Berhentilah Sejenak!

Oleh I Ketut Suweca

Mari bersama-sama kita memperhatikan dengan saksama bagaimana kita telah menjalani kehidupan keseharian selama ini. Kita teliti seperti apa kita mengisi hari-hari yang telah lewat. Adakah kita selalu bergegas, tergesa-gesa, dan cemas karena selalu merasa dikejar-kejar waktu? Adakah kita terlalu ngoyo dengan apapun yang ingin kita raih? Adakah kumpulan ‘keberhasilan’ itu benar-benar memiliki makna bagi kita? Tidakkah sebaliknya, kita telah menumpuk sesuatu yang sejatinya sia-sia belaka?
Seorang teman selalu sibuk setiap harinya, siang dan malam. Pagi ia harus mengantarkan anak, kemudian ke kantor. Di kantor ia memiliki tanggung jawab besar. Tanpa kehadirannya, pekerjaan di kantor bakal terganggu. Datang dari kantor, ia mesti cepat-cepat berganti pakaian untuk mengajar. Malam hari, ia menyelesaiakan pekerjaan kantor di rumah. Hampir setiap hari ia berangkat tidur pada tengah malam. Istri dan anak semata wayangnya pun sudah seringkali protes.
Anehnya, dia merasa senang kalau kawan-kawan menyebutnya sebagai pekerja keras alias workacholic. Kalau mendapat punjian seperti itu, ia akan lebih dan lebih keras lagi bekerja. Anehnya lagi, ia tak mau mendelegasikan tugas kepada teman atau bawahannya. Sayang, suatu hari ia jatuh sakit, harus masuk rumah sakit dan opname untuk seminggu lamanya. Selama di rumah sakit pun ia selalu memikirkan segala macam pekerjaannya yang menjadi tidak beres lantaran sakitnya itu. Ia ingin sekali segera sembuh dan bekerja. Dalam pikirannya hanya ada bekerja, bekerja, dan bekerja. Acapkali ia bertutur betapa kerasnya ia bekerja sepanjang hari. Tapi, entah untuk apa dan untuk siapa, sampai kemudian dia dipaksa untuk ‘istirahat’ oleh kelelahan yang luar biasa.
Hidup dan tuntutan hidup kadangkala menyebabkan kita mesti bekerja keras. Dengan bekerja seperti itu, kita berharap dapat memenuhi berbagai kebutuhan. Mungkin bisa membeli sandang, pangan, dan papan. Kita barangkali juga ingin menabung sebanyak-banyaknya untuk persiapan hari tua. Tampaknya tidak ada yang salah dengan semua itu.
Akan tetapi, acapkali kita lupa untuk berhenti sejenak dari segudang kesibukan seperti sahabat saya itu. Padahal, seharusnya kita memperhatikan tubuh dan hati kita. Tubuh kita pasti perlu rileks, jeda, beristirahat. Tapi, selama ini mungkin kita telah memakainya secara terus-menerus bagai robot dan lupa merawatnya. Mengapa kita tidak berhenti sejenak dan merawat badan yang telah mengantarkan kita memenuhi apa yang kita inginkan?
Pikiran kita selama ini telah disibuki dengan bisnis, pekerjaan, angka-angka penjualan, keuntungan, dan seterusnya. Sempatkah kita mengistirahatkan dan menyegarkannya kembali? Pernahkah kita ingat untuk duduk diam, mendamaikan pikiran dan hati kita, lalu menghirup udara segar sambil menghaturkan terima kasih kepada Sang Pencipta? Ingatkah kita untuk menyegarkan hati dan jiwa kita dengan doa-doa nan khusuk, mendendangkan kebesaran Tuhan?

Mari kita berhenti sejenak, kawan. Lima belas sampai tiga puluh menit saja setiap hari. Santaikan tubuh, lalu sentuhlah dia dengan sepenuh hati sambil berucap:
terima kasih kakiku;
terima kasih tanganku;
dan terima kasih jantungku;

dan seterusnya;
karena engkau senantiasa setia bersamaku dan membantuku dari hari ke hari tatkala aku tidur maupun terjaga.
Setelah itu, mari duduk atau berbaringlah dengan rileks. Tarik nafas yang dalam.
Damaikan pikiran.
Selaraskan dengan semesta.
Sentuhkan dengan vibrasi ketuhanan.
Panjatkan doa puji syukur kehadirat-Nya.
Hanya lima belas sampai tiga puluh menit per hari!
Akankah kita bilang: saya tidak punya waktu?
Read more ...

