Bali “Clean and Green” dan Pembangunan Berkelanjutan

Oleh I Ketut Suweca

Gema gerakan Bali Clean and Green sudah mulai bergaung. Masyarakat sebagaian besar telah mengetahui hal ini melalui media massa. Tetapi gaung itu baru sebatas tahapan informasi/pengetahuan, belum banyak direspons ke tingkat implementasi. Oleh karena itu, sosialisasi gerakan ini yang disertai dengan contoh-contoh implementasi konkret di lapangan sangat dibutuhkan. Ini penting dalam rangka menggugah semua komponen masyarakat berperan aktif, misalnya dimulai dengan menanam sebuah pohon di pekarangan rumah masing-masing. Ajakan dan gerakan-gerakan real menjadi perlu agar kebijakan yang baik ini dapat bergulir dan sungguh-sungguh dilaksanakan oleh masyarakat Bali secara bahu-membahu dan berkesinambungan.
Kebijakan menuju Bali Clean dan Green benar-benar gagasan visioner dan penting, mengingat kini pembangunan di Bali sudah banyak sekali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti problema penanganan sampah, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, polusi udara yang menyesakkan, dan masih banyak lagi permasalahan di seputar kebersihan dan lingkungan. Tanpa kesungguhan untuk mengiplementasikan kebijakan itu melalui gerakan bersama, maka tak pelak lagi, Bali bukan tidak mungkin akan menjadi wilayah yang bopeng dan kumuh. Kalau sudah demikian, apa yang dapat kita banggakan lagi tentang Bali di masa datang?


Gerakan Bali Clean
Seperti dipaparkan di atas, Bali sudah kotor di sana-sininya. Perhatikanlah di beberapa sudut kota-kota di Bali. Masuklah ke gang-gang atau lorong-lorong kecil. Atau, lihatlah di beberapa titik di pinggiran kota, seperti Denpasar. Di situ tak sulit bagi pembaca untuk menemukan pemukiman-pemukiman kumuh yang kebanyakan dihuni oleh para pendatang. Bedeng-bedeng berderet-deret. Sampah berserakan. Bau menyengat menusuk hidung. Sanitasi benar-benar tak diperhatikan.
Dipahami bahwa permasalahan kebersihan lingkungan ini demikian kompleks. Kepadatan penduduk dengan kehadiran penduduk pendatang di samping memacu laju pertumbuhan perekonomian Bali, juga menyisakan problem kependudukan dan persoalan sanitasi dan tata ruang. Karena kebanyakan para pendatang tak cukup bekal untuk membeli rumah yang layak huni tetapi ingin menetap di Bali untuk nyambut gawe, akhirnya sebagaian dari mereka memilih tinggal di ‘rumah’ yang dibuat sekadarnya dengan menyewa tanah yang dimiliki penduduk asli. Menyedihkan sekali melihat Bali seperti ini. Di permukaan tampak asri dan apik, di belakang ternyata sudah mulai terdapat bagian-bagian yang kumuh dan kotor. Di sinilah gerakan Bali Clean menjadi sangat relevan dilaksanakan.
Gerakan Bali Green
Seperti halnya kebersihan, aspek kehijauan juga perlu mendapatkan perhatian. Bali yang hijau tentu bukan karena di-cat hijau, melainkan lantaran Bali yang memelihara alamnya yang masih pure and natural sehingga tampak hijau. Penghijauan lingkungan sangat diperlukan, di samping karena alasan menjaga keindahan pemandangan alam yang dapat dinikmati oleh manusia Bali atau wisatawan, juga agar Bali menjadi lebih sehat dalam kualitas hidup manusia dan alamnya. Penanaman satu orang satu pohon kiranya ide yang sangat bagus. Kalau ini dilakukan secara berkesinambungan, niscaya Bali akan benar-benar menjadi Pulau Seribu Pura nan hijau. Udaranya bersih dan menyegarkan bagi semua orang yang menghirupnya.
Salah satu upaya menuju Bali Green adalah dengan memperhatikan pertaniannya. Sektor pertanian yang terjaga adalah salah satu cara untuk memelihara Bali agar senantiasa hijau. Pertanian sudah terbukti mampu menghidupkan para petani Bali. Dari pertanian dalam arti luas, dihasilkan beras dan bahan pangan lainnya. Cengkeh, kopi, anggur, mangga, sayur-mayur adalah sebagain saja dari hasil pertanian Bali. Maka, harus dijaga agar Bali tetap lestari dengan pertaniannya, juga supaya Bali tetap ajeg dengan kehijauannya. Dari sisi ketahanan ekonomi pun telah terbukti para petani kita mampu bertahan tatkala krisis ekonomi melanda dunia, bahkan menjadi tumpuan hidup saat penghasilan dari sektor pariwisata sedang anjlok.
Kalaupun sekarang Bali mengandalkan dunia pariwisata sebagai sumber penghasilan bagi sebagian penduduknya, sebaiknya pariwisata semakin bersinergi dengan sektor pertanian. Bentuk realnya diantaranya menerapkan agrowisata, desa wisata, dan sejenisnya, dengan memanfaatkan panorama alam dan hasil pertanian sebagai daya tarik. So, keep Bali natural!

