Perpustakaan Pribadi dan Hasrat Membaca

Oleh I Ketut Suweca

Memiliki perpustakaan pribadi di rumah adalah suatu kebutuhan di era modern sekaligus sebagai prestise. Bagi pandangan kebanyakan orang, perpustakaan di rumah mencirikan tingkat intelektualitas seseorang. Kalau orang memiliki perpustakaan di rumahnya, maka pada umumnya dapat diyakini bahwa si pemilik rumah adalah seorang intelektual, pencinta ilmu pengetahuan, atau seorang pembelajar yang dipastikan gemar membaca.
Perpustakaaan pribadi di rumah memang dapat merupakan simbol intelektualitas seseorang. Anda bisa membayangkan, bagaimana mungkin seseorang disebut intelektual atau pembelajar, kalau ia tidak punya cukup buku dan tidak suka membaca. Bagi seorang pembelajar, buku adalah sahabat karibnya. Oleh karena demikian, agar kesukaan akan buku itu terkondisi dengan baik, maka seyogianya dibangun perpustakaan pribadi di rumah. Bukan sekedar agar dipandang intelek atau mendapatkan predikat pembelajar, melainkan untuk menyiapkan ‘gudang ilmu’ dengan segala kelengkapannya, sehingga si pemilik bisa dengan mudah menyalurkan kebutuhan dan minat membacanya dalam kehidupan privat di rumah sendiri.

Siapkan Sarana

Paling tidak ada empat sarana utama yang perlu dipersiapkan tatkala hendak membangun perpustakaan pribadi di rumah. Pertama, perlu disiapkan sebuah ruang dengan luasan tertentu yang memadai untuk maksud ini. Boleh di ruangan khusus untuk perpustakaan, boleh di ruang tamu, atau di kamar tidur. Sesuaikan dengan ruang yang ada dan kondisi rumah Anda. Diantara pilihan itu, membuat ruangan khusus perpustakaan adalah yang terbaik. Kalau tidak ada ruang khusus, cukuplah dimanfaatkan space yang ada ruang tamu atau kamar tidur.
Kedua, siapkanlah rak yang relatif besar untuk meletakkan buku-buku Anda. Rak itu bisa terbuat dari kayu atau dari rangka besi, atau bahan lainnya, terserah Anda. Yang penting rak tersebut cukup kuat untuk menyangga buku-buku Anda ketika jumlahnya kian banyak dan rak itu terisi penuh dan enak dipandang mata. Upayakan rak tersebut tertutup dengan kaca tembus pandang. Ini penting untuk menjaga menghindari buku dari kotoran dan debu. Buku-buku yang tersimpan dengan baik akan lebih awet dan tak cepat kusam dan kotor. Kaca yang transparan dibutuhkan agar tatkala mencari buku, Anda dapat dengan mudah melihatnya tanpa harus membuka kaca. Ukuran rak buku pun hendaklah disesuaikan dengan luasan ruangan.
Perhatikan pula di sisi mana dari ruangan itu yang Anda manfaatkan untuk meletakkan rak buku. Upayakan agar posisinya strategis, tidak mengganggu tatkala Anda dan anggota keluarga lalu-lalang, dan mudah dijangkau. Ketinggian rak juga mesti diperhitungkan. Sebaiknya tinggi rak tak lebih dari setinggi jangkauan tangan Anda. Ini dimaksudkan, tatkala mengambil buku pada bagian rak yang paling atas, Anda masih bisa menjangkaunya hanya dengan menjulurkan tangan ke atas tanpa menggunakan tumpuan kursi atau sejenisnya.
Ketiga, siapkan buku-buku yang menjadi ‘kekayaan’ Anda itu. Untuk membeli buku-buku dimaksud, tentu Anda harus siap mengeluarkan dana yang lumayan banyak karena harga buku belakangan ini terbilang mahal. Tapi, pastinya buku-buku itu tak mesti dibeli sekaligus. Sisihkan saja sebagian kecil dari penghasilan Anda untuk membeli buku setiap bulannya. Jika memungkinkan, usahakan setiap bulan Anda menambahkan 2-3 buku ke dalam rak buku Anda. Kalau ada cukup uang, lebih banyak buku yang Anda koleksi setiap bulannya tentu lebih baik.
Keempat, siapkan sebuah meja baca dan kursi serta lampu yang cukup terang tempat Anda nantinya akan bersantai sambil menikmati bacaan dari gudang ilmu alias perpustakaan pribadi Anda. Di samping penerangan/pencahayaan sirkulasi udara di ruang baca ini hendaknya diperhatikan. Suasana yang nyaman akan membantu Anda membangkitkan mood atau hasrat membaca.
Sekedar sebagai ilustrasi, rekan senior saya, Widminarko, meletakkan rak bukunya yang berwarna cokelat tua menempel di salah satu sisi tembok ruangan khusus. Dia memposisi rak itu sedemikian rupa sehingga enak dipandang dan tidak terlalu banyak memakan ruangan. Buku-buku, majalah, dan referensi lain miliknya terlindungi dengan baik karena tertutup kaca yang tembus pandang. Setiap kotak dalam rak itu diletakkan buku-buku yang sejenis dan disertai label jenis buku dimaksud. Tepat di depan rak yang sarat buku itu, ia meletakkan kursi empuk untuk menikmati bacaan yang beragam itu sambil santai. Lampu yang menggantung di langit-langit ruangan bersinar putih bersih menerangi ruangan perpustakaan yang cukup luas itu.
Ketika ditanya, apa resep keberhasilannya di dunia kewartawanan, ia bilang, “ Seorang wartawan dan penulis yang baik haruslah tidak pernah berhenti belajar. Ia mesti selalu rajin membaca, mendengar, menonton/melihat, dan mencatat. Kalau orang lain menghadiri rapat atau seminar banyak yang hanya duduk mendengar, saya justru mendengar sambil mencatat dengan seksama. Catatan itu akan membantu dalam mengingat sesuatu di kemudian hari.”
“Perpustakaan ini saya buat untuk menunjang aktivitas menulis saya. Saya butuh buku-buku dan sumber bacaan lain untuk menulis. Sebagian besar sudah tersedia di perpustakaan ini,” ujarnya ketika berbincang-bincang dengan penulis di rumahnya yang asri di bilangan utara kota Denpasar belum lama ini.

Sisihkan Waktu

Membangun perpustakaan pribadi adalah sebuah langkah awal yang bagus. Tapi, semua itu belumlah cukup kalau tidak dibarengi dengan kesediaan meluangkan waktu untuk membaca, menggali ilmu pengetahuan dari perpustakaan yang Anda buat. Sisihkan waktu, paling tidak satu atau dua jam setiap hari untuk membaca. Dan, kita tentu sepakat bahwa membaca itu banyak manfaatnya.
Yang paling utama, dengan membaca orang pasti bakal bertambah wawasan pengetahuannya. Semakin rajin dan suntuk orang menggali pengetahuan semakin bertambah pula wawasannya sehingga ia bakal menjadi orang yang berwawasan luas. Di samping itu, membaca juga dapat meningkatkan kecerdasan. Seorang atlet binaraga akan kian bagus bentuk otot-otot pada tubuhnya apabila berlatih secara teratur dan benar. Demikian pula, dengan membaca maka kecerdasan pun dapat dipastikan akan meningkat karena Anda telah melatih ‘otot-otot’ otak secara berkelanjutan.
Nah, selamat membangun perpustakaan dan selamat membaca. ***
Read more ...

