Terima Kasih White Board-ku

I Ketut Suweca
 
Kadangkala kita tidak mencermati sesuatu yang kita lewati setiap hari. Dalam perjalanan menuju ke kantor, misalnya, pernahkah kita memperhatikan salah satu atau beberapa titik yang kita lewati itu? Ketika berada di pasar hampir setiap pagi, pernahkah kita memperhatikan secara detail, misalnya, sebuah tulisan kecil yang berisi peluang bisnis yang ditempel di dinding sebuah kios? Acapkali kita melewati atau melintasinya saja. Kita melihat tetapi sesungguhnya tidak melihat. Banyak hal yang luput dari perhatian kita. Mungkin kita sudah melihat ‘hutan’-nya tapi tidak memperhatikan ‘pohon-pohon’-nya. Anehnya, kadang-kadang kita pikir kita sudah tahu dan hafal semuanya karena sering melewati suatu jalur, tetapi ketika ditanya salah satu titik di antaranya, kita tidak mampu menjawab pertanyaan itu dengan cukup baik. Ketidakcermatan itu terjadi karena kita memang tidak fokus terhadap suatu objek dan tidak merasa berkepentingan terhadapnya. Benarkah?
Awal Januari 2010 saya membeli papan tulis putih (white board) berukuran 100 x 80 cm dari sebuah toko. Niat membeli papan ini diawali dari kunjungan saya ke rumah seorang teman dekat. Di ruang tamunya yang luas, sebuah papan putih menempel di salah satu dinding. “Itu jadi tempat anak saya corat-coret, belajar nulis,” katanya ketika saya iseng bertanya siapa yang menulis goresan-goresan lucu di atasnya. Entah mengapa, baru setelah itu saya tergerak membeli papan tulis, padahal papan putih yang digantung di tembok hampir setiap kali saya lihat, di kantor-kantor, di kampus, juga di rumah salah seorang anggota keluarga.
Mengapa tertarik dan tergerak secara tiba-tiba? Karena ada fokus yang spontanitas memunculkan kepentingan. Kepentingan apa pula itu? Begini: kompasiner mungkin sudah mengetahui bahwa saya, seperti Anda juga, suka menulis. Saya sering terbenam asyik menulis sehingga mudah lupa waktu. Nah, begitu melihat papan tulis di rumah teman itu, tiba-tiba saya tergerak membeli papan sejenis untuk tempat menampung ide-ide yang acapkali muncul.
Saya pun berangkat ke toko membelinya. Ukuran segitu harganya kurang dari Rp. 100.000,- Saya menempelnya di dinding ruang belajar. Maksud saya, agar ketika belajar, saya dapat melihatnya. Jadilah papan tulis itu nampang di dinding dekat meja belajar.
Hari demi hari, papan itu menarik perhatian saya untuk bergegas mencoretkan spidol di atasnya, menuliskan gagasan yang muncul. Pertama, saya tulis tentang agenda utama dalam kaitan dengan pekerjaan. Kedua, saya tulis tentang target menulis bulanan di koran/majalah. Ketiga, saya goreskan pula mengenai judul-judul naskah yang saya kirim ke koran dan tanggal pemuatannya (ya kalau dimuat, tentu). Keempat, saya juga menyusun target penyusunan makalah: kapan sebuah makalah/buku harus saya selesaikan. Kelima, saya pun memanfaatkan papan itu untuk menulis segala sesuatu yang membantu saya dari terjangan ‘penyakit’ pikun, seperti, kode password yang baru saja diberikan admin kompasiana, he he he.
Secara fisik, tidak ada yang istimewa dengan papan putih itu. Tetapi, ia telah membantu menolong saya untuk fokus, menyemangati saya untuk mencapai goal tertentu, mendorong saya untuk menuangkan ide-ide utama untuk dijadikan artikel, dan mengingatkan saya terhadap sesuatu yang sulit diingat. Terima kasih white board-ku!
Sudah dulu ya sahabat kompasianer. Terima kasih sudah membaca cacatan kecil ini. Salam hangat.

0 Response to "Terima Kasih White Board-ku"

Posting Komentar