Berkelebihan di dalam Berkekurangan

Oleh I Ketut Suweca

Judul artikel ini kedengarannya rada aneh. Begitu membacanya, mungkin dalam hati Anda membantah: mana mungkin orang sudah berkekurangan bisa mendapatkan kelebihan? Atau, bagaimana mungkin orang bisa berkelebihan sementara ia sendiri dalam keadaan kekurangan? Kelihatannya dua hal yang kontradiktif, yang tak mungkin disatukan. Tapi, nanti dulu, ini ada penjelasan lanjutannya.
Istilah “berkelebihan di dalam berkekurangan” adalah ide dari senior saya, I Ketut Beratha, yang disampaikan puluhan tahun silam. Sebagai pimpinan, beliau acapkali menyampaikan pesan ini kepada stafnya. Sebenarnya, istilah itu hanyalah kata lain dari dorongan agar menabung. Ya, menyisihkan sebagian kecil dari penghasilan untuk ditabung. Aktivitas menabung mungkin sudah menjadi kebiasaan sebagian dari kita. Tapi, mungkin juga belum. Yang terakhir ini tentu juga punya alasan mengapa memilih tidak menabung. “Gajiku kecil, tidak cukup untuk keperluan dalam sebulan. Boro-boro menabung, aku masih harus mencari tambahan bulanan agar bisa makan dan menyekolahkan anak-anak”, demikian ada yang menanggapi. Baiklah. Memang, kalau penghasilan tak cukup, akan terasa sulit dan berat untuk menabung.
Akan tetapi, jangan putus asa dulu. Ini ada contoh yang baik. Sepasang suami- istri penjual kopi di sebuah warung dekat tempat saya bertugas setiap hari bisa menabung. Ada sebuah lembaga koperasi yang datang mengambil tabungan itu setiap harinya. Anda tahu berapa besar tabungan hariannya? Lima ribu rupiah. Kendatipun, ia mendapatkan keuntungan dari hasil jualannya ‘hanya’ kurang-lebih 25 ribu rupiah dalam sehari. Jadi, dua puluh ribu untuk kebutuhan rumah tangga dan sedikit tambahan modal usaha, lima ribu rupiah untuk ditabung. Toh keluarga kecil ini terbukti bisa menabung.
Seorang pegawai kantoran berpendapatan satu juta rupiah dalam sebulan, sementara ia harus menghidupi seorang istri yang tidak bekerja dan seorang anak yang masih bayi, bisakah ia menabung? Jawabannya, mungkin akan berbeda-beda, masing-masing dengan argumentasi. Ada yang bilang bisa, ada pula yang mengatakan tidak mungkin bagi pegawai itu untuk menabung. Baiklah. Bapak satu anak ini sejak setahun lalu “merelakan” uangnya sebesar lima puluh ribu rupiah setiap bulannya untuk ditabung. Ia menganggap uang lima puluh ribu itu adalah jumlah pajak yang, mau tak mau, mesti dipotong dan disetor kepada pemerintah. Jadi, ia beranggapan uang lima puluh ribu itu bukan miliknya! Pertanyaannya, seberapa besarkah penderitaan/kemelaratan yang ditimbulkan oleh potongan uang sebesar lima puluh ribu itu terhadap kehidupan pegawai tersebut? Begitu besarkah dampaknya? Ia bilang, “diterima klop satu juta atau kurang lima puluh ribu, sama saja”. Pada umumnya orang akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Dengan kedua ilustrasi di atas, saya ingin menjelaskan maksud baik senior saya di atas. Walaupun pada kenyataannya kita mendapatkan penghasilan yang terbatas, kalau kita mau dan punya tekad, kita pasti mampu menyisihkan sebagian kecil dari pendapatan tersebut untuk masa depan dengan menabung.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
economist-suweca.blogspot.com

0 Response to "Berkelebihan di dalam Berkekurangan"

Posting Komentar