Teruslah Menulis, Menulislah Terus

Oleh I Ketut Suweca

Mari kita tengok seorang balita yang sedang belajar berjalan. Ia tak langsung bisa berjalan seperti orang dewasa, bukan? Dia mungkin akan mulai dari belajar merangkak. Dia mencoba menyeimbangkan kedua kakinya saat bergerak. Setelah bisa merangkak, sedikit demi sedikit ia mencoba berdiri. Setiap kali mencoba berdiri, ia jatuh. Pantatnya berkali-kali terhempas ke lantai. Tapi, ia bangun lagi setiap kali terjatuh. Usaha yang berulangkali dari hari ke hari membuatnya bisa berdiri pada akhirnya. Tak puas hanya sekedar berdiri. Kali ini tiba saatnya mulai belajar melangkah. Dia pun mencoba melangkahkan kakinya satu satu. Pelan-pelan sekali. Badannya oleng dan ia pun jatuh. Begitu terus-menerus terjadi sampai akhirnya balita tadi benar-benar mampu melangkah dengan cukup sempurna. Senyum manis dan tawa kecil melengkapi kemenangannya!
Ketika menginjak sekolah dasar, mari kita lihat lagi anak ini belajar naik sepeda gayung. Mula-mula ia belajar menuntun sepedanya di gang kecil di depan rumah. Setelah itu, dia mencoba menaiki sepeda itu dan menggayungnya, dan belum berhasil. Dia jatuh berkali-kali. Beberapa kali lutut dan sikunya lecet lantaran berbenturan dengan permukaan beton di gang tempatnya berlatih. Latihan itu dilakukannya berulang-ulang tanpa putuas asa. Dan, apa hasilnya? Akhirnya ia berteriak gembira: “Aku bisa. Pa, Ma, aku bisa naik sepeda!”
Setelah si anak beranjak remaja, mari kita lihat bagaimana ia yang belajar berenang. Ia tidak belajar berenang dari buku-buku tentang teknik berenang. Dia langsung saja terjun ke air kolam yang cukup dangkal. Lalu, ia pun mencoba menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Berkali-kali dicoba, tapi belum berhasil. Tanpa pernah bosan, ia berlatih terus-menerus. Dan, akhirnya, suatu hari kemudian, remaja kita ini bisa berenang! “Horee, saya berhasil,” teriaknya yang didengar teman-teman seusianya. Ia tersenyum, manis sekali.
Apa kaitan cerita itu dengan aktivitas menulis? Jika ingin menjadi penulis, maka kita pantas belajar dari anak tersebut. Bagaimana ia belajar berjalan ketika masih balita, lalu belajar bersepeda ketika kanak-kanak, dan belajar berenang tatkala remaja. Hikmah yang dapat kita petik: perlunya latihan dan latihan. Kalau orang ingin menjadi penulis andal, tentu diperlukan kesediaan berlatih menulis secara terus-menerus. Tak bisa lain. Membaca buku-buku teknik menulis, walaupun perlu, tapi bakal tak banyak gunanya kalau kita tak kunjung menggoreskan tinta pena di atas kertas atau kalau kita tak mau membuat jemari kita ‘menari’ di atas tuts komputer.
Penulis 38 judul buku yang sebagaian besar best seller, Andrias Harefa, memiliki anjuran yang bagus. “Untuk menjadi penulis, yang diperlukan hanyalah kemauan. Anda bisa melakukannya saat ini juga. Ya, sekarang juga,” katanya. “Untuk menjadi penulis Anda hanya perlu melahirkan karya tulis. Jika hari ini tulisan Anda muncul di blog atau di milis atau di media manapun yang bisa dinikmati orang, maka dalam arti yang sederhana, Anda sudah jadi penulis. Jadi, apalagi yang Anda tunggu? Menulislah”, anjur pria pendiri Komunitas Writer Schoolen ini.
Menulis adalah pekerjaan melakukan, pekerjaan ‘action’. Jadi, tulis saja yang ingin ditulis. Apa itu dimaksudkan untuk sekedar mengeluarkan unek-unek di selembar kertas kecil, mengisi buku harian, mengisi blog, atau membuat artikel. Cita-cita menjadi penulis tak akan pernah tercapai kalau kita tak pernah menghasilkan tulisan. Mimpi menjadi penulis saja tak cukup. Yang lebih penting: berani mewujudkan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Untuk ini, tiada pilihan lain selain menulis dan menulis tanpa pernah berhenti. Kalau hasilnya belum sempurna, tak mengapa. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Teruslah menulis dan menulislah terus.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca? ***
Read more ...