Pembangunan Berkelanjutan
Bali perlu senantisa dibangun dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan seyogianya tidak melulu mengutamakan pertumbuhan ekonomi sehingga akan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, melainkan juga dengan serius memikirkan kesinambungannya di masa depan. Jangan sampai pembangunan menyisakan kerusakan alam lingkungan yang parah yang kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya. Eksternalitas negatif pembangunan harus senantiasa berusaha ditekan sekecil mungkin.
Tujuan Gerakan Bali Clean and Green sejalan dengan pembangunan Bali secara berkelanjutan. Kedua pola aktivitas ini sama-sama menuju Bali yang lestari. Untuk mencapai keberhasilan, dibutuhkan sinergi, baik dalam penyusunan program maupun dalam pelaksanaanya. Semua komponen masyarakat di Pulau Dewata perlu dilibatkan dalam gerakan ini.
Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi penggugah bagi kita semua untuk segera memulai dan tidak saling menunggu. Mari selamatkan Bali dari kekumuhan dan selamatkan Bali dari eksploitasi alam yang berlebihan. Jadikan Bali hijau, bersih, asri berseri.
Catatan : Tulisan ini telah dimuat di koran Bali Express, tgl 18 September 2010, hal. 4.
Read more ...

Menuju Kehidupan yang Tenteram dalam Kebhinekaan

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si


Kalau diperhatikan data yang ada, (Kompas, 6 Sept. 2010, hal 8.) tercatat bahwa tahun 2007 jumlah kasus kekerasan oleh ormas di Indonesia sebanyak 10 kasus, tahun 2008 menurun menjadi 8 kasus, tahun 2009 sebanyak 40 kasus, dan belum berakhir tahun 2010 jumlah kasus kekerasan oleh ormas sudah mencapai angka 49 kasus.
Tentu saja tidak semua ormas melakukan tindak kekerasan. Masih banyak ormas yang baik dan mentaati aturan hukum yang berlaku dan melakukan penyaluran aspirasi dengan cara-cara yang santun dan terhormat. Sebut saja misalnya ormas-ormas kepemudaan, kepramukaan, dan lingkungan. Juga, organisasi internal keagamaan yang selalu berupaya menumbuhkan solidaritas intern dan antarumat beragama, dan organisasi profesi yang telah menyampaikan aspirasinya dengan baik. Akan tetapi, ada saja segelintir oknum dan/atau organisasi kemasyarakatan yang melakukan tindak kekerasan atau premanisme untuk mencapai tujuannya. Mereka memilih melakukan demonstrasi dengan kekerasan dan mengintimidasi kelompok lain yang tidak sepaham dengannya dengan kekerasan. Oknum dalam organisasi atau organisasi semacam ini bukanlah sedang menumbuhkan proses demokrasi menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya: merusak tatanan demokrasi, mengingkari kebhinekaan, dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi kekerasan seperti itu? Pertama, memperbaiki atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mendasari keormasan termasuk peraturan pelaksanaannya. UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur oraganisasi keormasan sudah cukup berumur, sehingga mungkin sudah waktunya untuk direvisi/disesuaikan dengan kebutuhan/tuntutan zaman. Di satu sisi, kiranya perlu dilakukan penguatan kewenangan pemerintah dalam mengawasi, membekukan, bahkan membubarkan ormas yang terbukti mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain, perubahan/pembaharuan yang dilakukan jangan sampai mengenyampingkan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi masyarakat. Tugas ini menjadi sangat penting, sebab ketiga kebebasan itu itu merupakan kebebasan dasar yang fundamental bagi berlangsungnya sistem politik yang demokratis. Tugas memadukan dua sisi yang berbeda inipun menjadi tidak mudah, sehingga diperlukan kedalaman pemahaman dan kearifan para perumusnya.
Kedua, lebih mengintensifkan pembinaan terhadap ormas-ormas yang ada, terlebih-lebih terhadap ormas yang acapkali melakukan tindak kekerasan. Pembinaan yang dilakukan berisi seputar aturan keormasan dengan segala sanksi yang akan diambil apabila melakukan kekerasan. Dalam pembinaan tersebut, seyogianya diingatkan kepada mereka untuk kembali kepada fungsi keberadaan ormas dan menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak lainnya dalam mencapai tujuan. Pemahaman, penghayatan terhadap nilai-nilai moral dan kemanusiaan sangat perlu diberikan sehingga dalam gerakannya lebih dipilih cara-cara yang terhormat. Mereka harus paham bahwa segala tindakannya yang berbau kekerasan atau premanisme, apapun dalihnya, akan meresahkan masyarakat. Keadaan tidak akan menjadi lebih baik apabila cara-cara yang dipilih untuk merespon keadaan tersebut adalah cara-cara kekerasan. Bahwa tindakan mereka itu bukanlah demokrasi yang sedang dipraktekkan, melainkan pemaksaan kehendak yang mengoyak-ngoyak sistem demokrasi yang sedang ditumbuh-kembangkan di negeri ini.
Ketiga , tapi tak kalah pentingnya, adalah perlunya tindakan berani dan tegas dalam penegakan hukum. Law enforcement harus dilakukan. Tindakan tegas terhadap ormas yang melakukan tindak kekerasan dapat berefek jera bukan hanya terhadap ormas yang bersangkutan, bahkan juga terhadap ormas lainnya. Mereka akan berpikir berkali-kali kalau berniat melakukan tindakan anarkhis. Tindakan tegas dan berani ini sudah lama menjadi idaman masyarakat, sehingga dengan begitu diharapkan kehidupan bersama dalam kebhinekaan menjadi lebih nyaman dan tenteram.

