Tinjauan Sekilas tentang Mental Accounting dan Prospect Theory

Oleh I Ketut Suweca


1. Teori Mental Accounting


Mental accounting, apakah itu? Sebagaimana ditulis Nick Wilkinson dalam An Introduction on Behavioral Economic (2008: 149-184), pembicaraan mengenai “mental accounting” digagas dan dimulai oleh Richard Thaler, profesor dari School of Business Chicago, dengan makalahnya yang bertajuk “Mental Accounting and Consumer Choice” pada tahun 1985.

Menurut Thaler, “mental accounting is the set of cognitive operation use by individuals and household to code, catagirize and evaluate financial activities”. Jadi, menurutnya, mental accounting itu merupakan suatu rangkain operasi kognitif yang dipergunakan oleh individu maupun rumah tangga dalam mengkode, membuat kategori, dan mengevaluasi aktivitas finansialnya. Mental accounting berfokus pada bagaimana seyogianya seseorang menyikapi dan mengevaluasi suatu situasi saat terdapat dua atau lebih kemungkinan hasil, khususnya bagaimana mengkombinasikan kemungkinan-kemungkinan hasil tersebut.
Rupanya, mental accounting melingkupi prilaku manusia secara luas, tidak melulu yang hubungan dengan masalah finansial atau keuangan. Dengan memahami mental accounting, orang diharapkan akan memahami dengan lebih baik proses psikhologis yang melandasi seseorang dalam menentukan pilihan atau mengambil keputusan ekonomi dan lainnya.
Menurut Thaler dalam makalahnya seperti disebutkan di atas, terdapat tiga komponen dalam proses mental accounting, yakni :
• Persepsi terhadap hasil (outcomes) dan membuat serta mengevaluasi keputusan
• Menetapkan aktivitas untuk pencatatan yang spesifik.
• Menentukan pembatasan periode waktu terhadap mental accounting lainnya yang berkaitan.
Ketiga komponen tersebut, hingga saat ini menjadi bahan diskusi oleh berbagai kalangan sehingga hal ini dapat memperkaya pembahasan mengenai topik ini sekaligus memberikan referensi/pemahaman lebih baik dalam menentukan pilihan atau saat harus mengambil keputusan.
Untuk melengkapi pengertian tentang mental accounting ini, di bawah ini disampaikan pendapat sekaligus dua contoh dari Amerika yang dikemukakan Rowena Suryobroto (14 September 2007) dalam makalahnya yang berjudul “Apa yang Mempengaruhi Perencanaan Keuangan Anda?” Dikatakannya, bahwa keuangan individu memiliki nuansa yang sedikit berbeda dan unik untuk diteliti. Keputusan keuangan individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kurang dikenal di dalam model-model keuangan perusahaan, yaitu faktor-faktor psikhologis dan sosial. Berikut ini dua contoh yang dikemukakannya dalam makalah tersebut.
Seorang lelaki asal Indonesia sedang berada di Las Vegas, sebuah kota yang terkenal sebagai kota judi di Amerika Serikat. Keperluannya ke situ adalah untuk menghadiri sebuah seminar. Pada malam hari, ia pamit kepada teman sekamarnya untuk mencoba mesin-mesin judi di Las Vegas sebagai tambahan pengalaman karena ia tidak pernah menemukan mesin-mesin itu di Indonesia. Ia hanya membawa uang $5 dan iapun menuju ke mesin jackpot. Pada percobaan pertama, mesin jackpot tersebut langsung ‘hit’ dan memuntahkan $25 untuknya. Lelaki itu mencoba mesin-mesin jackpot lainnya dan berhasi mengumpulkan $2.500.
Kemudian ia mencoba peruntungannya di meja blackjack atau permainan kartu dan mempertaruhkan seluruh keberuntungan tersebut sejumlah $2.500 di permainan pertama dan memenangkan $10.000. Demikian seterusnya sampai pada akhirnya ia menjadi $1.000.000 (satu juta dolar).
Kemudian ia berpindah ke meja rolet dan kembali mempertaruhkan seluruh uangnya ($1 juta). Di meja itu, uangnya ludes dan dia kembali ke kamar hotelnya. Temannya bertanya, bagaimana keberuntungannya, dan jawabannya adalah, “Lumayanlah, aku kalah $5”.
Contoh di atas, kata Rowena Suryobroto, menunjukkan bahwa ketika jumlah uang tidak tertulis di atas kertas dan hanya ‘tertulis’ pada mental seseorang, uang tersebut menjadi tidak bernilai.
Ini contoh kedua: Oprah’s Show – sebuah talkshow paling populer di Amerika - pernah menayangkan seorang pengemis yang menemukan uang $100.000. Sebagai orang yang telah bekerja keras dan memiliki uang, Oprah berpikir bahwa lelaki pengemis itu pasti akan menaruh uangnya di bank, mengambil bunganya setiap bulan dan hidup lumayan dengan bunga tersebut. Itu juga dipikirkan para penontonnya. Pengemis tersebut kemudian mengakui bahwa ia membeli dua mobil – satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya – dan menghabiskan $70.000. Sisanya ia gunakan untuk pulang ke kampung halaman dan membagikannya kepada sanak saudara untuk menunjukkan bahwa akhirnya ia memiliki uang dan sanaknya tidak boleh menghinanya lagi. Dalam waktu kurang dari setahun, uang itu ludes berikut kedua mobilnya, dan ia kembali mengemis di jalanan.
Pada kasus ini, menurut Rowena Suryobroto, bahwa faktor psikhologis sangat menentukan keputusan keuangan seseorang.
Terkait dengan mental accounting, Rowena Suryobroto menambahkan, bahwa masih banyak penelitian-penelitian dan eksperimen-eksperimen yang perlu dilakukan untuk menentukan bagaimana keputusan keuangan individu dilakukan. Lebih jauh lagi, penelitian-penelitian tersebut seharusnya menjadi fokus perusahaan-perusahaan berklien individu agar mereka dapat melayani klien mereka dengan lebih baik.
Selanjutnya, penulis sendiri akan menyajikan dua kasus mental accounting, yakni yang pertama terkait dengan ‘medana punia’, dan yang kedua tentang ‘pemanfaatan gaji ketiga belas’.
Ini ilustrasi tentang medana punia. Ada orang Bali, sebutlah namanya I Made Seleg. Dia terbilang rajin sembayang. Dengan memiliki cukup uang, hampir setiap bulan ia berkeliling di wilayah Bali, bahkan pernah sampai ke Jawa Timur dan Lombok untuk metirthayatra. Segera setelah usai sembahyang, dengan ringan ia akan merogoh sakunya untuk ngaturang punia di pura-pura yang dikunjungi. Tidak pernah dalam puluhan ribu, pasti dalam ratusan ribu, bahkan kadang-kadang sampai pada bilangan jutaan rupiah walau tak ada orang yang memintanya maturan sebesar itu. Tapi, dalam beberapa kali kejadian, pengemis mendatangi rumahnya untuk, tentu saja, meminta-minta. Apa yang dilakukan I Made Seleg? Apakah ia akan melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukannya di pura? Ternyata tidak sama sekali. I Made Seleg memilih mengusir dan mencaci pengemis-pengemis itu dengan mengatakan bahwa mereka adalah para pemalas yang bisanya hanya natakang lima Tidak pernah satu sen pun uang I Made Seleg disumbangkan untuk pengemis yang berkunjung ke rumahnya.
Apa yang ada dalam pikiran I Made Seleg? Apakah ia memandang bahwa mepunia di pura lebih tinggi nilainya daripada di tempat lain atau kepada orang lain? Apakah ia juga memandang bahwa para pengemis itu tidak pantas dikasihani? Ini tergantung pada mindset I Made Seleg dalam mengelola uangnya dan bagaimana dia memahami fenomena sosial yang terjadi.
Ada contoh lain lagi. Kali ini yang terkait prilaku seorang PNS dengan ‘gaji ketiga belas’ yang diterimanya. Beberapa tahun belakangan ini, setiap tahun PNS mendapatkan gaji ketiga belas, gaji yang besarnya sama denga satu kali gaji bulanan penuh. Seorang PNS, I Ketut Payu (bukan nama sebenarnya), menerima gaji ketiga belas sebanyak Rp.3.500.000,- Gaji sebesar itu, oleh I Ketut Payu, ditabung semuanya di sebuah bank pemerintah. Tidak ada sedikitpun dari gaji itu dipakainya untuk keperluan yang lain, apalagi untuk bersenang-senang. Lain sekali dengan I Nyoman Gampil (hanya nama samaran), rekan sekerjanya. Gampil memilih membeli sebuah televisi 29 inci, sebuah DVD player, dan sebuah rak televisi. Dari gaji ketiga belas yang diterimanya sejumlah Rp.4.145.000,- itu, sebesar Rp. 3.600.000,- dipakai untuk membeli perangkat elektronik. Sisanya sebesar Rp. 545.000,- dihabiskannya di Bedugul untuk rekreasi bersama keluarganya. Uangnya habis sama sekali dalam tempo dua hari untuk dua keperluan itu.
Dalam kasus pemanfaatan gaji ketiga belas ini, faktor psikhologis dan sosial sangat menentukan pilihan keputusan seseorang. Apakah I Ketut Payu mengambil keputusan yang tepat, sementara I Nyoman Gampil salah? Tepat tidaknya keputusan itu, tergantung kepada mental accounting setiap individu yang terlibat. Teori mental accounting akan memberikan si pembelajar wawasan yang lebih baik dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan terutama dalam hal keuangan.
Agaknya, yang perlu diapresiasi adalah ajakan Benny Santoso,S.T, M.Com., CFP yang menyatakan, bahwa “kita tidak akan kekurangan sumber daya, baik dalam hal finansial maupun nonfinansial, untuk senantiasa membeli kebenaran, hikmat, didikan dan pengertian”. Juga, nasihat dari penulis situs pratolo.com tentang The Mental Accounting Problem. Dikatakan, dua diantara gejala atau masalah-masalah mental accounting adalah : “Anda berbelanja lebih banyak dengan menggunakan credit card daripada jika memakai uang cash”. Dan, “Anda mengira diri Anda bukanlah pemboros, tetapi Anda mengalami kesulitan untuk menabung, meskipun penghasilan Anda cukup besar”.