Refleksi Akhir Tahun 2010: Dalam Lingkar Hukum Kausalitas

I Ketut Suweca

Tahun 2010 segera berakhir. Tahun 2011 kita masuki. Ada banyak cacatan perjalanan di belakang sebagai jejak tapak kaki kita. Ada haru biru, ada sedih merintih disana. Ada juga sederet kesukacitaan dengan sejumput prestasi. Kini, di peralihan tahun, saatnya kita melakukan refleksi. Merenungkan apa yang sudah berhasil kita capai, apa pula yang belum. Dari masa lalu itu kita belajar menyongsong masa depan. Dengan refleksi kita menjaga jarak dengan masa yang kini berada di belakang kita sambil mengajukan pertanyaan bernuansa filsafati : Kita sudah sampai dimana? Apakah ayunan langkah kita sudah berada dalam rel yang seharusnya, tidak melenceng keluar dari norma yang ada? Dan, adakah pula kita sudah berkontribusi bagi kemaslahatan hidup bersama dan terhindar dari sikap mementingkan diri sendiri? Apa pula yang hendak kita mimpikan di tahun baru?
C atatan Keprihatinan
Perjalanan di sepanjang tahun 2010 memberikan kita sebuah gambaran yang berwarna. Di situ tercatat ada kisah-kisah memilukan dan sangat menyayat hati. Sebagian dari saudara-saudara kita sebangsa dan senegara di Mentawai (dan Aceh) tertimpa tsunami. Kondisi mereka benar-benar memprihatinkan. Hingga kini pun ada yang belum tertangani dengan tuntas, sebagaimana dilaporkan sebuah media televisi nasional baru-baru ini. Ada lagi bencana Gunung Merapi yang telah meluluhlantakkan sejumlah desa di sekitarnya. Rumah-rumah masyarakat rusak berat, infrastruktur juga tak berbeda. Hewan peliharaan petani nyaris mati seluruhnya terkena wedhus gembel, lahan pertanian pun tak bisa ditanami. Dan, ketika letusan berarkhir, tiba-tiba datang banjir yang membawa lahar dingin muntahan gunung, melanda wilayah yang dilewatinya. Lalu, ada juga kisah tentang banjir di ibu kota negara yang tak berkesudahan terjadi pada setiap musim hujan, di samping banjir-banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah di seantero negeri. Sungguh sangat memprihatinkan melihat keadaan seperti ini.
Dalam cacatan perjalanan itu, ada pula berita kemalangan yang menimpa para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Di Arab Saudi, juga di Malaysia. Para TKI yang acap dipredikati sebagai pahlawan devisa, sebagian diantaranya bernasib tidak mujur. Kalau tidak diperkosa, mereka tak diberi gaji atau disiksa oleh majikannya. Inilah rupanya resiko mengirimkan tenaga kerja yang hampir tanpa keterampilan, sebagai pembantu rumah tangga. Mungkin saja sebagian dari majikan itu melihat para pembantu itu tak lebih dari seorang budak yang, menurutnya, dapat diperlakukan semaunya. Proteksi terhadap mereka jauh dari cukup untuk menjamin keamanan dan keselamatan mereka di perantauan.
Kasus-kasus korupsi pun tak habis-habisnya terjadi. Media massa sangat rajin memuat berbagai tindakan menggaruk uang negara itu untuk memperkenyang diri dan kelompok. Tak peduli dengan yang namanya moralitas. Karena, yang terpenting adalah, keinginan atau tujuan tercapai. Segala cara dihalalkan untuk mendapatkan apapun yang diinginkan. Bila perlu, mereka melakukan tindakan menyuap aparat demi terhindar dari jeratan hukuman. Kalau pun terpaksa terseret juga, maka ia akan melakukan apapun untuk menghindari atau memperingan hukuman. Orang-orang seperti inilah yang, alih-alih mengantarkan bangsa ini ke arah kemajuan, mereka malah mendorong bangsa ini ke tepi jurang kehancuran. Hasilnya, Indonesia yang hingga kini masih dipredikati oleh lembaga Transpancy International sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Ini, lagi-lagi memprihatinkan kita.
Catatan Melegakan
Beruntung kita masih punya sepak bola yang memberikah secercah pengharapan, penghiburan, dan peluang berprestasi. Perhelatan sepak bola Piala AFF 2010 merupakan salah satu yang memberikan pengharapan sekaligus kebanggaan. Selama ini, rakyat telah dibombardir oleh informasi seputar berbagai persoalan negeri dapat menarik nafas lega, lalu bilang: untung ada sepak bola! Ya, melalui bola, muncul kegairahan dan kepercayaan diri yang kian menguat, bahwa kita adalah bangsa yang besar yang layak diperhitungkan oleh negeri-negeri tetangga bahkan dunia. Di dalam sepakbola kita melihat keindonesiaan, kita melihat nasionalisme. Keindonesiaan atau nasionalisme yang mungkin sempat kita ragukan keajegannya, terbukti masih kuat yang tersimbul membahana lewat bundarnya bola. Setiap orang Indonesia tersedot perhatiannya pada sepak bola Piala AFF ini. Mereka semua merasa sangat berkepentingan agar Indonesia menjadi juara dalam laga Asia Tenggara ini. Mereka mendukung Tim Merah Putih yang berjuang keras di lapangan. Sepakbola membawa kita pada wawasan nusantara, mengingatkan bahwa kita mesti siap membela negeri ini dengan segala upaya.
Akan halnya dengan bencana-bencana yang terjadi seperti tanpa berkesudahan itu ternyata membangkitkan solidaritas sosial masyarakat Indonesia. Solidaritas sosial, yang mungkin kita duga sudah mati suri, ternyata masih hidup jauh di dalam hati sanubari insan negeri ini. Para sukarelawan turun tangan bersama-sama pemerintah dan masyarakat menolong saudara-saudara mereka yang terkena bencana. Bantuan-bantuan dari berbagai pelosok Indonesia pun datang untuk meringankan penderitaan korban. Tak ketinggalan, awak media massa, cetak dan elektronik, melaporkan peristiwa itu dari hari ke hari sehingga dengan demikian publik tahu perkembangan yang terjadi. Awak media telah mendedikasikan halaman-halaman medianya untuk memberitakan perkembangan bencana. Mereka melakukan itu semua tanpa pamrih, tanpa motif mengharapkan imbalan. Ternyata, masih sangat banyak anak negeri ini yang berjiwa dermawan, yang siap lahir dan batin menolong saudaranya yang tengah menderita.
Solidaritas sosial, nasionalisme, kedermawanan merupakan nilai-nilai luhur yang kita miliki sebagai bangsa yang sudah terbukti nyata diamalkan. Nilai-nilai berharga ini perlu terus dihidupkan ketika kita hendak melangkah ke depan, saat kaki kita melangkah ke tahun 2011 dan meninggalkan tahun 2010. Di samping itu, nilai-nilai kejujuran perlu kita tumbuh kembangkan agar menghiasi langkah tindak kita ke depan, baik dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara.


Berani Bermimpi
Marilah kita berani bermimpi tatkala memasuki tahun 2011. Bukan sekedar bermimpi di siang hari, melainkan memimpikan tentang kehidupan yang lebih baik. Mimpi adalah langkah awal yang baik, dan ini butuh kepercayaan diri dan keberanian: mimpi seperti apa yang kita miliki? Masa depan macam apa yang kita harapkan terwujud? Kita mesti belajar dari pengalaman masa lalu, agar tak kehilangan tongkat yang kedua kalinya. Kita juga mesti mengambil hikmah dari masa lalu untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan ke depan. Kita jadikan masa lalu sebagai batu pijakan untuk menapaki masa datang. Seperti sebuah ungkapan, “barangsiapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia merupakan orang yang beruntung. Kalau sama saja, dia adalah orang yang merugi. Kalau lebih buruk, dia adalah orang yang celaka.”
Mari kita menguatkan pikiran positif kita: berpikir bahwa selalu ada harapan yang lebih baik di masa depan. Post nubila jubila: setelah awan mendung, ada suka cita. Pikiran positif dan sikap optimistik niscaya akan membawa kita pada pengharapan dan memberikan kita gairah untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas. Untuk itu, mari menabung kebaikan, bukan menabung dosa. Mari memperkuat kejujuran, bukan kebohongan dan egoisme. Mari kita perkuat nasionalisme dan solidaritas sosial, bukan anarkhi dan ketidakpedulian. Mengapa? Karena, seperti sebuah ungkapan, “siapa yang menabur angin akan menuai badai. Siapa yang menanam singkong akan memanen singkong.” Kita semua berada dalam lingkar hukum kausalitas. Selamat Tahun Baru 2011.
Read more ...