Catatan : Tulisan ini telah dimuat di koran Bali Post, tgl 14 September 2010, hal. 6.
Read more ...

Dari Emile Durkheim hingga Karl Popper (Tinjauan Pemikiran Filsafat Penelitian)

Critical Review
I Ketut Suweca



I. Pengantar
Tulisan ini merupakan pokok-pokok pikiran para ahli filsafat/pemikir dunia. Diantara begitu banyak para tokoh pemikir, hanya 5 (lima) tokoh yang dikemukakan di sini. Kelima tokoh tersebut berturut-turut meliputi Emile Durkheim, Otto Neurath, Carl G. Hempel, Ernst Nagel, dan Karl Popper. Tentu saja tidak seluruh pemikiran atau pandangan mereka ditulis, melainkan hanya sebagian kecil saja yang diformat ke dalam bentuk ringkasan dan critical review-nya. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat pula bagi para pembaca.


II. Emile Durkheim: Apakah Fakta Sosial Itu? (1895)

2.1. Ringkasan Pemikiran:

Sebelum kita menanyakan metode apa yang cocok untuk meneliti fakta sosial, kita perlu mengetahui fakta-fakta mana yang umumnya disebut fakta-fakta sosial. Informasi ini penting sekali karena kata ’sosial’ digunakan dengan presisi yang kurang tepat. Kata tersebut praktisnya digunakan untuk semua fenomena yang berkaitan dengan masyarakat,
Read more ...

Menuju Kehidupan yang Tenteram dalam Kebhinekaan

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si

Kalau diperhatikan data yang ada, (Kompas, 6 Sept. 2010, hal 8.) tercatat bahwa tahun 2007 jumlah kasus kekerasan oleh ormas di Indonesia sebanyak 10 kasus, tahun 2008 menurun menjadi 8 kasus, tahun 2009 sebanyak 40 kasus, dan belum berakhir tahun 2010 jumlah kasus kekerasan oleh ormas sudah mencapai angka 49 kasus.
Tentu saja tidak semua ormas melakukan tindak kekerasan. Masih banyak ormas yang baik dan mentaati aturan hukum yang berlaku dan melakukan penyaluran aspirasi dengan cara-cara yang santun dan terhormat. Sebut saja misalnya ormas-ormas kepemudaan, kepramukaan, dan lingkungan. Juga, organisasi internal keagamaan yang selalu berupaya menumbuhkan solidaritas intern dan antarumat beragama, dan organisasi profesi yang telah menyampaikan aspirasinya dengan baik. Akan tetapi, ada saja segelintir oknum dan/atau organisasi kemasyarakatan yang melakukan tindak kekerasan atau premanisme untuk mencapai tujuannya. Mereka memilih melakukan demonstrasi dengan kekerasan dan mengintimidasi kelompok lain yang tidak sepaham dengannya dengan kekerasan. Oknum dalam organisasi atau organisasi semacam ini bukanlah sedang menumbuhkan proses demokrasi menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya: merusak tatanan demokrasi, mengingkari kebhinekaan, dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi kekerasan seperti itu? Pertama, memperbaiki atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mendasari keormasan termasuk peraturan pelaksanaannya. UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur oraganisasi keormasan sudah cukup berumur, sehingga mungkin sudah waktunya untuk direvisi/disesuaikan dengan kebutuhan/tuntutan zaman. Di satu sisi, kiranya perlu dilakukan penguatan kewenangan pemerintah dalam mengawasi, membekukan, bahkan membubarkan ormas yang terbukti mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain, perubahan/pembaharuan yang dilakukan jangan sampai mengenyampingkan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi masyarakat. Tugas ini menjadi sangat penting, sebab ketiga kebebasan itu itu merupakan kebebasan dasar yang fundamental bagi berlangsungnya sistem politik yang demokratis. Tugas memadukan dua sisi yang berbeda inipun menjadi tidak mudah, sehingga diperlukan kedalaman pemahaman dan kearifan para perumusnya.
Kedua, lebih mengintensifkan pembinaan terhadap ormas-ormas yang ada, terlebih-lebih terhadap ormas yang acapkali melakukan tindak kekerasan. Pembinaan yang dilakukan berisi seputar aturan keormasan dengan segala sanksi yang akan diambil apabila melakukan kekerasan. Dalam pembinaan tersebut, seyogianya diingatkan kepada mereka untuk kembali kepada fungsi keberadaan ormas dan menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak lainnya dalam mencapai tujuan. Pemahaman, penghayatan terhadap nilai-nilai moral dan kemanusiaan sangat perlu diberikan sehingga dalam gerakannya lebih dipilih cara-cara yang terhormat. Mereka harus paham bahwa segala tindakannya yang berbau kekerasan atau premanisme, apapun dalihnya, akan meresahkan masyarakat. Keadaan tidak akan menjadi lebih baik apabila cara-cara yang dipilih untuk merespon keadaan tersebut adalah cara-cara kekerasan. Bahwa tindakan mereka itu bukanlah demokrasi yang sedang dipraktekkan, melainkan pemaksaan kehendak yang mengoyak-ngoyak sistem demokrasi yang sedang ditumbuh-kembangkan di negeri ini.
Ketiga , tapi tak kalah pentingnya, adalah perlunya tindakan berani dan tegas dalam penegakan hukum. Law enforcement harus dilakukan. Tindakan tegas terhadap ormas yang melakukan tindak kekerasan dapat berefek jera bukan hanya terhadap ormas yang bersangkutan, bahkan juga terhadap ormas lainnya. Mereka akan berpikir berkali-kali kalau berniat melakukan tindakan anarkhis. Tindakan tegas dan berani ini sudah lama menjadi idaman masyarakat, sehingga dengan begitu diharapkan kehidupan bersama dalam kebhinekaan menjadi lebih nyaman dan tenteram.