2. Teori Prospek

Prospect theory (teori prospek) dikembangkan oleh dua orang psikholog, Daniel Kahneman dan Amos Tversky di awal tahun 80-an pada dasarnya mencakup dua disiplin ilmu, yaitu psikologi dan ekonomi (psikoekonomi). Titik berangkatnya adalah pada analisis prilaku seseorang dalam mengambil keputusan (ekonomi) di dalam dua pilihan. Dewasa ini, teori prospek yang telah dikembangkan selama 30 tahun menjadi sangat popular terutama di kalangan para ekonom, di samping teori utility yang juga digemari untuk diteliti oleh para ekonom. Sayangnya, penelitian atau tulisan oleh para psikolog justru tidak sebanyak penelitian, eksperimen atau tulisan oleh para ekonom. Bahkan, di tahun 2002 Kahneman memperoleh penghargaan atas teori prospek ini di bawah kategori ilmu ekonomi!

Tidak seperti kebanyakan teori psikhologi yang lain, teori prospek memiliki dasar matematika yang sangat kuat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa para ekonom sangat menyukainya. Kendati demikian, tidak seperti halnya teori utility yang menitikberatkan pada bagaimana keputusan seharusnya diambil dalam situasi yang tidak menentu (prescriptive approach), teori prospek justru berfokus pada bagaimana keputusan nyata itu diambil (decriptive approach).

Teori prospek sebenarnya sangat sederhana. Dimulai dengan penelitian Kahneman dan Tversky terhadap prilaku manusia yang dianggap aneh dan kontradiktif dalam mengambil suatu keputusan. Subyek penelitian yang sama diberikan pilihan yang sama namun diformulasikan secara berbeda, dan mereka menunjukkan dua prilaku yang berbeda. Ini oleh Kahneman dan Tversky disebut sebagai risk-aversion dan risk-seeking behavior. Contoh yang mereka kemukakan adalah seperti ini : orang akan mau menelusuri hampir seluruh toko yang ada pada sebuah kota agar memperoleh $5 lebih murah untuk sebuah kalkulator seharga $15, tetapi mereka tidak akan melakukannya agar memperoleh $5 lebih murah untuk jaket seharga $125.

Di dalam teori prospek, disebutkan bahwa frame yang diadopsi seseorang dapat mempengaruhi keputusannya, dan dalam kondisi ketidakpastian orang akan memilih pilihan yang menghasilkan expected utility terbesar. Frame yang diadopsi sangat ditentukan oleh :

• Formulasi masalah yang dihadapi

• Norma dan kebiasaan, serta

• Karakteristik para pengambil keputusan.