Menggugah Guru Gemar Menulis

I Ketut Suweca

Seorang guru bertutur tentang dunia tulis-menulis di depan kelas. Kata sang guru, menjadi penulis yang terkenal itu sangat menyenangkan. Katanya, banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan menulis atau mengarang, termasuk di dalamnya untuk mendapatkan honorarium. “Sebuah artikel yang dimuat di media nasional bisa dihargai sampai Rp. 1 juta,” katanya dengan penuh semangat. Para murid dengan suntuk mendengar ucapan sang guru. Satu diantara para siswa itu bertanya dengan polosnya: Pak Guru sudah banyak menulis ya? Berapa honor yang Bapak peroleh? Saya jadi tertarik.” Pembaca tahu jawaban sang guru? “Belum ada,” disertai serangkaian alasan mengapa ia tak sempat menulis. Salah satu dalihnya adalah kesibukan yang sangat padat, baik dalam kaitannya dengan persiapan tugas mengajar dan tugas administratif lainnya di sekolah maupun kegiatan lainnya di luar sekolah.
Ilustrasi di atas bukanlah dimaksudkan menyudutkan guru atau mengurangi penghargaan terhadap guru, melainkan hanya sebagai gambaran betapa para guru kita belum banyak yang ‘turun gunung’ melalui tulisan-tulisannya. Padahal, secara intelektual, guru-guru kita sangat berpotensi menjadi penulis andal. Akan tetapi, walaupun ada niat menuangkan pikiran lewat tulisan berupa artikel untuk media massa, tapi tidak pernah direalisasikan. Padahal, bagi seorang guru, untuk mendorong para siswa menggemari kegiatan menulis atau mengarang, sang guru sendiri mesti mampu menjadi teladan di bidang ini.

Menghitung Manfaat Menulis
Kalau ditelisik lebih jauh, manfaat menulis di media massa cukup banyak. Pertama, ini kiranya yang terpenting, yakni untuk mendapatkan nilai kredit (credit point) bagi profesinya sebagai guru. Dengan menulis guru yang bersangkutan akan mendapatkan nilai angka kredit, dan ini berdampak langsung bagi karier/kepangkatan.
Kedua, dengan menulis seorang guru dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. Tulisan-tulisan yang berhasil dimuat di media massa bisa lebih meyakinkan dirinya lagi bahwa ia memiliki kualitas. Tulisan-tulisan itu dapat menjadi bukti nyata dari kualitas dan kapabilitasnya sebagai seorang pendidik.
Ketiga, dengan menulis secara kontinyu, berarti seorang guru telah mengedukasi masyarakat. Jadi, guru tak hanya mendidik para siswa di sekolah, bahkan juga menjadi ‘guru’ bagi masyarakat. Dengan menulis, para guru yang penulis dapat berbagi (sharing) kepada masyarakat pembaca melalui ide-ide yang dituangkan ke dalam artikelnya. Alangkah menyenangkan kalau melalui artikel-artikelnya di media cetak para guru juga bisa berbagi kepada masyarakat luas, bukan? Masyarakat kita tentu akan semakin cepat meningkat kecerdasan dan meningkat pula pengetahuannya melalui bantuan para guru yang penulis.
Keempat, dengan menulis seorang guru akan mendapatkan tambahan penghasilan dari honorarium yang diterima atas dimuatnya tulisannya di koran atau majalah. Sebutlah, misalnya, dalam sebulan ia dapat meloloskan artikelnya sebanyak 4 buah di sebuah media nasional. Andaikan honor setiap artikel itu sebesar Rp.250.000 rupiah. Jadi, dalam sebulan ia akan mendapatkan tambahan penghasilan satu juta rupiah. Lumayan untuk menambah isi kantong, bukan?
Kelima, dengan menulis, seorang guru akan meningkatkan kecerdasan atau intelektualitasnya. Mengapa? Karena, untuk menulis, ia mesti menggali berbagai sumber informasi yang relevan. Aktivitas ini berdampak langsung terhadap peningkatan kemampuan intektual dan daya imajinasinya.

Diperlukan Komitmen
Banyak sekali alasan yang bisa dipakai sebagai dalih bagi seseorang untuk menolak atau menghindari kegiatan menulis. Seperti disebutkan di awal, kesibukan-kesibukan yang padat menjadi alasan pamungkas untuk tak menyentuh aktivitas menulis. Alasan-alasan itu menjadi sah dan masuk akal. Akan tetapi, menurut penulis, yang diperlukan sesungguhnya adalah komitmen. Artinya, ada tekad dari para guru untuk meluangkan waktu di sela-sela kesibukan mereka untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk karya tulis untuk media massa. Kalau seseorang berkomitmen, maka tidak akan ada alasan lagi baginya untuk menghindari aktivitas tulis-menulis. Komitmen itu seperti sebuah janji kepada diri sendiri. Dengan kata lain, diperlukan ‘kebulatan tekad’ untuk menulis dan menjadi penulis.
Selanjutnya, guna mendukung kegiatan ini diperlukan pembiasaan menggali pengetahuan dari berbagai sumber. Buku, majalah, koran, internet, radio, siaran televisi, dan berbagai bentuk sumber informasi lainnya dapat dipakai sebagai bahan mentah untuk diolah menjadi tulisan. Oleh karena itu, guru yang (calon) penulis mesti rajin membaca, mendengar, menonton, dan mencatat. Keempat aktivitas ini akan memampukan seseorang untuk menjadi penulis yang baik. Menulis adalah kegiatan merangkai gagasan ke dalam sebuah karya dengan menggunakan huruf, angka, kata, kalimat, dan data. Orang tak mungkin menghasilkan sebuah tulisan yang berbobot dari pikiran kosong, bukan?
Mereka yang tidak terbiasa menulis atau mengarang tentu akan merasakan kesulitan pada awalnya. Akan tetapi, ketika aktivitas ini sudah menjadi kebiasaan, maka ini akan menjadi mudah. Jadi, tak perlu terlalu dikhawatirkan. Kita mungkin masih ingat ketika awal belajar mengemudikan kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor. Pada mulanya amat susah, bukan? Tapi, setelah berlatih secara kontinyu, mengatasi berbagai kesulitan, segalanya kemudian menjadi mudah, bagai aktivitas yang berlangsung otomatis. Apalagi mengingat guru adalah intelektual yang rata-rata berpendidikan tinggi. Potensi ini kalau dimanfaatkan dengan baik akan dapat mengantarkannya menjadi penulis andal.
Kalau dalam proses tersebut ada sejumlah masalah yang berkenaan dengan kesulitan mendapatkan ide-ide yang bakal ditulis, pasti akan dapat diatasi. Dengan membaca, menonton, mendengar, dan mencatat dengan rajin, niscaya para guru akan mendapatkan gagasan-gagasan berharga untuk dituangkan ke dalam tulisan. Kalau, misalnya, persoalannya terletak pada pemakaian tata bahasa, ejaan, diksi, dan gaya bahasa, atau yang sejenis, ada banyak buku yang dapat dijadikan acuan. Kalau terkendala dengan waktu, dengan komitmen yang tulus, tentu waktu itu dapat diatur dan dapat diluangkan khusus untuk menulis.
Aktivitas tulis-menulis sudah pasti bermanfaat, baik bagi guru maupun masyarakat. Jalan menuju ke dunia tulis-menulis pun terbuka lebar bagi para guru kita. Maka, tinggal satu langkah lagi : memulainya sekarang juga. ***
Read more ...