Catatan : Tulisan ini telah dimuat di koran Bali Post, tgl 14 September 2010, hal. 6.
Read more ...

Menulislah dengan Ide Orisinal

Oleh I Ketut Suweca

Pertama-tama saya menyampaikan terima kasih atas apresiasi Drs. Made Mustika terhadap tulisan saya yang bertajuk Copy paste dan Budaya Menulis di Bali Express, 30 Agustus 2010. Made Mustika melalui tulisannya di media ini yang berjudul Copy paste Menumpulkan Budaya Kreatif, 1 September 2010, lebih memperdalam lagi tinjauannya dengan melihat fenomena copy paste sebagai tindakan yang menumpulkan budaya kreatif, sekaligus ia menggugah para guru agar kian serius mendorong para siswanya untuk menulis di samping menjadi teladan yang baik di bidang tulis-menulis. Benar bahwa copy paste sebagaimana banyak dilakukan oleh siswa kita bertolak belakang sama sekali dengan upaya mengembangkan atau menumbuhkan kreativitas pelajar. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa hal sangat membantu kemudahan dan kenyamanan kehidupan manusia. Tapi, jika tidak bisa memanfaatkannya dengan baik dan proporsional, kehadiran teknologi ini bukan tidak mungkin membuat orang malas menggerakkan badannya, enggan menggerakkan modal intelektual (intelektual capital), emoh untuk mengusahakan sesuatu yang baru karena menurutnya segala sesuatunya sudah tersedia dan sangat mudah didapat. Seperti makan bubur, tak perlu dikunyah, langsung ditelan saja. Begitu pula halnya dengan aktivitas tulis-menulis. Para pelajar kini banyak yang enggan masuk ke dunia kreativitas imajiner ketika mengerjakan tugas mengarang. Mereka lebih memilih jalan mudah: copy paste! Mencomot karya orang lain di internet dan mengakuinya sebagai karya sendiri (antara lain karena tanpa sumber acuan).

Dimulai dari Kebiasaan Membaca
Seperti telah saya tuliskan di dalam artikel terdahulu, salah satu alasan utama mengapa mereka melakukan tindakan bypass seperti itu, karena mengarang atau menulis dipandang sulit. Akan tetapi, benarkah menulis itu sulit? Bagi sebagian orang, pekerjaan menulis tidaklah mudah. Tapi, bagi sebagian lain, menulis itu gampang. Nah, terjadi dua perbedaan pendapat dari dua titik ekstrem. Mari kita tengok lebih jauh, dimulai dengan pengalaman sederhana penulis sendiri.
Ketertarikan terhadap dunia tulis-menulis tak terlepas dari kebiasaan membaca sejak menjadi siswa di sekolah lanjutan. Saking doyannya membaca, saya sampai rela bersepeda gayung sepanjang kurang-lebih 20 km pp untuk dapat menikmati buku-buku di sebuah perpustakaan. Kalau jenuh berkunjung ke perpustakaan, penulis memilih bertandang ke toko buku. Di toko buku, saya seringkali membaca dalam waktu cukup lama. Bahkan, kadang-kadang saya membawa lembaran kertas lepas ukuran mini untuk mengutip beberapa bagian kecil yang menarik dari isi buku yang saya baca. Malu juga sih membaca berlama-lama di toko buku apalagi mencatat isi buku. Tapi, apa mau dikata, mau beli, tidak mampu. Tak ada uang. Begitulah saya keranjingan membaca buku, majalah, koran, dan bacaan lainnya.
Lambat-laun timbul pemikiran untuk menulis, karena membaca saja tidak banyak gunanya kalau tidak dibagikan juga kepada orang lain. Lalu, saya mencoba menulis dan mengirimnya langsung ke sebuah koran nasional. Dan, tulisan pertama yang saya buat itu ternyata dimuat di harian Berita Yudha; koran yang secara rutin dikirim dari Jakarta dan diedarkan secara gratis ke desa-desa saat itu (1994). Membaca tulisan pertama saya itu, saya seperti mabuk keberhasilan. Hampir kepada setiap orang yang saya jumpai ketika itu, saya perlihatkan tulisan saya di koran tersebut. Beberapa orang teman menyampaikan selamat dan mendorong saya untuk menulis dan menulis lagi. Sejak saat itu, saya rajin menulis dan mengirimkannya ke media massa nasional atau lokal. Ada yang ditolak, ada pula yang dimuat. Duh senangnya melihat karya sendiri terpampang di koran atau majalah. Apalagi ada honorariumnya! Honor pertama yang saya terima dari tulisan tersebut sebesar Rp.4.500,- dikirim melalui weselpos. Rada aneh, weselpos tersebut tidak saya uangkan, melainkan saya memilih menyimpannya. Belum lama ini, untuk mengenang kisah lama, iseng-iseng saya mencari wesel itu. Eh, ternyata tidak ada lagi, entah nyangkutnya dimana. Beruntung, tulisan pertama itu masih ingat saya kliping yang hingga kini masih tersimpan walaupun warnanya sudah berubah: buram dan menguning.
Dari kenangan itu, saya ingin berbagi pengalaman bahwa untuk menulis, terlebih dahulu orang harus doyan membaca. Dengan membaca, pengetahuan akan bertambah, dan dengan membaca pula kita dapat mengamati bagaimana cara pengarang mengungkapkan ide-idenya. Bagaimana ia memilih kata (diksi), memainkan kalimat, memanfaatkan berbagai tanda baca dan menata sistematika. Juga, bagaimana dia memilih judul yang menarik, membuat lead yang mempesona, kuat dan berisi, dan menuntaskannya dengan ending yang mengesankan. Intinya, banyak hal yang didapatkan kalau mau membaca dengan penuh minat: tak hanya pengetahuan tentang materi bacaan yang bertambah, juga cara menuangkan gagasan juga dimiliki. Kedua kemampuan utama itu akan menjadi bekal sang calon penulis ketika ia memasuki ranah tulis-menulis atau karang-mengarang. Tidak ada jalan yang instant untuk menjadi penulis yang baik.