Hal yang sangat penting dari studi Kahneman dan Tversky adalah eksperimen mereka yang menunjukkan bahwa sikap tentang resiko menghadapi keuntungan (gain) akan sangat berbeda dengan sikap tentang resiko menghadapi kerugian. Contoh yang dikemukakannya sbb.: sekelompok orang pada saat dihadapkan pada pilihan untuk pasti mendapatkan uang $1.000 atau kurang-lebih 50 persen dari kemungkinan mendapatkan uang $2,500, ternyata orang akan lebih memilih yang pasti yaitu sebsar $1.000. Ini adalah contoh dari prilaku risk-aversion. Akan tetapi, kelompok orang yang sama, jika kepadanya diberikan pilihan untuk pasti rugi sebesar $1.000 atau kurang-lebih 50 persen kemungkinan tidak akan rugi, maka mereka akan cenderung memilih pilihan yang lebih beresiko. Ini adalah contoh risk-seeking.

Secara singkat dapat dikatakan teori prospek menunjukkan, bahwa orang akan memiliki kecenderungan irasional untuk lebih enggan mempertaruhkan keuntungan (gain) daripada kerugian (loss). Dalam kondisi rugi, seseorang akan cenderung lebih nekat menanggung resiko dibandingkan pada kondisi berhasil. Seseorang akan merasakan seolah-olah nilai kekalahan sejumlah uang tertentu dalam suatu taruhan lebih menyakitkan daripada nilai kemenangan dari sejumlah uang yang sama, sehingga dalam situasi rugi orang lebih nekat untuk menanggung resiko.

Teori prospek berbeda dengan teori utility dalam hal-hal penting berikut ini : pertama, teori prospek menggantikan utility dengan nilai (value), dimana utility biasanya diartikan sebagai net wealth, sedangkan nilai (value) diartikan sebagai untung atau rugi. Kedua, nilai dari kerugian secara relatif adalah tidak sama dengan nilai dari keuntungan. Misalnya, orang akan merasa lebih sakit jika rugi Rp.100.000,- dibandingkan dengan kegembiraan yang diperoleh saat mendapatkan keuntungan Rp100.000,-. Dalam bahasa Kahneman dan Tversky : orang akan cenderung risk-aversion pada saat menghadapi keuntungan dan risk-seeking pada saat menghadapi kerugian.

Teori prospek ini dapat dipakai untuk memotret banyak sekali fenomena prilaku manusia di berbagai bidang kehidupan, khusunya pada proses pengambilan keputusan yang kadangkala ‘tidak masuk akal’. Teori ini dipakai untuk mengukur (melakukan measurement perspective) terhadap prilaku orang atau organisasi dalam mengambil keputusan, untuk melihat dengan kacamata yang lebih jernih apakah orang atau organisasi tersebut berprilaku risk-aversion atau risk-seeking, dan apa pula yang melatarbelakangi keputusannya itu.

Dua contoh akan diberikan untuk melengkapi teori prospek ini. Contoh pertama: Prilaku di pasar modal atau di pasar uang. Pada saat harga saham di pasar modal naik sedikit saja, orang akan cepat-cepat menjual saham mereka untuk mendapat keuntungan (selling fast, profit taking). Sebaliknya, kalau harga sahamnya anjlok, orang justru akan cenderung menahan saham mereka, tidak menjualnya, dengan harapan suatu saat harga akan membaik lagi dan tidak jadi rugi (not selling, minimize losses). Demikian juga jika dollar menguat terhadap rupiah, orang justru akan cenderung menyerbu money changer untuk membeli dollar ( dan ini justru akan membuat rupiah kian terpuruk). Sebaliknya, jika dollar melemah terhadap rupiah, orang akan memegang erat rupiah-nya.

Contoh kasus kedua adalah prilaku peserta permainan ‘who wants to be a millionaire’ yang pernah disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Seorang peserta, telah berhasil mencapai rupiah sebesar Rp25 juta setelah selangkah demi selangkah bisa menjawab dengan benar setiap pertanyaan yang diberikan oleh presenter acara. Pada langkah menuju angka lebih tinggi setingkat lagi, yakni Rp.30 juta, ia memutuskan berhenti dengan perolehan uang ‘hanya’ sebesar Rp.25 juta (walaupun ia tahu bahwa sesungguhnya ada peluang untuk memperoleh dan membawa pulang uang maksimal sebesar 1 miliar rupiah!). Ia tak mau ‘berspekulasi’ atau menanggung resiko lebih besar lagi, karena kalau ia kalah karena salah menjawab pertanyaan berikutnya, maka ia akan kembali ke Rp.1 juta.

Dari kedua kasus tersebut, terdapat prilaku yang tampak irasional. Dalam kasus saham di atas, misalnya, justru tatkala dollar menurun kursnya terhadap rupiah, orang memilih memegang erat dollarnya. Dalam kasus peserta ‘who wants to be a millionaire’, orang justru merasa cukup dengan Rp.25 juta kendatipun ada peluang mendapatkan lebih dari itu, bahkan bisa memperoleh reward puncak senilai Rp1 milliar. Apapun yang dilakukan seseorang atau organisasi, tentu dilandasi dengan ‘perhitungan-perhitungan’ yang mungkin salah satunya adalah penerapan dari teori prospek.


Sumber :