Remunerasi Bukan Single Track

Oleh I Ketut Suweca *)

Setelah peningkatan remunerasi di lingkungan Kementerian Keuangan RI dilaksanakan, kini giliran aparat di jajaran di lembaga kepolisian bakal didongkrak penghasilannya melalui tunjangan kinerja berdasarkan Perpres No.73/2010 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Polri yang dikeluarkan 15 Desember 2010. Tentu saja kita menyambut baik program remunerasi itu, dengan harapan lembaga-lembaga dimaksud bakal menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Akan tetapi, kita menjadi sedikit pesimis dengan remunerasi. Salah satu kasus di lingkungan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan membuktikan betapa perbaikan penghasilan tidak serta-merta berpengaruh terhadap berkurangnya perilaku korupsi. Orang yang berpanghasilan (lebih) besar tak menjamin akan meninggalkan mental koruptif. Gayus HP Tambunan, hanyalah salah satu contoh di samping banyak kasus sejenis di lembaga pemerintahan lainnya yang seringkali diberitakan media massa.
Problem Mentalitas
Penulis berpendapat, kasus-kasus korupsi terjadi sebagai problem mentalitas. Artinya, persoalan korupsi yang terjadi mesti dibedah dengan pendekatan psikologi. Orang korupsi, karena apa? Dorongan bergaya hidup mewah dan serba mudah telah membawa orang untuk mencari jalan untuk memenuhinya. Beragam keinginan lalu muncul dari berbagai stimulus eksternal. Ketika ada jalan, apalagi tanpa pengawasan yang memadai, orang lalu mengambil jalan yang keliru: melakukan korupsi. Tepatlah ucapan ahli politik Lord Acton, bahwa the power tend corrupt! Tambahannya: apalagi tanpa pengawasan, pasti korupsi.
Dalam konteks ini, ada dua jenis mentalitas. Pertama, ia yang bermental berkecukupan yang disertai rasa syukur. Manusia jenis ini tak akan neko-neko untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Dia lebih banyak mensyukuri apapun yang diperolehnya dari kehidupan dan usahanya. Orientasinya bukan melulu pada upah, gaji, dan hasil semata. Melainkan, ia lebih mengutamakan pengabdian yang tulus, selalu berusaha berbuat baik dengan mengerjakan tugas dan kewajibannya sebagai wujud tanggung jawabnya kepada bangsa dan negara. Kalau ada predikat untuknya, yang cocok adalah predikat pahlawan pembangunan.
Kedua, ia yang bermentalitas rakus. Orang semacam ini tidak akan pernah puas apa yang diperolehnya. Ia selalu menginginkan lebih dan lebih. Tak peduli bagaimana cara mendapatkan lebih itu, yang penting mereka selalu menginginkan bagian yang sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya. Ia akan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan (the end justifies the mean). Tak peduli dengan norma-norma yang ada, apalagi norma agama. Yang dihindarinya mungkin hanya hukum positif dengan segala macam sanksinya. Kalaupun harus terseret masalah hukum, dia tetap akan berjuang keras untuk keluar dari jeratan hukuman, bagaimanapun caranya.
Mentalitas rakus menjadi klop dengan mentalitas menerabas seperti pernah ditulis budayawan Koentjaraningrat. Ya, dengan mental menerabas ia bisa cepat dan langsung mendapatkan apapun yang diinginkan. Kalau dia kebetulan mencapai kedudukan strategis di birokrasi atau di lembaga lainnya, maka ia tak segan-segan memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi, mereka adalah penganut ‘ajaran’ aji mumpung yang setia.
Mentalitas orang semacam inilah yang menyebabkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, juga bakal mengantarkan bangsa ini ke dalam lembah kehancuran. Bagai belut, orang seperti ini licin sekali sehingga sulit ditangkap. Ia sangat lihai bersilat lidah, sangat lihai pula menyuap orang untuk tutup mulut agar lebih leluasa mengeruk kekayaan negeri. Di dalam sebuah negeri yang penegakan hukumnya masih carut-marut , sulit menentukan siapa sesungguhnya sang maling (baca: koruptor)-nya, mana pula yang bukan. Karena, maling seringkali berteriak maling. Alhasil, bisa jadi aparat salah tangkap.
Ada ungkapan yang menyatakan, sebenarnya sumber daya yang ada sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan semua, tapi sama sekali tak cukup untuk seorang manusia yang rakus. Kalau misalnya terdapat banyak orang Indonesia bermentalitas rakus, maka dapat dipastikan negeri ini berada di ambang kebangkrutan. Lalu, bagaimana pertanggungjawaban kita terhadap generasi mendatang?
Harapan dari Remunerasi
Masih beruntung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menabuh genderang perang terhadap korupsi. Lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab mengawasi dan menindak koruptor sudah diperkuat. Air segar nan jernih telah dituangkan ke dalam wadahnya. Akankah berhasil? Perjalanan pemberantasan korupsi masih panjang, terjal, dan berbatu. Mari kita lihat dan dukung perjuangan ini.
Dengan remunerasi, kita berharap bakal banyak terjadi perubahan ke arah positif. Pertama, penghasilan para pegawai pemerintah (birokrasi) yang mendapatkan peningkatan remunerasi akan lebih layak atau memadai. Kedua, tumbuhnya pelayanan publik yang lebih baik sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah atas uang rakyat yang dipergunakan. Ketiga, tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang belakangan ini turun drastis. Keempat, menurunnya angka korupsi sehingga lambat laun dapat mendongkrak prestise Indonesia di mata dunia menjadi salah satu negara yang lebih bersih.
Semoga masih ada kekuatan dari dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan kekuatan eksternal yang dapat mendorong tercapainya keempat hal itu. Semoga para pemimpin negeri ini masih banyak yang bersedia menjadi teladan yang baik, yang ucapannya selaras dengan tindakannya. Semoga tugas pengawasan kian digiatkan dengan pengenaan sanksi tak pandang bulu bagi yang bersalah. Peluang terjadinya moral hazard sudah saatnya ditutup rapat-rapat. Mari kita mencoba optimis seraya berdoa kepada Tuhan yang Mahaadil agar cita-cita mulia ini dapat terwujud tanpa, lagi-lagi, harus mengorbankan rakyat. Kita tahu, tak ada yang salah dengan remunerasi. Tapi, remunerasi tidak boleh diandalkan sebagai single-track untuk menghapus korupsi.
Read more ...