Memberikan Kesenangan
Ketika tulisan pertama Anda berhasil dimuat di sebuah media, nikmatilah. Bergembiralah. Bersyukurlah kepada Tuhan atas rakhmat-Nya itu. Jadikan keberhasilan tersebut sebagai momentum untuk menelorkan tulisan-tulisan lainnya kemudian. Pemuatan artikel yang pertama itu bisa menjadi pembakar semangat yang demikian besar untuk menghasilkan karya-karya berikutnya yang lebih berbobot. Bersamaan dengan ini, kebiasaan membaca jangan pernah dihentikan. Pastikan kegiatan membaca sebagai menu tambahan di samping makan dan minum. Dari manapun bacaan itu diperoleh, tak menjadi masalah. Yang terpenting, isi hari-hari Anda dengan menyediakan waktu membaca satu-dua jam dalam sehari.
Lalu, mengapa menulis itu menyenangkan? Seperti saya katakan di atas, pada umumnya setiap orang akan senang apabila tulisannya dimuat di media massa. Apalagi tulisan itu adalah yang pertama dimuat. Hal berikutnya yang membuat orang senang menulis/mengarang adalah karena dengan begitu ia dikenal masyarakat luas, seperti JK Rowling, Andrea Hirata, dan Andrias Harefa. Bahkan, lantaran tulisan-tulisannya yang demikian mengesankan dan berbobot, bukan tidak mungkin suatu saat kemudian yang bersangkutan diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar sesuai dengan keahliannya. Ini, lagi-lagi mendatangkan uang dan popularitas.
Yang berikutnya yang membuat orang senang menulis, karena dengan tulisan itu ia sudah meninggalkan jejak-jejak makna (pinjam istilah Gede Prama) dalam perjalanan hidupnya. Suatu saat semua orang pasti akan mati, sementara karya tulis seseorang tak akan ikut mati. Ia akan dibaca oleh generasi berikutnya, kalau terdokumentasi dengan baik, tentu. Paling tidak, di dalam riwayat hidupnya, akan tercantum bahwa yang bersangkutan telah menulis sejumlah artikel yang dipublikasikan di media massa atau buku yang sudah diterbitkan.
Walaupun tidak ada jalan instan untuk menjadi penulis, tapi yang perlu diingat adalah bahwa sesungguhnya menulis itu menyenangkan jika ditekuni dengan sepenuh hati. Karena menyenangkan, maka tak perlu lagi praktek copy paste yang bisa menumpulkan budaya seperti disinyalir Made Mustika. ***

Catatan : Artikel ini telah dimuat pada rubrik Opini Harian Bali Express, Rabu, 8 September 2010, hal. 4.
Read more ...