1. http://forum psikologi.ugm.ac.id/index.php?topic=50.10;wap2

2. http://rowenasuryobroto.multiply.com\apa yang mempengaruhi keuangan anda

3. http://pratolo.com/2008/08/30/the-mental-accounting problem/

4. Wilkinson Nick, 2008. An Introduction to Behavioral Economics. New York : Palgrave Macmilan
Read more ...

Menyiasati Kenaikan Tarif Dasar Listrik

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si

Pemerintah berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 6-18 persen pada 1 Juli 2010. Rencana pemerintah ini sudah mendapat persetujuan DPR RI dan siap diluncurkan. Bagaimana melihat kebijakan kenaikan TDL tersebut beserta dampaknya, dan apa pula yang sebaiknya dilakukan dalam menyongsong kebijakan tersebut?
Terhadap rencana kebijakan ini, ada dua pandangan yang berbeda. Ada yang menolak kebijakan tersebut atau meminta agar kenaikan TDL ditunda dengan sejumlah alasan. Penolakan dan permintaan penundaan ini terutama berasal dari mereka yang bergelut di bidang industri. Ada pula yang ‘setuju’ terhadap rencana kebijakan pemerintah itu, yang diekspresikan dengan sikap diam.
Kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik tentu saja ada manfaatnya kalau dilihat dari sisi pengurangan beban subsisi listrik yang selama ini terjadi. Selama ini, sebagian dana APBN tersedot untuk mensubsidi listrik. Dengan berkurangnya subsidi listrik, tentu akan ada dana yang bisa dipakai untuk keperluan yang lebih vital, diantaranya untuk mengatasi pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Pada dasarnya, subsidi dalam jangka panjang kurang baik bagi mereka yang diberi subsidi. Akan tercipta ketergantungan yang semakin menguat melekat kepada pemerintah. Ketika ketergantungan itu diputus, maka yang terjadi adalah ledakan kekecewaan dan ketidaksiapan utnuk mandiri. Dalam era persaingan global, faktor kemandirian harus terus-menerus diupayakan. Hanya untuk hal-hal tertentu sajalah, subsidi itu relevan untuk digelontorkan. Seyogianya jangan lagi ada subsidi bagi mereka yang sebenarnya sudah mampu secara ekonomi.
Bagi para pihak yang terkena kenaikan TDL, tidak termasuk rumah tangga yang memakai daya 450 VA dan 900 VA, tentu merasa berat menghadapinya. Kalau kenaikan ini menjadi kenyataan, yang kemungkinan terjadi adalah naiknya harga berbagai kebutuhan masyarakat. Di samping dapat menimbulkan lonjakan inflasi, biaya operasional industri akan meningkat. Inilah yang akan ditanggung oleh kalangan industri. Karena biaya operasional naik, maka harga output cenderung naik. Kalau harga terpaksa dinaikkan, apakah masyarakat sudi membayarnya? Jika itu adalah kebutuhan pokok, mau tak mau, masyarakat akan membelinya. Dengan asumsi tingkat pendapatan yang sama, maka daya beli masyarakat tentu akan menurun. Hal ini sungguh membebani masyarakat luas karena terkena dampak tak langsung dari kenaikan TDL.
Dalam hal kenaikan harga-harga itu, pemerintah tentu harus lebih awal melakukan langkah-langkah antisipasi agar dapat menekan kenaikan itu sewajar mungkin, walaupun dalam pasar bebas (free market), hal tersebut sulit sekali dilakukan. Dalam hubungan ini, Menko Perekonomian, Hatta Rajasa pada suatu kesempatan mengatakan, bahwa “pemerintah akan berupaya untuk terus menjaga inflasi agar harga tidak mengalami kenaikan cukup tinggi apalagi dengan kenaikan tarif dasar listrik”.
PLN dengan jajarannya sebagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab sebagai pemasok tenaga listrik tentu tak boleh tinggal diam. PLN seyogianya secara berkelanjutan melakukan pembenahan internal dengan sebaik-baiknya, melakukan efisiensi di berbagai pos pengeluaran, sehingga secara eksternal dapat memberikan performance pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Hal ini sangat penting, di samping sebagai bagaian dari kompensasi terhadap adanya kenaikan listrik, juga lantaran memang sudah seharusnya pelayanan prima itu diberikan kepada para pelanggan.
Bagi kalangan industri dan masyarakat yang terkena kenaikan TDL, tak ada pilihan lain selain dengan melakukan penghematan pemakaian listrik. Lampu dan barang-barang elektronik yang memakai tenaga listrik hendaklah dipadamkan ketika sudah tidak dipergunakan/diperlukan. Prinsip efisiensi harus benar-benar diterapkan dalam keseharian. Penghematan mesti dilakukan bersama-sama: masyarakat dan kalangan industri pengguna tenaga listrik berhemat, PLN dan jajarannya yang menjadi pengelola ketenagalistikan pun berhemat dengan melakukan efisiensi internal dalam segala bidang.
Read more ...

Resensi Buku : Menjadi Siswa Hebat

Oleh I Ketut Suweca

Judul buku : 3 Langkah Mudah Menjadi Bintang Kelas
Pengarang : Syaiful Erfad
Penerbit : Garailmu
Edisi : Pertama, tahun 2009
Halaman : 208 halaman

