Refleksi Akhir Tahun 2010: Dalam Lingkar Hukum Kausalitas

I Ketut Suweca

Tahun 2010 segera berakhir. Tahun 2011 kita masuki. Ada banyak cacatan perjalanan di belakang sebagai jejak tapak kaki kita. Ada haru biru, ada sedih merintih disana. Ada juga sederet kesukacitaan dengan sejumput prestasi. Kini, di peralihan tahun, saatnya kita melakukan refleksi. Merenungkan apa yang sudah berhasil kita capai, apa pula yang belum. Dari masa lalu itu kita belajar menyongsong masa depan. Dengan refleksi kita menjaga jarak dengan masa yang kini berada di belakang kita sambil mengajukan pertanyaan bernuansa filsafati : Kita sudah sampai dimana? Apakah ayunan langkah kita sudah berada dalam rel yang seharusnya, tidak melenceng keluar dari norma yang ada? Dan, adakah pula kita sudah berkontribusi bagi kemaslahatan hidup bersama dan terhindar dari sikap mementingkan diri sendiri? Apa pula yang hendak kita mimpikan di tahun baru?
C atatan Keprihatinan
Perjalanan di sepanjang tahun 2010 memberikan kita sebuah gambaran yang berwarna. Di situ tercatat ada kisah-kisah memilukan dan sangat menyayat hati. Sebagian dari saudara-saudara kita sebangsa dan senegara di Mentawai (dan Aceh) tertimpa tsunami. Kondisi mereka benar-benar memprihatinkan. Hingga kini pun ada yang belum tertangani dengan tuntas, sebagaimana dilaporkan sebuah media televisi nasional baru-baru ini. Ada lagi bencana Gunung Merapi yang telah meluluhlantakkan sejumlah desa di sekitarnya. Rumah-rumah masyarakat rusak berat, infrastruktur juga tak berbeda. Hewan peliharaan petani nyaris mati seluruhnya terkena wedhus gembel, lahan pertanian pun tak bisa ditanami. Dan, ketika letusan berarkhir, tiba-tiba datang banjir yang membawa lahar dingin muntahan gunung, melanda wilayah yang dilewatinya. Lalu, ada juga kisah tentang banjir di ibu kota negara yang tak berkesudahan terjadi pada setiap musim hujan, di samping banjir-banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah di seantero negeri. Sungguh sangat memprihatinkan melihat keadaan seperti ini.
Dalam cacatan perjalanan itu, ada pula berita kemalangan yang menimpa para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Di Arab Saudi, juga di Malaysia. Para TKI yang acap dipredikati sebagai pahlawan devisa, sebagian diantaranya bernasib tidak mujur. Kalau tidak diperkosa, mereka tak diberi gaji atau disiksa oleh majikannya. Inilah rupanya resiko mengirimkan tenaga kerja yang hampir tanpa keterampilan, sebagai pembantu rumah tangga. Mungkin saja sebagian dari majikan itu melihat para pembantu itu tak lebih dari seorang budak yang, menurutnya, dapat diperlakukan semaunya. Proteksi terhadap mereka jauh dari cukup untuk menjamin keamanan dan keselamatan mereka di perantauan.
Kasus-kasus korupsi pun tak habis-habisnya terjadi. Media massa sangat rajin memuat berbagai tindakan menggaruk uang negara itu untuk memperkenyang diri dan kelompok. Tak peduli dengan yang namanya moralitas. Karena, yang terpenting adalah, keinginan atau tujuan tercapai. Segala cara dihalalkan untuk mendapatkan apapun yang diinginkan. Bila perlu, mereka melakukan tindakan menyuap aparat demi terhindar dari jeratan hukuman. Kalau pun terpaksa terseret juga, maka ia akan melakukan apapun untuk menghindari atau memperingan hukuman. Orang-orang seperti inilah yang, alih-alih mengantarkan bangsa ini ke arah kemajuan, mereka malah mendorong bangsa ini ke tepi jurang kehancuran. Hasilnya, Indonesia yang hingga kini masih dipredikati oleh lembaga Transpancy International sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Ini, lagi-lagi memprihatinkan kita.
Catatan Melegakan
Beruntung kita masih punya sepak bola yang memberikah secercah pengharapan, penghiburan, dan peluang berprestasi. Perhelatan sepak bola Piala AFF 2010 merupakan salah satu yang memberikan pengharapan sekaligus kebanggaan. Selama ini, rakyat telah dibombardir oleh informasi seputar berbagai persoalan negeri dapat menarik nafas lega, lalu bilang: untung ada sepak bola! Ya, melalui bola, muncul kegairahan dan kepercayaan diri yang kian menguat, bahwa kita adalah bangsa yang besar yang layak diperhitungkan oleh negeri-negeri tetangga bahkan dunia. Di dalam sepakbola kita melihat keindonesiaan, kita melihat nasionalisme. Keindonesiaan atau nasionalisme yang mungkin sempat kita ragukan keajegannya, terbukti masih kuat yang tersimbul membahana lewat bundarnya bola. Setiap orang Indonesia tersedot perhatiannya pada sepak bola Piala AFF ini. Mereka semua merasa sangat berkepentingan agar Indonesia menjadi juara dalam laga Asia Tenggara ini. Mereka mendukung Tim Merah Putih yang berjuang keras di lapangan. Sepakbola membawa kita pada wawasan nusantara, mengingatkan bahwa kita mesti siap membela negeri ini dengan segala upaya.
Akan halnya dengan bencana-bencana yang terjadi seperti tanpa berkesudahan itu ternyata membangkitkan solidaritas sosial masyarakat Indonesia. Solidaritas sosial, yang mungkin kita duga sudah mati suri, ternyata masih hidup jauh di dalam hati sanubari insan negeri ini. Para sukarelawan turun tangan bersama-sama pemerintah dan masyarakat menolong saudara-saudara mereka yang terkena bencana. Bantuan-bantuan dari berbagai pelosok Indonesia pun datang untuk meringankan penderitaan korban. Tak ketinggalan, awak media massa, cetak dan elektronik, melaporkan peristiwa itu dari hari ke hari sehingga dengan demikian publik tahu perkembangan yang terjadi. Awak media telah mendedikasikan halaman-halaman medianya untuk memberitakan perkembangan bencana. Mereka melakukan itu semua tanpa pamrih, tanpa motif mengharapkan imbalan. Ternyata, masih sangat banyak anak negeri ini yang berjiwa dermawan, yang siap lahir dan batin menolong saudaranya yang tengah menderita.
Solidaritas sosial, nasionalisme, kedermawanan merupakan nilai-nilai luhur yang kita miliki sebagai bangsa yang sudah terbukti nyata diamalkan. Nilai-nilai berharga ini perlu terus dihidupkan ketika kita hendak melangkah ke depan, saat kaki kita melangkah ke tahun 2011 dan meninggalkan tahun 2010. Di samping itu, nilai-nilai kejujuran perlu kita tumbuh kembangkan agar menghiasi langkah tindak kita ke depan, baik dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara.