BBM Nonsubsidi dan Moral Hazard

Oleh I Ketut Suweca

Wacana pembatasan BBM nonsubsidi kini mulai mengerucut. Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pelanksanaan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi mulai akhir Maret 2011. Awalnya, rencana ini akan diberlakukan per Januari 2011. Karena berbagai pertimbangan termasuk supaya mendapatkan waktu persiapan yang cukup, maka pelaksanaannya diundur.
Pada tahap pertama, semua kendaraan mobil ber-plat hitam (mobil pribadi) diharuskan memakai premium bersubsidi. Mobil pribadi tak boleh lagi disusui dengan BBM bersubsidi seperti sebelumnya. Selanjutnya, sampai dengan tahun 2013 aturan tersebut sudah berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Sebagaimana diberitakan sebuah harian nasional, alasan mendasar pemerintah untuk memberlakukan aturan ini adalah UU APBN 2011. Undang-undang itu mengamanatkan, volume BBM bersubsidi dibatasi sama dengan tahun 2010 yakni sekitar 38 juta kiloliter. Jika tanpa pengendalian, diperkirakan konsumsi BBM mencapai 42 juta kiloliter. Dengan pembatasan ini, pemerintah mengharapkan bisa menekan subsidi sebesar Rp.3,8 triliun pada tahun 2011. Sampai tahun 2013 diperkirakan mencapai Rp.20,7 triliun.
Alasan penghematan subsidi ini tentu saja dapat dipahami sebagai langkah untuk mengalihkan dana pemerintah untuk pembangunan yang lebih menjadi prioritas. Yang kita harapkan, diantaranya, diperbaikinya moda transportasi sehingga dapat menunjang kelancaran perekonomian rakyat. Kita juga mafhum, kalau langkah penghematan ini tidak dilakukan, maka semakin bertambahnya tahun semakin banyak pula dana yang tersedot untuk keperluan BBM bersubsidi. Agaknya, masyarakat Indonesia yang relatif lebih mampu secara ekonomi perlu secara bertahap diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk lebih mandiri. Sebaliknya, kepada masyarakat ekonomi lemah dan masyarakat miskin mendapatkan kesempatan untuk menikmati subsidi tersebut karena alasan kebutuhan real.
Penulis berpandangan, memilih mengenakan BBM nonsubsidi hanya pada kendaraan roda empat berplat hitam adalah pilihan yang paling rasional. Kalau opsi lain yang dipilih, seperti dengan melihat angka tahun keluaran kendaraan yang 2005 ke atas, dalam prakteknya akan sangat sulit. Apakah, misalnya, petugas SPBU mesti mengecek dulu STNK kendaraan pembeli sebelum mengisinya dengan minyak? Ketidakpraktisan ini akan menghambat program yang dilakukan. Dengan menentukan BBM nonsubsidi hanya untuk mobil plat hitam, maka pada setiap SPBU cukup disediakan satu-dua counter pengisian BBM khusus untuk melayani konsumen yang bermobil jenis ini. 

Yang Perlu Diperhatikan
Ada beberapa hal atau kemungkinan yang seyogianya dicermati pemerintah sebelum memberlakukan aturan ini. Hal ini penting, agar dapat diperkecil faktor penghambatnya sekaligus agar pelayanan kepada masyarakat konsumen dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pertama, sebagaimana ditentukan bahwa pertama-tama pelaksanaan BBM nonsubsidi akan diberlakukan di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Artinya, mereka yang bermobil plat hitam yang membeli BBM di wilayah itu tak lagi mendapatkan subsidi. Yang harus diwaspadai, bukan tidak mungkin sebagian masyarakat akan membeli BBM ke luar wilayah Jabodetabek dimana aturan dimaksud belum diberlakukan untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Bukankah tidak ada aturan yang melarang mereka membeli premium di luar wilayah?
Kedua, bukan tidak mungkin muncul perilaku ‘memborong’ BBM bersubsidi untuk ditimbun lalu dijual lagi. Dengan menggunakan mobil bukan plat hitam (kendaraan umum, misalnya), orang bisa saja tergerak melakukan pembelian demi pembelian BBM nonsubsidi untuk dijual kembali dengan harga lebih mahal tapi sedikit lebih murah dari BBM nonsubsidi. Disparitas harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi dapat menggoda orang melakukan hal ini. Juga, bukan tidak mungkin akan terjadi pembelian besar-besaran yang disertai penimbunan BBM bersubsidi 1-2 bulan menjelang diterapkannya aturan ini pada akhir Maret 2011 terutama pada wilayah Jabodetabek. Begitu selanjutnya pada daerah-daerah lainnya menjelang aturan tersebut diberlakukan. Oleh karenanya harus ada pola atau sistem pengawasan untuk menekan kemungkinan terjadinya tindakan tak bermoral (moral hazard) seperti ini.
Ketiga, kegiatan produktif pada masyarakat masih banyak yang menggunakan mobil plat hitam. Jika mereka menggunakan mobilnya untuk berproduksi, tentu akan berdampak pada peningkatan biaya (cost) produksi. Kemana lagi produsen suatu produk atau jasa akan mengalihkan biaya tambahan yang disebabkan meningkatnya harga premium itu kalau bukan ke faktor harga. Maka, harga barang produksi dan jasa akan kian melambung. Ini tentu saja membuat masyarakat kian terjepit. Konsumenlah yang pada akhirnya terkena dampatknya. Harga yang melangit mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Daya saing perekonomian Indonesia pun bisa melemah.
Keempat, ada kemungkinan para pemilik mobil plat hitam akan menjual mobilnya. Siapa yang dapat menjamin mereka bakal mempertahankan kendaraannya? Tidak ada, bukan? Mereka mungkin akan memilih menggunakan sepeda motor untuk keperluan transportasi. Karena kian banyak orang menjual kendaraannya, maka harga mobil bekas merosot tajam karena penawaran jauh di atas permintaan. Penjualan mobil keluaran baru untuk pribadi pun dapat ditengarai bakal merosot secara kuantitas sebagai akibat calon konsumen memperhitungkan faktor kemahalan BBM. Biaya yang akan mereka keluarkan jauh lebih besar daripada saat BBM masih disubsidi pemerintah.
Itulah kiranya yang harus diperhatikan oleh pemerintah sekaligus melakukan langkah antisipasi. Harus dipahami semua kibijakan baru, apalagi yang tidak populis, akan sangat berat diawalnya. Diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dengan menghitung setiap resiko atau akibat yang mungkin ditimbulkannya terutama yang terkait langsung dengan kemaslahatan hidup masyarakat luas. 

Untuk Kesejahteraan
Hanya saja pemerintah harus tetap konsisten untuk memanfaatkan penghematan dari subsidi itu untuk kesejahteraan masyarat. Diantaranya, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana transportasi. Juga, untuk diarahkan kepada masyarakat yang masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan yang benar-benar perlu dibantu agar bisa hidup lebih baik dan mandiri nantinya. Di samping itu, sebisa mungkin jangan sampai penghematan ini mengakibatkan masyarakat berkorban dan berkorban lagi lantaran kehilangan kesempatan meningkatkan produktivitasnya.
Semua pihak yang terkait dengan rencana ini memang sudah seharusnya bersinergi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Hal ini penting untuk mencapai hasil terbaik dalam pelaksanaannya di lapangan. Sosialisasi rencana ini tak kalah pentingnya agar masyarakat sebagai konsumen paham dan lebih siap menerima kebijakan ini tatkala diberlakukan.
Walaupun berat pada awalnya, mudah-mudahan kebijakan ini dapat berjalan dengan baik. Tak bisa dihindari, prinsip kaizen, yakni penyempurnaan sambil jalan dan secara bertahap, harus terus dilakukan. Tujuannya agar masyarakat dapat terlayani dengan sebaik-baiknya, kendati biaya yang mereka keluarkan lebih besar dibanding sebelumnya.
Read more ...