Buku-buku SD, SMP dan SMA pada umumnya adalah buku-buku pelajaran sekolah. Demikian juga buku untuk mahasiswa, yang lebih banyak yang textbook. Kalau ada buku di luar mata pelajaran/kuliah, itu pasti relatif jarang, kecuali novel. Buku penunjang sukses belajar terbilang amat langka diterbitkan. Mungkin penerbit khawatir buku jenis ini tidak laku di pasaran sehingga bisa merugi. Oleh karena itu, para penerbit cenderung menerbitkan buku yang sudah pasti dipakai di sekolah/kampus, yaitu buku-buku textbook tadi.
Di tengah-tengah kelangkaan buku penunjang belajar, lantas terbit buku bertajuk
tentang langkah mudah menjadi seorang bintang kelas. Ini pertanda baik. Bagaimanapun juga kehadiran buku ini akan menjadi penggugah bagi siswa untuk berjuang mencapai cita-citanya dimulai dari sekolah. Buku yang seukuran novel ini diperuntukkan bagi siswa, tapi baik juga untuk para orang tua dan guru. Bagi siswa, mereka dapat menyimak langsung buku ini dan mempraktekkan isinya, sedangkan bagi para orang tua dan guru, buku ini dapat menjadi pedoman yang cukup berharga manakala hendak membimbing putra-putri/siswanya meraih prestasi belajar di sekolah. Jadi, buku ini cocok untuk siswa dan cocok juga untuk para orang tua dan guru.
Apa yang dapat dipelajari pembaca dari buku karya Syaiful Erfad ini? Dalam bagian prolog, penulis memaparkan dua hal penting yang mesti menjadi pegangan para siswa. Pertama, untuk menjadi bintang kelas, seorang siswa harus berusaha lebih keras daripada siswa lain. Dengan usaha yang lebih keras, ia diharapkan dapat berprestasi lebih baik, di atas prestasi siswa lainnya. Kedua, menjadi bintang kelas itu adalah pilihan. Boleh saja seseorang tak mau atau tak ingin menjadi bintang kelas dengan beberapa alasan. Tapi, bagi sebagaian besar siswa tentu menjadi bintang kelas adalah idaman. Jadi, menjadi bintang kelas itu adalah pilihan dan karena sudah menjadi pilihan maka harus ada tekad bulat dan usaha keras untuk mencapainya.
Sesuai dengan judul buku, disebutkan ada tiga langkah yang harus dilakukan oleh para siswa jika berniat menjadi bintang di kelas. Ketiga langkah ini berkenaan dengan tempat dimana upaya itu dilakukan dan kapan seorang siswa harus menghimpun segenap upaya untuk meraih sukses belajar. Langkah pertama adalah saat belajar di sekolah. Di sekolah, siswa diharapkan pintar memilih tempat duduk. Hindari duduk di tempat yang membuat sulit membaca tulisan di papan tulis atau sulit mendengar suara guru dengan jelas. Nasehat penulis buku ini, “di dalam kelas, carilah tempat duduk yang paling nyaman. Gunakan indera penglihatan dan indera pendengaran sebagai alat ukur”. Di samping itu, memilih sahabatpun disarankan oleh penulis buku ini. Katanya, “seleksilah sahabatmu karena ia seperti pasangan hidup yang melipatduakan kegembiraan dan memotong kesedihan menjadi separonya. Ia juga memiliki andil dalam prestasi yang kamu raih”. Lebih detail lagi, bagaimana memperhatikan penjelasan guru di depan kelas diterangkan dalam langkah pertama ini. Dikatakan, agar dapat maksimum dalam menyerap pelajaran, siswa mesti memperhatikan gerak bibir guru ketika ia menerangkan di depan kelas. “Hadirkan jiwa, raga, pikiran dan hati”, tulisnya seraya mengatakan bahwa hal itu untuk membantu pikiran fokus. Bahkan, cara mencatat yang baik pun dikemukakan dalam buku ini. Ia menganjurkan para siswa memiliki ketrampilan mencatat dengan baik, karena cacatan adalah alat untuk mengingat kembali ilmu yang telah diperoleh.
Langkah kedua adalah saat belajar di rumah. Apa yang harus dilakukan oleh si calon bintang kelas? Sediakan waktu untuk belajar pribadi di rumah paling sedikit satu jam. Siswa harus menentukan sendiri waktu wajib belajar dan waktu cadangan belajar. Waktu wajib belajar itu disesuaikan dengan saat kapan tidak ada gangguan dan bisa berkonsentrasi dengan penuh. Waktu cadangan belajar juga diperlukan untuk mengantisipasi kalau waktu wajib belajar tak bisa dipenuhi karena suatu kegiatan yang penting atau mendadak harus dilakukan. Sebelum belajar dan setelah belajar usai, dianjurkan untuk berdoa. “Berdoalah kepada Tuhan. Mintalah ilmu-Nya karena sesungguhnya semua ilmu itu milik-Nya. Bila Tuhan tidak memberikan ilmu-Nya, maka sekeras apapun kita berusaha, ilmu itu tidak akan pernah kunjung kita dapatkan”, begitu nasehat penulis buku ini. Ada beberapa lagi resep sukses belajar di rumah yang disajikan dalam buku ini.
Langkah ketiga adalah saat menghadapi ujian. Apa strategi yang dianjurkan dalam menghadapi ujian? Bila belajar di sekolah itu diibaratkan seperti orang sedang melakukan perjalanan, maka ujian adalah pintu gerbang pemeriksaan. Pintu gerbang yang harus dilewati oleh setiap pelajar untuk mengetahui sejauh mana kemajuan akademik dan tingkat pengetahuan pelajar setelah mengikuti proses belajar di sekolah. Diperlukan niat yang tulus dan lurus dalam menyongsong ujian: bahwa ujian itu semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Yang penting lagi adalah persiapan intensif. Persiapan intensif adalah persiapan secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai tertinggi. Dianjurkan oleh penulis buku ini agar para siswa memiliki jadwal khusus untuk belajar menyongsong ujian dengan memanfaatkan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya. Beberapa metoda untuk membantu ingatan juga dipaparkan, diantaranya metode jembatan keledai, metode singkatan dan metode mengingat arti dan pendapat para ahli. Pada saat memulai ujian dan usai menjalani ujian, dianjurkan untuk berdoa.
Buku ini memang layak dibaca. Sebagian diantara materi buku ini mungkin sudah diketahui, apalagi oleh para guru. Akan tetapi, ada hal yang membuat buku ini unik dan cukup berharga untuk dibaca. Diantaranya, pemaparannya yang sederhana sehingga mudah dimengerti oleh siswa SMP sekalipun, yang dilengkapi pula dengan beberapa kisah nyata untuk mendukung topik-topik yang dibahas sehingga tidak menjemukan. Hal yang unik, buku ini menganjurkan si pembelajar untuk senantiasa berdoa, sebelum dan sedudah belajar, sebelum dan sesudah ujian. Ini sesuatu yang sering kita lupakan, bukan?
Read more ...