Belajar Menyenangi Pekerjaan

Oleh I Ketut Suweca

Kok menyukai pekerjaan saja orang harus belajar? Bukankah pekerjaan yang kita kerjakan wajib hukumnya untuk disenangi? Demikian mungkin pendapat pembaca. Ya, saya setuju bahwa adalah wajib bagi seseorang untuk menyenangi atau menyukai pekerjaannya kalau dia ingin berhasil dalam bidangnya itu. Akan tetapi, persoalannya adalah orang tidak selalu bisa mencintai pekerjaannya. Salah satu alasannya, karena pekerjaannya itu tak cocok baginya. Ketidakcocokan itu mungkin lantara tidak sesuai dengan minat, bakat, dan kompetensi atau terlalu sulit baginya untuk dikerjakan.
Kalau hanya sulit dikerjakan atau belum bisa mengerjakannya dengan baik, maka cukup dengan meningkatkan kemampuan dengan pelatihan. Perlu lebih banyak bertanya, baca buku, atau bahkan ambil kursus. Dengan demikian, kompetensi akan bisa bertambah dan kesulitan bisa pun dapat diatasi dengan baik. Jadi, kalau berkeinginan tetap bekerja di tempat sekarang, dengan menambah kompetensi, Anda lambat-laun dapat menyenangi pekerjaan tersebut karena sudah menguasainya.
Tetapi, kalau Anda memang benar-benar tidak berminat dan merasa tidak berbakat terhadap pekerjaan tersebut, maka sebaiknya jangan dikerjakan. Ciri-ciri orang tidak berbakat dan tidak berminat diantaranya: hasil pekerjaannya terlalu sering salah/rusak, cepat bosan, dan sering mangkir. Juga, dalam menjalankan pekerjaan tersebut ia menjadi tidak efisien lantaran acapkali melakukan kesalahan dan memakan waktu lebih lama daripada seharusnya. Kalau demikian halnya, sebaiknya cari pilihan pekerjaan lain dalam perusahaan itu. Kalau tidak ada, lebih baik Anda bilang good bye saja. Cari lagi pekerjaan yang menurut Anda lebih sesuai dengan minat dan bakat Anda. Nah, dalam pencarian itu, kemungkinan Anda akan menemukan pilihan yang hebat, yakni berusaha secara mandiri alias berwirausaha.
Dalam era persaingan yang amat ketat seperti sekarang ini, mencari pekerjaan yang benar-benar cocok dengan minat, bakat dan kompetensi, tidaklah mudah. Orang banyak sekali terpaksa menerima suatu pekerjaan karena alasan kebutuhan akan uang. Ada keluarga yang harus ditanggungnya. Mereka bertahan di suatu perusahaan lantaran tidak atau belum menemukan pekerjaan lain yang cocok baginya. Daripada harus melepas yang lama, menunggu yang baru, maka mereka berpandangan akan lebih baik tidak dilepas dulu sampai ada kepastian mendapatkan pekerjaan baru yang lebih sesuai dengan keinginan.
Sepanjang memiliki kompetensi yang spesifik dan dibutuhkan pasar dengan persaingan yang tak terlalu ketat, keputusan berpindah-pindah pekerjaan tak mengapa. Banyak orang yang seperti ini melakukan turn-over, berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Tapi, bagi yang tak memiliki spesifikasi, mempunyai pendidikannya umum saja tanpa disertai dengan skill yang khusus, barangkali akan memilih untuk bertahan di pekerjaan lamanya. Ia akan tetap bertahan di situ, sampai ada pekerjaan lainnya yang memberikan kepastian untuk didapatkan.
Apapun pilihan Anda, baik bertahan dengan berusaha menyiasati kesulitan yang ada maupun memutuskan pindah, itulah pilihan yang terbaik bagi Anda. Yang pasti, Anda sudah seharusnya menyukai pekerjaan karena dia (pekerjaan itu) memberikan Anda penghasilan, dia merupakan pemberian Tuhan melalui tangan-tangan yang berwujud manusia, di samping memang wajib hukumnya untuk menangani pekerjaan itu dengan cara terbaik yang Anda bisa.
Kalau Anda sudah berhasil menyenangi pekerjaan Anda, maka pekerjaan itu akan membalas dengan ‘senyum’ sekaligus memberikan balasan dengan penghasilan yang lebih baik untuk Anda. Selamat belajar menyenangi pekerjaan.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Budaya Kekerasan yang Menguat, Apa Penyebabnya?

Oleh
I Ketut Suweca


Budaya kekerasan! Mungkin bisa disebut demikian karena belakangan ini kebiasaan penyelesaian masalah yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan tampaknya semakin menguat dan menjadi budaya. Kekerasan dalam bentuk perbuatan anarkhis atau premanisme di berbagai wilayah di Indonesia telah menjadi warta hampir setiap hari. Tanpa perlu menyodorkan kembali data dan informasi yang sudah seringkali kita dapatkan melalui berbagai media massa, catatan yang bernuansa kekerasan itu tidak sulit ditemukan. Ada sederet perbuatan anarkhi yang mengedepankan kekuatan otot, batu, kayu, bom molotov dan pedang dalam menanggapi permasalahan yang muncul. Belum tuntas satu kasus, muncul lagi kasus kekerasan lain, demikianlah susul-menyusul. Kalau keadaan ini terus-menerus terjadi dan berkembang, dikhawatirkan kerugian material dan nonmaterial kian banyak, termasuk kerugian psikhologis, seperti ketakutan dan trauma masyarakat akan semakin parah.
Seperti diketahui, Indonesia sejak dulu dikenal sebagai negeri yang damai, aman, dan tenteram. Bahkan ada lagu yang liriknya, secara implisit dan eksplisit, mengungkapkan betapa kita adalah bangsa yang santun, toleran, dan suka perdamaian. Pada kenyataannya semua itu kini sebagian sudah menjadi masa lalu, keadaan senyatanya sudah bergeser jauh. Masalah-masalah yang timbul belakangan ini cenderung ditanggapi dengan hati panas, bahkan dengan sikap dan prilaku yang ‘siap perang’, walaupun dengan saudara sebangsa dan setanah air. Hal ini sungguh menyedihkan. Mengapa hal seperti itu sampai terjadi? Mengapa orang kini cepat sekali tersulut emosinya? Adakah faktor yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya kekerasan itu?