Merasakan Berkat Tuhan Sepanjang Hari

Oleh I Ketut Suweca

Saya hendak mencoba mengingat-ingat berkat atau karunia Tuhan. Dari hasil mengingat berkat Tuhan itu, saya dapat mengumpulkan beberapa kejadian yang masih kuat melekat di dalam hati dan pikiran saya.
Pertama, sudah beberapa waktu lamanya saya tidak lagi aktif berolah raga. Alasannya apa? Memalukan kalau saya sebut kesibukan, karena banyak orang sibuk selalu mampu menyisihkan waktu untuk berolah raga. Istri saya mendapatkan kabar bahwa ada senam yang bagus untuk terapi kesehatan. Belum yakin hasilnya, saya persilakan istri yang lebih dulu mengikuti senam itu. Berdasarkan informasi dari istri, saya kemudian menjadi tertarik. Saya pun ikut berlatih, berusaha untuk hadir latihan tiga kali seminggu dari jadwal yang empat kali dalam seminggu.
Di dalam senam ini saya menerima berkat Tuhan. Pertama, badan terasa semakin bugar. Kedua, melalui senam saya dan istri mendapatkan teman-teman baru. Teman-teman adalah asset berharga dalam kehidupan, bukan? Ketiga, saya tidak membayar apa pun untuk bisa ikut senam itu. Semuanya gratis, kecuali jika kita memang ingin menyumbang. Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, rupanya masih ada sekelompok masyarakat yang dengan ikhlas bersedia berbagi kepada sesama melalui senam. Dari sini saya mendapat pelajaran betapa pentingnya berbagi kepada orang lain, dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.
Dan, tadi siang saya menservis sepeda motor di sebuah bengkel. Saya bertemu pemiliknya dan sempat berbincang-bincang lumayan lama sambil menunggu motor selesai diservis. Dari bapak yang adalah pemilik bengkel tadi, lagi-lagi, saya mendapatkan berkat. Bentuknya: ia bersedia berbagi wawasan spiritualnya untuk saya. Ia banyak bertutur tentang kehidupan, kebenaran universal, kasih sayang, dan pentingnya kepedulian terhadap sesama. Tidak melulu dalam ucapan, bapak ini telah membuktikan kepedualiannya dengan menjadi ayah angkat begi sejumlah siswa dan mahasiswa yang berasal dari masyarakat miskin, dan masih banyak lagi bentuk kepedualian lainnya. Konsepnya adalah memberi. Katanya, dengan memberi, kita akan menerima sesuai dengan hukum sebab-akibat (kausalitas). Saya belajar dari bapak ini.
Dan, saya ingat, kurang-lebih setahun lalu, mobil yang saya kendarai mogok di jalan. Waktu itu hari minggu, semua bengkel tutup. Saya berusaha mencari bengkel terdekat dengan berjalan kaki. Merasa mentok, saya singgah ke sebuah warung kecil untuk sekadar minum sambil memikirkan bagaimana cara mengatasi masalah yang sedang saya hadapi saat itu. Saya menuturkan problem saya kepada pemilik warung. Tanpa dinyana, pemilik warung yang baru saja saya kenal itu menyerahkan kepada saya kunci dan STNK sepeda motornya untuk saya bawa mencari bengkel sampai ketemu. “Pak, pakailah motor saya. Carilah bengkel sampai ketemu,” ujarnya. Saat itu saya merasa kekuatan Tuhan sedang bekerja melalui diri orang ini. Akhirnya saya temukan bengkel yang pemiliknya bersedia membantu walaupun sedang tutup, dan problem saya teratasi. Saya temukan berkat Tuhan di antara kesulitan yang saya alami.
Satu lagi, pernah mobil yang saya kendarai tersesat masuk gang sempit. Saya salah masuk dan tak tahu jalur jalan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seseorang yang tanpa saya minta membantu saya memundurkan kendaraan dengan memberi komando “kanan, kiri, terus, lurus” dan seterusnya. Akhirnya saya keluar dari geng sempit yang buntu itu. Kembali saya merasakan berkat Tuhan.
Itu baru sebagian kecil saja. Ada sangat banyak berkat/karuniaTuhan yang saya terima dalam kehidupan ini. Saya selalu bersyukur kepada-Nya. “Terima kasih ya Tuhan atas semua kelimpahan ini. Jadikan jugalah hamba sebagai alatmu untuk membantu orang lain.”
Tatkala hendak mengakhiri tulisan ini saya hampir menangis, terharu setiap mengingat kebesaran Tuhan. Betapa berlimpahnya berkat Tuhan untuk saya. Adakah para pembaca merasakan campur tangan Tuhan dalam kehidupan Anda?
Read more ...