Berkelebihan di dalam Berkekurangan

Oleh I Ketut Suweca

Judul artikel ini kedengarannya rada aneh. Begitu membacanya, mungkin dalam hati Anda membantah: mana mungkin orang sudah berkekurangan bisa mendapatkan kelebihan? Atau, bagaimana mungkin orang bisa berkelebihan sementara ia sendiri dalam keadaan kekurangan? Kelihatannya dua hal yang kontradiktif, yang tak mungkin disatukan. Tapi, nanti dulu, ini ada penjelasan lanjutannya.
Istilah “berkelebihan di dalam berkekurangan” adalah ide dari senior saya, I Ketut Beratha, yang disampaikan puluhan tahun silam. Sebagai pimpinan, beliau acapkali menyampaikan pesan ini kepada stafnya. Sebenarnya, istilah itu hanyalah kata lain dari dorongan agar menabung. Ya, menyisihkan sebagian kecil dari penghasilan untuk ditabung. Aktivitas menabung mungkin sudah menjadi kebiasaan sebagian dari kita. Tapi, mungkin juga belum. Yang terakhir ini tentu juga punya alasan mengapa memilih tidak menabung. “Gajiku kecil, tidak cukup untuk keperluan dalam sebulan. Boro-boro menabung, aku masih harus mencari tambahan bulanan agar bisa makan dan menyekolahkan anak-anak”, demikian ada yang menanggapi. Baiklah. Memang, kalau penghasilan tak cukup, akan terasa sulit dan berat untuk menabung.
Akan tetapi, jangan putus asa dulu. Ini ada contoh yang baik. Sepasang suami- istri penjual kopi di sebuah warung dekat tempat saya bertugas setiap hari bisa menabung. Ada sebuah lembaga koperasi yang datang mengambil tabungan itu setiap harinya. Anda tahu berapa besar tabungan hariannya? Lima ribu rupiah. Kendatipun, ia mendapatkan keuntungan dari hasil jualannya ‘hanya’ kurang-lebih 25 ribu rupiah dalam sehari. Jadi, dua puluh ribu untuk kebutuhan rumah tangga dan sedikit tambahan modal usaha, lima ribu rupiah untuk ditabung. Toh keluarga kecil ini terbukti bisa menabung.
Seorang pegawai kantoran berpendapatan satu juta rupiah dalam sebulan, sementara ia harus menghidupi seorang istri yang tidak bekerja dan seorang anak yang masih bayi, bisakah ia menabung? Jawabannya, mungkin akan berbeda-beda, masing-masing dengan argumentasi. Ada yang bilang bisa, ada pula yang mengatakan tidak mungkin bagi pegawai itu untuk menabung. Baiklah. Bapak satu anak ini sejak setahun lalu “merelakan” uangnya sebesar lima puluh ribu rupiah setiap bulannya untuk ditabung. Ia menganggap uang lima puluh ribu itu adalah jumlah pajak yang, mau tak mau, mesti dipotong dan disetor kepada pemerintah. Jadi, ia beranggapan uang lima puluh ribu itu bukan miliknya! Pertanyaannya, seberapa besarkah penderitaan/kemelaratan yang ditimbulkan oleh potongan uang sebesar lima puluh ribu itu terhadap kehidupan pegawai tersebut? Begitu besarkah dampaknya? Ia bilang, “diterima klop satu juta atau kurang lima puluh ribu, sama saja”. Pada umumnya orang akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Dengan kedua ilustrasi di atas, saya ingin menjelaskan maksud baik senior saya di atas. Walaupun pada kenyataannya kita mendapatkan penghasilan yang terbatas, kalau kita mau dan punya tekad, kita pasti mampu menyisihkan sebagian kecil dari pendapatan tersebut untuk masa depan dengan menabung.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Mengapa “Minum Teh”?

Oleh I Ketut Suweca

Hei pembaca yang budiman. Mulai minggu depan saya persembahkan satu genre tulisan yang bertajuk “Serial Minum Teh”. Disebut “serial” karena tulisan ini hadir mengunjungi Anda para pembaca secara berseri/berkala, diusahakan seminggu sekali dengan posting yang baru. Lantas, mengapa memakai kata “minum teh”? Alasan pertama, ya, karena kata itulah yang terasa pas: enak diucapkan dan nikmat pula kalau didengar. Alasan berikutnya karena, menurut para bijak, minum teh itu sendiri sangat baik bagi kesehatan. Anda tentu ingat, masyarakat negeri Matahari Terbit dikenal dengan budaya minum tehnya. Apalagi kalau bukan lantaran kebiasaan minum teh itu sudah menjadi bagian dari budaya Jepang, juga minum teh dipakai sebagai wahana silaturahmi antara pemilik rumah dengan para tamunya.

Kalau tulisan ini memakai istilah minum teh, karena saya berharap tulisan inipun bakal bermanfaat bagi sidang pembaca seperti halnya minuman teh yang berguna bagi mereka yang menenggaknya. Tentu manfaat dimaksud tak muluk-muluk. Pandanglah tulisan ini sebagai penghiburan di waktu senggang. Bukankah untuk hidup sehat, sikap santai dan serius itu mesti dikombinasikan? Mungkin Anda memilih serius dulu untuk mengerjakan tugas-tugas keseharian, lalu disusul santai, lalu serius lagi, dan seterusnya. Nah, kala Anda santailah cocoknya artikel ini dibaca. Tidak ada hal-hal yang mengakibatkan Anda mengerutkan kening dibicarakan disini. Sebaliknya, fenomena kehidupan yang ringan, mungkin unik, mungkin lucu, mungkin biasa-biasa saja tapi tetap bermakna, itulah yang saya coba tuangkan ke dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Nah, saya sudah memperkenalkan serial ini kepada Anda. Bagaimana dengan Anda? Untuk meningkatkan kualitasnya secara bertahap ke depan, saya undang Anda untuk memberikan masukan atau pandangan melalui kolom “komentar”. Oke, kita akan memulai serial inti minggu depan. See you next.
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Sekilas Profil Perekonomian Desa Sudaji

Oleh I Ketut Suweca

1. Asal-Usul Nama Sudaji
Berdasarkan informasi lisan, konon nama Sudaji yang dijadikan nama sebuah desa ini berasal dari kata ‘Sariaji’. Namun, perubahan nama dari Sariaji menjadi Sudaji tidak diketahui, karena ketiadaan sumber-sumber tertulis. Ada juga yang mengatakan bahwa kata ‘Sudaji’ berasal dari dua kata, yakni ‘suda’ dan ‘aji’. Suda artinya bersih dan ‘aji’ artinya ajaran. Jadi, Sudaji berarti ajaran yang bersih. Maksudnya, pendidikan yang mengarah kepada kebersihan lahir dan batin.
2. Potensi Alam Desa Sudaji
Desa Sudaji terletak di daerah Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali merupakan dataran tinggi dan pegunungan dengan ketinggian 200 meter sampai 400 meter dari permukaan laut, dengan kemiringan 0-10 derajat. Dilihat dari lingkungan wilayahnya, Desa Sudaji berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Wilayah Desa Suwug.
Sebelah Timur : Wialayah Desa Sawan dan desa bebetin
Sebelah Barat : Wilayah Desa Lemukih.
Desa ini merupakan daerah yang berhawa sejuk dan basah dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm per tahun, dengan temperatur 18-23 derajat Celcius. Jika dilihat dari iklim, Sudaji memiliki iklim tropis yang terdiri dari 7 bulan musim hujan dan 5 bulan musim kemarau.

Luas wilayah Desa Sudaji 1.817 Ha. Keseluruhan wilayah dipergunakan untuk berbagai keperluan hidup, diantaranya untuk sawah, perkebunan, pekarangan, dll. Luas tanah sawah 453 Ha, tanah perkebunan 210,68 ha, tanah pekarangan 94,50 Ha, dan tanah negara 40 Ha.