Berawal dari Blog , Berakhir Jadi Buku

Oleh I Ketut Suweca

Ada gejala yang cukup menarik belakangan ini dalam hubungan antara blog dan buku. Sejak dulu hingga kini orang menulis buku memang dengan sengaja untuk dijadikan sebuah buku. Artinya, orang mempersiapkan dan membuat tulisan untuk diwujudkan menjadi buku. Di samping itu, ada juga buku yang merupakan ‘bunga rampai’ dari tulisan-tulisan lepas. Tulisan-tulisan lepas itu berasal dari seorang penulis, bisa pula dari beberapa penulis. Sejumlah tulisan itu dikumpulkan, dirangkai sedemikian rupa, lalu diterbitkan ke dalam bentuk buku. Sedikit-banyak tema tulisan-tulisan itu ada keterkaitannya satu dengan lainnya.

Kini, isi blog-lah yang dimanfaatkan menjadi buku. Tulisan-tulisan yang diposting dan terdokumentasi dalam sebuah blog dipinang penerbit untuk dicetak menjadi sebuah buku. Inilah yang mulai terjadi beberapa tahun terakhir. Sebuah perkembangan yang cukup menarik dan menjanjikan bagi para blogger.
Beberapa contoh konten blog yang jadi buku, diantaranya buku ‘Jalan-Jalan Bali’, yang pada awalnya merupakan isi sebuah blog yang dimiliki seorang blogger Bali. Buku itu menjadi laris manis, karena berisi informasi yang berguna bagi mereka yang hendak melakukan tour ke Pulau Dewata. Lalu, ada pula buku yang diambil dari blog yang juga laris manis bak kacang goreng. Judulnya : Kambing Jantan: Sebuah catatan Harian Pelajar Bodoh. Raditya Dika adalah penulisnya. Pada awalnya ia tak terpikir blognya bakal jadi buku. Ia hanya mengisi blognya dengan tulisan-tulisan ringan. Eh, ternyata ada penerbit yang kepincut dengan konten blognya dan menjadikannya sebuah buku dan ternyata kemudian menjadi laris.

Dan, ada lagi Andrias Harefa. Bukunya yang berjudul Happy Writing bersumber dari blog/webnya yang terkenal itu. Ada pula sedikit tulisan yang diambil dari facebook saat dia meminta pertimbangan pembaca dalam memilih judul yang paling pas bagi buku tersebut. Judul Happy Writing merupakan pilihan para pembaca facebooknya diantara tiga alternatif judul yang ditawarkannya. Ternyata, hampir seluruh pembaca memilih Happy Writing sebagai judul buku yang paling menarik. Ya, akhirnya dipakailah judul tersebut. Di samping memuat pemikiran-pemikiran Andrias seputar dunia tulis-menulis, komentar para pengunjung web-nya pun dimuat sehingga sebuah ide menjadi lengkap dan amat menarik dibaca. Agaknya buku itu bakal laris juga sebagaimana banyak buku Andrias sebelumnya yang best seller. Sekedar diketahui, penulis produktif ini telah menghasilkan 38 judul buku!

Belajar dari hal di atas, maka suatu saat Anda yang punya blog bukan tidak mungkin bakal dilirik penerbit. Tentu saja sepanjang isi blog tersebut menarik minat penerbit. Pertimbangan penerbit, antara lain, apakah informasi yang dikandung dalam blog itu berguna bagi kalangan pembaca dan apakah kalau diterbitkan bakal laku di pasaran? Oleh karena itu, sebagai blogger amatir maupun profesional, mungkin Anda lebih memilih untuk mengisi blog Anda dengan informasi dan pengetahuan yang berguna bagi pembaca/pengunjung blog Anda. Begitu dilakukan secara berlanjut dan konsisten. Siapa tahu, tulisan-tulisan Anda pun kelak dipinang penerbit. Atau, kalau tidak, toh Anda sudah berbagi dengan para pembaca. Berbagi pengetahuan dan informasi, tanpa pamrih, sama saja dengan berbuat amal, bukan?
Nah, selamat ngeblog. Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
economist-suweca.blogspot.com.
Read more ...

Terima Kasih Tuhan

I Ketut Suweca

Terima kasih ya Tuhan atas hari ini;
Atas hari yang telah mampu hamba jalani dengan baik;
Atas hari yang memberikan hamba sekali lagi kesempatan;
Untuk berpikir dan berkarya;
Dan menjadi lebih baik.

Terima kasih ya Tuhan;
Atas segala karuniaMu;
Atas kesehatan yang baik dan rejeki yang cukup;
Atas anak-anak dan istri yang sehat dan selamat;
Atas segala kegembiraan yang kami dapatkan dari kehidupan hari ini.

Ampunilah hamba ya Tuhan;
Atas segala dosa, kekurangan, dan kekhilafan hamba;
Atas semua hal-hal yang tak baik yang pernah hamba perbuat;
Atas semua pikiran, perkataan, dan perbuatan hamba;
Yang tak selaras dengan perintahMu;
Mohon ampunilah hambaMu ini ya Tuhan.

Ya Tuhan;
Berikanlah hamba kemampuan;
Untuk memaafkan semua orang yang pernah berbuat salah kepada hamba;
Tumbuhkanlah rasa maaf dan cinta nan tulus;
Bukalah hati hamba untuk menerima segala perbedaan;
Dan jauhkanlah hamba dari iri, dengki, dan benci;
Serta segala penyakit batin lainnya;
Karena, hamba menyadari, itu semua akan merusak jiwa.

Ya Tuhan;
Tuntunlah hamba untuk senantiasa melangkah di dalam jalanMu;
Jadikan pula hamba sebagai alatMu untuk berbagi kebaikan kepada sesama;
Berbagi kasih, berbagi ilmu, berbagi harapan;
Jadikan pula hamba sebagai alatMu untuk menyebarkan kebajikan;
Melalui semua kemampuan yang Tuhan berikan;
Tanpa mesti menjadi tinggi hati;
Bakti dan sujudku hanya padaMu Tuhan.

Itulah doa yang biasanya saya lantunkan dalam hati menjelang tidur. Andapun, saya kira punya doa yang senada. Lantunkanlah. Semoga berbuah kebaikan bagi Anda dan bagi kita semua. Semoga kita semua menjadi lebih dan lebih baik lagi dari hari ke hari. Semoga.



economist-suweca.blogspotspot.com.

Read more ...

Kalau Ingin Jadi Penulis, Menulislah!