Berani Bermimpi
Marilah kita berani bermimpi tatkala memasuki tahun 2011. Bukan sekedar bermimpi di siang hari, melainkan memimpikan tentang kehidupan yang lebih baik. Mimpi adalah langkah awal yang baik, dan ini butuh kepercayaan diri dan keberanian: mimpi seperti apa yang kita miliki? Masa depan macam apa yang kita harapkan terwujud? Kita mesti belajar dari pengalaman masa lalu, agar tak kehilangan tongkat yang kedua kalinya. Kita juga mesti mengambil hikmah dari masa lalu untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan ke depan. Kita jadikan masa lalu sebagai batu pijakan untuk menapaki masa datang. Seperti sebuah ungkapan, “barangsiapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia merupakan orang yang beruntung. Kalau sama saja, dia adalah orang yang merugi. Kalau lebih buruk, dia adalah orang yang celaka.”
Mari kita menguatkan pikiran positif kita: berpikir bahwa selalu ada harapan yang lebih baik di masa depan. Post nubila jubila: setelah awan mendung, ada suka cita. Pikiran positif dan sikap optimistik niscaya akan membawa kita pada pengharapan dan memberikan kita gairah untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas. Untuk itu, mari menabung kebaikan, bukan menabung dosa. Mari memperkuat kejujuran, bukan kebohongan dan egoisme. Mari kita perkuat nasionalisme dan solidaritas sosial, bukan anarkhi dan ketidakpedulian. Mengapa? Karena, seperti sebuah ungkapan, “siapa yang menabur angin akan menuai badai. Siapa yang menanam singkong akan memanen singkong.” Kita semua berada dalam lingkar hukum kausalitas. Selamat Tahun Baru 2011.

1 Response to "Refleksi Akhir Tahun 2010: Dalam Lingkar Hukum Kausalitas"

  1. Gde Wisnaya Wisna 22 Januari 2011 pukul 05.45
    Cantik sekali gambarnya pak. Kita memang perlu bermimpi ya pak.

Posting Komentar