Empat Faktor Penyebab
Dengan memperhatikan kekerasan demi kekerasan yang terjadi dan merenungkannya secara mendalam, menurut penulis paling tidak ada 4 (empat) faktor yang potensial menjadi penyebab timbulnya kekerasan itu, langsung maupun tidak langsung, secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Hal ini hanyalah hipotesis dari hasil pengamatan dan perenungan, belum merupakan sebuah hasil riset lapangan. Keempat faktor yang berpotensi menjadi penyebab atau penyulut kekerasan itu, diantaranya adalah, pertama, masalah penegakan hukum (law enforcement) yang masih lemah. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan adil, maka kekecewaan akan tumbuh di dalam masyarakat. Penegakan hukum yang diinginkan adalah yang adil, dalam arti tidak pandang bulu, apakah ia berduit atau tidak, apakah orang kaya atau miskin, apakah berkuasa atau tidak, di depan hukum harus diperlakukan secara adil. Jika tidak, kekecewaan demi kekecewaan masyarakat lambat laun akan terakumulasi dan hanya menunggu momentum untuk meledak. Sedikit saja ada permasalahan, masyarakat menjadi cepat marah.
Faktor kedua adalah yang berkenaan dengan kesenjangan (gap) ekonomi. Masalah kesenjangan ekonomi terjadi di mana–mana di berbagai belahan dunia. Hanya yang berbeda adalah tingkat kesenjangannya. Semakin besar gap pendapatan anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, semakin potensial untuk mengoyak kestabilan dan keamanan wilayah atau daerah setempat. Kesenjangan ekonomi dapat dengan pasti menimbulkan kecemburuan sosial. Apalagi mereka yang terbilang kaya tidak peduli dengan mereka yang miskin yang ada di sekitarnya. Kecemburuan sosial inipun secara potensial membahayakan, karena sewaktu-waktu bisa tersulut membara menjadi tindakan anarkhis, hanya karena percikan api permasalahan yang kecil saja.
Faktor ketiga yang berpotensi menjadi alasan mengapa kekerasan itu muncul dan berkembang adalah tidak adanya keteladanan dari sang pemimpin. Artinya, pemimpin mulai tidak satya wacana: apa yang dilakukan berbeda jauh dengan apa yang dikatakan. Pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, mementingkan diri sendiri, dan keluar dari rel kewenangannya. Masyarakat yang kehilangan figur yang layak diteladani bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Walaupun secara fisik sang induk ada, tapi tidak pantas lagi menjadi panutan. Ketika terjadi permasalahan, maka masyarakat yang kehilangan figur keteladanan, menjadi bingung ke mana dan di mana tempat bertanya dan mengadu. Karena tidak ada yang pantas diteladani, maka mereka melakukan tindakan yang semaunya, yang acapkali tanpa pertimbangan.
Faktor penyebab berikutnya adalah karena ada provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan menjadikan bibit-bibit permasalahan yang ada agar menjadi besar. Di balik upaya-upaya mereka itu tentu ada maksud yang tersembunyi, mungkin dalam kaitannya dengan politik, seperti dalam rangka merebut kekuasaan dengan cara merusak image orang yang sedang berkuasa atau lawan politiknya, dan sebagainya. Bagi sebagian masyarakat yang kondisinya sudah ‘labil’ karena dihimpit oleh berbagai persoalan hidup, bukanlah tidak mungkin mereka dengan mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang diperalat.

Solusi yang Ditawarkan
Memperhatikan kekerasan yang terjadi serta setelah memprediksi potensi dari sumber-sumber penyebabnya, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mencegah dan mengantisipasi terjadinya kekerasan itu. Diantaranya dengan upaya penegakan hukum yang menghormati rasa keadilan masyakarakat. Ketegasan dan keberanian pihak penegak hukum sangat diperlukan. Fenomena hukum yang ‘diperjualbelikan’ harus disudahi. Di samping itu, perlu secara berkesimbungan memperkecil gap ekonomi antar wilayah, antar kelompok, dan antar anggota masyarakat. Ini, tentu saja bukan perkara gampang, karena sesungguhnya yang namanya gap ekonomi itu pasti ada di bagian wilayah manapun di dunia. Yang penting adalah bagaimana upaya pemerintah, swasta, dan seluruh komponen masyarakat untuk memperkecil gap itu sehingga dapat mengurangi kecemburuan sosial di samping berusaha meningkatkan solidaritas dan toleransi antar anggota masyarakat.
Selanjutnya, para pemimpin, baik formal maupun informal, mesti melakukan introspeksi diri, sehingga dapat keluar dari kebiasaan lama yang kurang terpuji dan kembali menjadi teladan atau panutan yag baik bagi masyakarat yang dipimpinnya. Hendaknya ada kesediaan atau kerelaan untuk mulat sarira tanpa harus merasa tersinggung ketika ada orang lain yang mengingatkan. Last but not least, masyarakat harus diperkuat mentalnya melalui berbagai siraman rohani dan pemahaman terhadap ketentuan hukum yang berlaku, sehingga lebih tangguh dalam menghadapi para provokator yang mungkin saja menyelinap diantara mereka tanpa disadari, baik secara fisik maupun secara ideologis (melalui pemikiran yang menyesatkan). Harus senantiasa diingatkan kepada masyarakat, terutama di daerah-daerah yang rawan konflik, bahwa kekerasan itu tiada gunanya, semua pihak akan rugi, bagai kayu yang sama-sama habis terbakar: yang satu jadi abu, yang lain jadi arang. ***

*). Catatan : Artikel ini telah dimuat di rubrik Opini Bali Express, 4 September 2010, hal 4. Oleh Redaksi dilakukan sedikit pengeditan dan judulnya diubah menjadi : Menyoal Menguatnya Budaya Kekerasan. Untuk maklum dan terima kasih.
Read more ...