3. Potensi Penduduk
Jumlah penduduk Desa Sudaji hingga Desember 2009 sebanyak 8.402 orang, dengan rincian: laki-laki 4.173 orang dan perempuan 4.229 orang. Dari sudut pendidikan, penduduk Sudaji mengalami peningkatan dalam kesertaan dalam pendidikan. Tahun 2008, tingkat pendidikan di berbagai jenjang berjumlah 262 orang dan tahun 2009 menjadi 292 orang. Berdasarkan pendididkan, jumlah terbesar adalah tamatan SD 127 orang, SMP 106 orang, SLTA 51 orang dan 8 orang tamatan perguruan tinggi. Jumlah penduduk menurut kelompok umur tenaga kerja pada tahun 2008 berjumlah 6.054 orang atau 80,5% dari total penduduk Sudaji (7.518 orang), dan tahun 2009 menjadi 6.283 orang atau 75% dari total penduduk (8.402 orang).
Dilihat dari mata pencahariannya, penduduk desa ini sebagian besar adalah petani. Petani sawah pemilik sebanyak 344 orang, petani sawah penggarap 216 orang, petani perkebunan pemilik 955 orang, dan petani perkebunan penggarap 142 orang. Ada pula petani peternak sebanyak 15 orang, dan pengrajin 7 orang. Sisanya meliputi beragam profesi, diantaranya sebagai ABRI, PNS, pegawai swasta, tukang bangunan , pedagang, tukang mebel, dll.

Sebagai masyarakat yang didominasi petani, maka secara turun-temurun di Desa ini terdapat kelompok Subak Sawah untuk kegiatan pertanian lahan sawah dan Subak Abian untuk pertanian lahan kering. Terdapat 15 Kelompok Subak Sawah di Sudaji, dan 1 kelompok Subak Abian.

4. Lembaga Perekonomian dan Keuangan
Satu-satunya lembaga keuangan yang ada di Sudaji adalah Lembaga Perkreditan desa (LPD) Desa Sudaji, yang terbentuk pada tahun 1988. Nasabah LPD ini sebanyak 2.867 orang. Jumlah kredit yang disalurkan hingga Desember 2009 berjumlah 4,1 miliar.
Salah satu sumber dana Desa Sudaji adalah dari Unit Usaha Pengelolaan Air bagi masyarakat desa ini. Usaha ini dikelola secara swadaya dan lebih banyak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Tahun 2009 hasil penjualan air sebesar Rp. 19,93 juta.
Untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk bertransaksi dalam rangka memenuhi kebutuhannya telah dibangun Pasar Desa Sudaji selama dua tahun terakhir, kontribusi pasar ini cukup besar terhadap pendapatan asli desa Sudaji. Tahun 2008, keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan pasar ini sebesar Rp. 27, 44 juta.

5. Perekonomian Masyarakat
Keadaan perekonomia masyarakat Desa Sudaji menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Indikator yang menunjukkan meningkatnya perbaikan di bidang ekonomi dapat dilihat dari menurunnya angka pengangguran, meningkatnya pendapatan dari berbagai sektor pendukung kehidupan ekonomi, meningkatnya kelembagaan ekonomi dan menurunnya angka kemiskinan di desa ini.
Angka pengangguran di Desa Sudaji tergolong kecil. Pada tahun 2008, penduduk menganggur sebanyak 2,1 persen, sedangka pada tahun 2009 menurun menjadi 1,7 persen. Ketujuh sektor ekonomi masyarakat Sudaji menyumbangkan pendapatan sebesar Rp.73,47 miliar pada tahun 2008 dan menjadi Rp78,42 miliar pada tahun 2009 atau naik sebesar 6,7%.
Tingkat kemiskinan pun menurun. Kalau pada tahun 2008 jumlah rumah tangga miskin sebanyak 361 RT dari 1.976 RT. Pada tahun 2009, jumlah rumah tangga miskin menjadi 322 RT dari 1.937 RT di Desa Sudaji.

(Sumber : Buku Profil Data Tingkat Perkembangan Pembangunan Desa Sudaji Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng,Provinsi Bali oleh Perbekel Desa Sudaji, tahun 2010)
Read more ...

IDEOLOGI DAN PEMIKIRAN EKONOMI KERAKYATAN

Oleh I Ketut Suweca


I. PENDAHULUAN


1. Pengertian Ideologi

Apakah ideologi itu? Ada beberapa definisi dan pendapat tentang ideologi. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1996:525) mengartikan ideologi sebagai paham, haluan, dan ajaran. Menurut Noer Sutrisno, ideologi dimaknai sebagai gabungan antara pandangan hidup yang merupakan nilai-nilai yang telah mengkristal dari suatu bangsa serta dasar negara yang memiliki nilai-nilai falsafah yang menjadi pedoman hidup suatu bangsa. Ideologi juga diartikan sebagai hasil refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maka, terdapat suatu yang bersifat dialektis antara ideologi dengan masyarakat negara. Ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-citanya.

Mubyarto dalam buku kumpulan tulisan Pancasila sebagai Ideologi (1991: 239), memberikan definisi ideologi sebagai sejumlah doktrin, kepercayaan, dan simbol-simbol sekelompok masyarakat atau satu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa itu.

Dalam buku yang sama, Soerjanto Puspowardoyo (1991 : 44), mengemukakan bahwa terdapat dua acuan tentang ideologi dengan isi yang berbeda, bahkan bertentangan. Yang satu dalam pengertian negatif dan yang lain dalam pengertian positif. Ideologi yang ditangkap dalam pengertian negatif, karena dikonotasikan dengan sifat totaliter, yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh seluruh segi kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh ideologi itu sehingga akhirnya mengingkari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang geraknya. Pengertian ideologi dalam perspektif positif menunjuk kepada keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dan keyakinan yag ingin diwujudkan dalam kenyataan hidup yang konkret. Ideologi dalam artian seperti ini sangat dibutuhkan, karena dipandang mampu membangkitkan kesadaraan akan kemerdekaan, memberikn orientasi mengenai dunia beserta isinya serta kaitannya, menanamkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan, dan selanjutnya mewujudkannya dalam sistem dan penyelenggaraan negara.