Oleh I Ketut Suweca

Mari kita tengok seorang balita yang sedang belajar berjalan. Ia tak langsung bisa berjalan seperti orang dewasa, bukan? Dia mungkin akan mulai dari belajar merangkak. Dia mencoba menyeimbangkan kedua kakinya saat bergerak. Setelah bisa merangkak, sedikit demi sedikit ia mencoba berdiri. Setiap kali mencoba berdiri, ia jatuh. Pantatnya berkali-kali terhempas ke lantai. Tapi, ia bangun lagi setiap kali terjatuh. Usaha yang berulangkali dari hari ke hari membuatnya bisa berdiri pada akhirnya. Tak puas hanya sekedar berdiri. Kali ini tiba saatnya mulai belajar melangkah. Dia pun mencoba melangkahkan kakinya satu satu. Pelan-pelan sekali. Badannya oleng dan ia pun jatuh. Begitu terus-menerus terjadi sampai akhirnya balita tadi benar-benar mampu melangkah dengan cukup sempurna. Senyum manis dan tawa kecil melengkapi kemenangannya!
Ketika menginjak sekolah dasar, mari kita lihat lagi anak ini belajar naik sepeda gayung. Mula-mula ia belajar menuntun sepedanya di gang kecil di depan rumah. Setelah itu, dia mencoba menaiki sepeda itu dan menggayungnya, dan belum berhasil. Dia jatuh berkali-kali. Beberapa kali lutut dan sikunya lecet lantaran berbenturan dengan permukaan beton di gang tempatnya berlatih. Latihan itu dilakukannya berulang-ulang tanpa putuas asa. Dan, apa hasilnya? Akhirnya ia berteriak gembira: “Aku bisa. Pa, Ma, aku bisa naik sepeda!”
Setelah si anak beranjak remaja, mari kita lihat bagaimana ia yang belajar berenang. Ia tidak belajar berenang dari buku-buku tentang teknik berenang. Dia langsung saja terjun ke air kolam yang cukup dangkal. Lalu, ia pun mencoba menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Berkali-kali dicoba, tapi belum berhasil. Tanpa pernah bosan, ia berlatih terus-menerus. Dan, akhirnya, suatu hari kemudian, remaja kita ini bisa berenang! “Horee, saya berhasil,” teriaknya yang didengar teman-teman seusianya. Ia tersenyum, manis sekali.
Apa kaitan cerita itu dengan aktivitas menulis? Jika ingin menjadi penulis, maka kita pantas belajar dari anak tersebut. Bagaimana ia belajar berjalan ketika masih balita, lalu belajar bersepeda ketika kanak-kanak, dan belajar berenang tatkala remaja. Hikmah yang dapat kita petik: perlunya latihan dan latihan. Kalau orang ingin menjadi penulis andal, tentu diperlukan kesediaan berlatih menulis secara terus-menerus. Tak bisa lain. Membaca buku-buku teknik menulis, walaupun perlu, tapi bakal tak banyak gunanya kalau kita tak kunjung menggoreskan tinta pena di atas kertas atau kalau kita tak mau membuat jemari kita ‘menari’ di atas tuts komputer.
Menulis adalah pekerjaan melakukan, pekerjaan ‘action’. Jadi, tulis saja yang ingin ditulis. Apa itu dimaksudkan untuk sekedar mengeluarkan unek-unek di selembar kertas kecil, mengisi buku harian, mengisi blog, atau membuat artikel. Cita-cita menjadi penulis tak akan pernah tercapai kalau kita tak pernah menghasilkan tulisan. Mimpi menjadi penulis saja tak cukup. Yang lebih penting: berani mewujudkan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Untuk ini, tiada pilihan lain selain menulis dan menulis tanpa pernah berhenti. Kalau hasilnya belum sempurna, tak mengapa. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Teruslah menulis dan menulislah terus.
Bagaimana pendapat Anda? Salam.
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Tips Sukses Merebut Kursi PNS

I Ketut Suweca

Setiap kali ada penerimaan PNS baru di berbagai kantor pemerintah, orang berduyun-duyun melamar. Mereka berharap dapat diterima menjadi PNS kendati mereka tahu persis peluang untuk berhasil relatif kecil. Kecilnya tingkat keberhasilan itu disebabkan oleh jumlah pelamar yang membludak sementara kuota kursi yang diperebutkan sangat kecil/terbatas. Akhirnya, para peminat pun harus bersaing ketat untuk mendapatkan kursi.
Mengapa kursi PNS itu demikian menarik? Sebagian mengatakan bahwa menjadi PNS itu bergengsi, memiliki masa depan yang pasti. Kendati gajinya tak terlalu besar (juga tak terlalu kecil), tapi dapat diandalkan untuk menopang hidup sehari-hari. Lebih-lebih, ada ada gaji/uang pensiunan setiap bulannya yang bakal diterima kalau PNS yang bersangkutan sudah pensiun. Bekerja sebagai PNS dipandang tidak terlalu berat. Berbeda dengan di perusahaan swasta yang mengharuskan seseorang bekerja keras untuk mendapatkan keuntungan demi keajegan perusahaan.
Sebagian lain melihat bekerja sebagai PNS di pemerintahan adalah kesempatan untuk mengabdi kepada pemerintah dan masyarakat sekaligus melakukan upaya perbaikan dari dalam tubuh birokrasi demi pelayanan yang lebih baik. Apapun motivasi orang menjadi PNS, yang jelas kursi di birokrasi pemerintahan itu senantiasa jadi incaran.
Berikut ini ada diberikan empat tips untuk sedikit membantu melapangkan jalan menuju keberhasilan dalam persaingan merebut kursi PNS.
Pertama, pelajari jenis-jenis soal yang diperkirakan bakal keluar. Ada banyak buku yang dijual di pasaran untuk membantu mempersiapkan pengetahuan menyongsong pelaksanaan tes. Jenis-jenis tes biasanya meliputi Tes Kemampuan Umum (TKU), Psikotes, Tes Bakat Skolastik (TBS), Tes Potensi Akademik (TPA), dan Tes Bahasa Inggris (TOEFL). Juga, ada Tes Skala Kematangan, dan Tes Teknologi Informasi. Setiap instansi pemerintah menetapkan jenis tes yang tak selalu sama.
Kedua, persiapkan diri dengan sebaik-baiknya, baik secara mental maupun fisik. Artinya, menjelang tes berlangsung orang harus yakin bahwa kondisi tubuhnya sedang fit, mentalnya tidak sedang tertekan. Makanlah secukupnya menjelas tes. Nah, menjelang tes berlangsung, jika ingin buang air, lakukan sebelum tes karena ketika tes tengah dilaksanakan pihak Panitia kemungkinan tak mengijinkan peserta keluar ruangan.
Ketiga, berdoalah sebelum tes dimulai. Tarik nafas dalam-dalam sebanyak 3 kali, berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan, dan mulailah menjawab soal-soal tes dengan tenang. Ketegangan hanya akan membuat pikiran susah berkonsentrasi.
Keempat, jangan pernah berputus asa. Kalau kali ini tidak berhasil lolos dalam tes, cobalah lagi tahun depan. Coba pula di tempat atau lembaga lain yang sedang mencari pegawai baru. Sementara itu, jangan pernah berhenti belajar. Ikuti perkembangan seputar isu-isu terkini. Hal ini perlu untuk menopang pengetahuan umum yang merupakan salah satu bagian materi tes.
(Kalau sudah mengikuti tes berkali-kali, sampai 6 atau 10 kali misalnya, hingga merasa bosan dan terkena batasan usia tapi tidak juga berhasil, maka janganlah hal ini dipandang sebagai akhir kehidupan. Juga, bukan akhir dari segalanya. Masih ada pintu peluang di luar PNS yang menunggu dibuka. Menjadi PNS bukan satu-satunya pilihan karier, bukan?)
Semoga tips ini bermanfaat. Selamat mengikuti tes, semoga berhasil.
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...