Dukung Polisi "Membersihkan" Diri

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si.

Berbagai pandangan diberikan terhadap kinerja lembaga kepolisian. Ada yang menilai kinerja kepolisian sudah baik, ada yang men-cap kinerja lembaga ini kurang baik, dan bahkan tak kurang yang menilai kinerja kepolisian menyedihkan. Penilaian itu sangat relatif sifatnya dan sangat tergantung pada dari sisi mana orang melihat kinerja lembaga ini. Terdapat kecenderungan orang melihat keberhasilan kepolisian dari sisi kemampuannya membabat teroris, tapi lemah ketika membabat berbagai kekurangan di dalam tubuhnya sendiri.
Pendapat berbagai pihak tetap berguna untuk maksud pembenahan demi terwujudnya institusi kepolisian yang lebih baik di masa depan. Bagi lembaga kepolisian, apabila masukan itu sifatnya kritik, cercaan, celaan, atau apapun namanya yang sejenis dengan itu, sebaiknya senantiasa diamini. Ambil saja hikmah positifnya. Pil yang berguna untuk kesehatan, bukankah acapkali rasanya pahit? Sedangkan, masukan yang bersifat pujian, sanjungan yang membesarkan hati dapat dimanfaatkan untuk memperteguh langkah-langkah Polri dalam memperbaiki kinerjanya. Kritikan tajam ataupun pujian harus dijadikan sebagai obat penyemangat untuk berbuat lebih baik dan lebih baik lagi untuk kemajuan dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan di tengah-tengah tuntutan terhadap lembaga kepolisian, yakni peran serta masyarakat. Harus dimaklumi bahwa polisi, bagaimanapun juga, tetaplah manusia biasa yang tidak luput dari berbagai kekurangan di samping kekuatan/kelebihan yang dimilikinya Kalau ingin menyukseskan berbagai gawe besar kepolisian selaras dengan tugas pokok dan fungsinya, masyarakat mesti memberikan dukungan penuh, tidak melulu menuntut dan menyalahkan lembaga kepolisian ketika institusi ini berbuat salah, sengaja ataupun tidak. Ketika, misalnya, polisi hendak memburu pelaku curanmor, masyarakat yang mengetahui lokasi si pencuri bersembunyi, sudah seyogianya memberikan bantuan dengan menyampaikan informasi kepada polisi. Ketika polisi memburu teroris, masyarakat juga membantu memberikan informasi kalau ada orang yang melakukan kegiatan yang mencurigakan dan mengarah kepada aktivitas teroris. Demikian pula, tatkala kepolisian berniat meningkatkan “kebersihan rumah”-nya, maka masyarakat jangan menggodanya untuk menyimpang dari aturan atau ketentuan hukum yang ada. Jangan lagi ada upaya menyogok lembaga kepolisian untuk sesuatu urusan dengan maksud, misalnya, agar tidak ditilang ketika melakukan pelanggaran lalu-lintas, agar hukuman nantinya dapat diperingan, dan sebagainya. Berikan kesempatan bagi kepolisian untuk berbenah dalam bentuk dukungan moral kepadanya.
Pada kenyataannya, hingga kini usaha membuat lembaga ini menjadi bersih, berbenturan dengan berbagai kepentingan. Polisi sendiri tetap harus berupaya untuk membenahi rumahnya, sementara usaha-usaha untuk ‘mengganggu’ kinerja kepolisian belum juga surut. Semestinya seluruh komponen masyarakat memberikan dukungan untuk menyukseskan usaha pembenahan internal itu. Jangan lagi ada anggota masyarakat yang melakukan usaha-usaha yang bertentangan dengan upaya polisi membersihkan lembaganya. Kalau hal ini dilakukan juga, tak pelak lagi usaha pembenahan internal tersebut akan terhambat. Jarak antara harapan pembenahan dengan kenyataan menjadi semakin jauh.
Jadi, di satu pihak kepolisian sendiri bergerak berbenah dengan komitmen yang tinggi agar menjadi institusi yang bersih, kuat dan berwibawa. Di pihak lain, seluruh komponen masyarakatpun mesti berkontribusi positif demi terciptanya lembaga dan aparat kepolisian yang diidam-idamkan. Kita tidak bisa menuntut terlalu banyak terhadap kinerja lembaga kepolisian untuk menjadi lebih baik ke depan kalau masyarakat sendiri ikut mendorongnya untuk tidak menjadi lebih baik. Harus ada sinergi antara kepolisian dengan peran serta masyarakat, swasta, dan lembaga lainnya dalam usaha ini, bak gayung bersambut. Hanya dengan cara demikian pembenahan lembaga kepolisian dan penghindaran institusi penegak hukum ini dari perbuatan illegal akan mencapai hasil yang diharapkan.
*). Catatan : Artikel ini sudah dimuat dalam Rubrik Debat Publik Bali Post, 3 September 2010, hal. 6. Demikian untuk maklum dan terima kasih.


Read more ...