum jelas bagaimana kebijakan revitalisasi itu dituangkan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah, kemudian diturunkan dalam rencana pembangunan tahunan, hingga bisa dialokasikan dalam anggaran pandapatan dan belanja pemerintah pusat dan daerah. Tanpa diturunkan sampai ke level kebijakan operasional dan anggaran, implementasi peletakan dasar revitalisasi sebagai proses yang berkelanjutan sulit dilakukan.
Revitalisasi seharusnya menjadikan pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi. Artinya, sektor-sektor ekonomi non pertanian juga diarahkan untuk mendukung pertanian, termasuk soal pembiayaan sektor pertanian oleh bank dan lembaga keuangan nonbank. Menurut Dr. Made Antara, dukungan perbankan sangat rendah terhadap sector pertanian. Di Indonesia tidak ada perbankan pertanian. Berbeda dengan di Thailand ada bank of agriculture.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Windia, pengembangan sektor pertanian selama ini kurang menggembirakan. Kesalahan utama terletak pada orientasi kebijakan ekonomi Bali yang kurang akrab dengan pengembangan pertanian. Sektor pertanian, kata Prof. Windia, cenderung kurang diperhatikan dibandingkan dengan sektor lainnya.. “Memang agak kontradiktif, Indonesia yang mempunyai sumberdaya alam (pertanian) yang sangat besar, justru menjadi negara importir beberapa komoditi yang sebenarnya dapat kita produksi di dalam negeri, seperti buah-buahan, daging sapi, terigu, gula, beras, bahkan sampai garam,” ujarnya pada suatu kesempatan seminar sebagaimana dikutip Balipost (2/9/09).
Selanjutnya dikatakan, bahwa komoditas-komoditas tersebut produksinya dapat ditingkatkan sampai pada tingkat swasembada, jika pemerintah menggarap pertanian secara serius. “Walaupun ada program revitalisasi pertanian, sampai kini juga belum banyak membawa perubahan di sektor pertanian. Ini sangat merisaukan kita bersama,” tambah Prof. Windia.
Dikatakannya, selama dua dekade terakhir pemerintahan Orde Baru telah memposisikan sektor pertanian hanya sebagai “pendukung” sector lain, bukan sebagai “mesin penggerak” pertumbuhan perekonomian. Melihat hal itu, perlu dirumuskan kembali strategi pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan ekonomi Bali. Pembangunan ekonomi Bali ke depan harus berbasis pertanian dan pangan. Masih banyak peluang yang bisa dilakukan kalau sektor pertanian di Bali mau maju. Selama ini, konsep pembanguan ekonomi Bali mengarah ke sektor jasa dan industri, dan belum berhasil dalam menopang sektor pertanian untuk meningkatkan nilai tambah. Sudah saatnya dilakukan perombakan pembangunan ekonomi Bali dari yang sebelumnya kurang mempedulikan sektor pertanian menjadi pro-pertanian. Demikian juga industri hilir pertanian, seperti industri pengolahan produk pertanian, perlu mendapat perhatian yang serius dalam rangka meningkatkan daya saing pertanian.
Diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis oleh pemerintah daerah yang didukung masyarakat Bali untuk memajukan pertanian dalam arti luas. Pertanian jangan lagi ditempatkan sebagai pendukung sektor lainnya. Jika hanya sekadar pendukung, anggarannya tentu saja tak perlu banyak. Ini adalah kesalahan fatal dalam memajukan pertanian Bali. Sebagaimana dikatakan Dr. Made Antara, bahwa dalam pengembangan pariwisata, misalnya, tanpa mengutamakan sektor pertanian akibatnya sangat fatal. Pariwisata adalah berkah bagi masyarakat Bali sebagai daerah yang miskin sumber daya alam, semenrata pertanian adalah asset (budaya dan ekonomi) bagi pariwisata. Jika pertanian hancur atau punah, maka wisatawan tak akan tertarik lagi datang ke Bali.
Dibutuhkan komitmen Pemerintah Daerah Bali untuk membuat berbagai kebijakan yang memihak pada pertanian. Lembaga pendidikan tinggi tak boleh tinggal diam, melainkan harus menjadi “menara air” yang dapat memberikan gagasan-gagasan segar dan inovasi berteknologi maju di bidang pertanian demi kesejahteraan bersama. Masyarakat petani dengan lembaga subaknya mesti tetap tangguh sehingga pertanian Bali dapat terjaga dan maju. Akhirnya, setiap komponen yang secara langsung manupun tidak langsung bersentuhan dengan pertanian, mesti bergerak bersama dalam menghadapi tantangan yang menghadang dan mengukir harapan menuju pertanian Bali yang maju, ajeg dan mampu mensejahterakan warganya.


5. Penutup

Berbagai tantangan dihadapi oleh pertanian Bali tatkala ada niat baik untuk melakukan revitalisasi terhadapnya. Diantaranya, menciutnya lahan pertanian, pencemaran air, terancamnya lembaga subak, generasi muda yang enggan bertani, dan sebagainya. Semua tantangan itu harus dijawab dengan berbagai upaya yang bersungguh-sungguh.
Diperlukan komitmen, kebijakan dan langkah-langkah yang sinergis sehingga pertanian Bali benar-benar dapat menjadi kebanggaan masyarakat Bali sendiri dengan berbagai keunggulan di dalamnnya. Sektor pertanian hendaknya tidak lagi sekadar berposisi sebagai pendukung bagi sektor lainnya, melainkan seyogianya mampu menjadi basis penggerak sektor-sektor lainnya.
Setiap komponen yang secara langsung manupun tidak langsung bersentuhan dengan pertanian, mesti memiliki komitmen dan bergerak bersama dalam menghadapi tantangan yang menghadang sekaligus mengubah harapan menjadi kenyataan, yakni terwujudnya pertanian Bali yang maju, ajeg dan mampu mensejahterakan warganya.



Sumber Bacaan

Irawan, Suparmoko, 2002. Ekonomika Pembangunan, (Edisi Keenam), Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.

Panitia Pengkajian Strategi Pembangunan Ekonomi Bali, 2003. Strategi Pembangunan Ekonomi Bali, Kerjasama DHD 45 Bali-ISEI Bali-FE UNUD, Denpasar.

Citra Lintas Nusantara (Edisi Februari 2007), Depkominfo RI, Jakarta.

Sutawan Nyoman, Eksistensi Subak di Bali: Mampukah Bertahan Menghadapi Berbagai Tantangan (Makalah),

http://balipost.co.id. Revitalisasi Pertanian Bali, UNUD Siapkan Kajian Akademik

Upaya Revitalisasi Pertanian Bali (Tajuk Rencana), Bisnis Bali, 17 September 2009

Revitalisasi Sektor Pertanian: Membangkitkan Pertanian Bali dari Kebangkrutan, Balipost, 18 September 2009.

Statistik Ekonomi Keunangan Daerah Provinsi Bali Edisi November 2008, Bank Indonesia, Jakarta.

0 Response to "REVITALISASI PERTANIAN BALI"

Posting Komentar