Dalam perspektif ekonomi, dikenal ideologi kapitalis-liberalis, komunis-sosialis, dan yang dianut Indonesia yaitu ideologi Pancasila. Masing-masing ideologi itu akan dijelaskan secara ringkas dalam paparan berikut ini, membandingkan satu dengan lainnya, dan dijelaskan pula keterkaitan ideologi Pancasila yang khas Indonesia dengan Ekonomi Kerayatan yang dilaksanakan di negeri ini.


2. Pengertian Ekonomi Kerakyatan


Dalam wacana teori ekonomi, istilah ekonomi kerakyatan memang tidak dapat ditemukan. Hal ini dikarenakan ekonomi kerakyatan merupakan sebuah pengertian, bukan merupakan turunan dari suatu mashab atau school of tought tertentu melainkan suatu konstruksi pengalaman dari realita ekonomi yang umum terdapat di negara berkembang.

Ekonomi kerakyatan dimaknai sebagai sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatnya kapasitas dan pemberdayaan masyarakat maupun dalam suatu mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatiakan fungsi sumber daya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan.

Pengertian Ekonomi Kerakyatan yang panjang di atas, dapat dipaparkan sejumlah kriteria ekonomi kerakyatan sbb. :

• Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi rakyat, sama halnya dengan ekonomi kapitalis atau ekonomi sosialis komunis adalah watak atau tatanan ekonomi

• Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi dimana pemilikan asset ekonomi harus didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara.

• Dalam kondisi pemilikan asset ekonomi yang tidak adil dan merata, maka pasar akan selalu mengalami kegagalan, tidak akan dapat dicapai efisiensi yang optimal dalam perekonomian termasuk tidak akan ada invisible hand yang dapat mengatur keadilan dan kesejahteraan.

Ekonomi Kerakyatan bukanlah suatu ideologi atau konsep sistem ekonomi, melainkan suatu gagasan mengenai cara, sifat, dan tujuan pembangunan, dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat yang umumnya hidup di pedesaan. Prof. Sarbini Sumawinata, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, memberikan pengertian Ekonomi Kerakyatan sebagai suatu konsep strategi pembangunan dalam konteks Indonesia. Inti konsep ini adalah pembangunan pedesaan dan industrialisasi pedesaan dalam arti luas, yang mencakup mekanisasi pertanian dalam rangka pemberantasan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan rakyat kecil.

Hanya, yang bertugas menggerakkan pembangunan ini adalah negara atau pemerintah. Hal ini, kata Prof. Sarbini, dilakukan melalui alokasi anggaran khusus dan berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat dan yang menghilangkan hambatan yang merintangi produktif rakyat—yang terkandung dalam sistem kapitalisme pasar bebas dan monopoli korporasi.

Menurut Mubyarto, ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan mempunyai cirri-ciri sbb.:

1. Dilakukan oleh rakyat tanpa modal besar.

2. Dikelola dengan cara-cara swadaya.

3. Bersifat mandiri sebagai cirri khasnya

4. Tidak ada buruh, tidak ada majikan.

5. Tidak mengejar kreuntungan.

Menurut Cornelis Rintuh dan Miar (2005), ekonomi rakyat adalah segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Dengan perkataan lain, ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat dengan cara swadaya mengelola sumber daya apa saja yang dapat dikuasainya, setempat, dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya beserta keluarganya.

Selanjutnya dikatakan bahwa, system ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat. Ekonomi kerakyatan adalah istilah yang relative baru, yang dipopulerkan untuk “menggantikan” istilah ekonomi rakyat yang konotasinya dianggap negative dan bersifat “diskriminatif”. Negatif, karena didikotomikan atau dilawankan dengan ekonomi konglomerat, dan diskriminatif didesain untuk terang-terangan memihak pada salah satu sector atau strata ekonomi tertentu, yaitu golongan ekonomi lemah (GEL) atau rakyat kecil.



II. TINJAUAN IDEOLOGIS SISTEM EKONOMI


1. Ideologi dalam Sistem Ekonomi


Sebagai tinjauan awal, perlu dipetakan terlebih dahulu secara ideologis perbedaan antara berbagai ideologi, diantaranya Liberalisme, Sosialisme, Kapitalisme, dan Komunisme, sebelum meninjau lebih jauh mengenai ideologi Pancasila dalam kaitannya dengan Ekonomi Kerakyatan.

Liberalisme dan Sosialisme dibedakan menurut ada-tidaknya peran negara dalam kebijakan ekonomi. Liberalisme menginginkan lepasnya peran negara dalam kebijakan ekonomi dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sosialisme sebaliknya, kebijakan ekonomi sepenuhnya dilakukan oleh negara. Kapitalisme dan Komunisme dibedakan menurut kepemilikan. Kapitalisme mengakui kepemilikan individu, komunisme meniadakan kepemilikan individu.

Merunut sejarahnya, sosialisme diajukan oleh Karl Marx sebagai antitesis terhadap liberalisme yang menginginkan peran negara tidak ada dan melepas seluruh kekuatan dan kemampuan ekonomi kepada mekanisme pasar. Maka, dalam sosialisme, negara wajib mengambil peran penuh dalam kebijakan ekonomi. Jika pahan sosialisme ini dikaitkan dengan komunisme, maka tidak hanya peran penuh/dominasi negara dalam mengatur kebijakan ekonomi, namun kepemilikan individu pun tidak diakui. Yang ada dan diakui adalah kepemilikan negara.

Akan tetapi alur pikir dalam perspektif keilmuan di atas, senyatanya tidak memungkinkan untuk terwujud. Logical approach yang dikedepankan oleh Karl Marx adalah membangun konsep sosialisme-komunisme sebagai antitesis liberalisme-kapitalisme. Tesis tertinggi Marx tentang sosialisme adalah tercipta suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara. Masalahnya, bagaimana mungkin menciptakan dan menempatkan negara untuk mengambil peran penuh dalam kebijakan ekonomi dan kepemiliki, jika negara itu sendiri tidak penah ada.

Selanjutnya, bagaimana dengan alur pikir keilmuan ideologi Liberalisme-Kapitalisme? Teori Liberalisme klasik dikemukakan pertama kalinya oleh Adam Smith, yang kemudian Neo-Liberal yang dikemukakan oleh Meichael Kinsley cs. Liberalisme menghendaki terwujudnya free market dan free trade secara absolut. Kemampuan mekanisme pasar dan kedaulatan interaksi individu mengedepankan dan dianggap sebagai kondisi yang paling ideal. Dalam hal ini, negara hanya mengambil peran sebagai penonton pasif (watching dog).

Jika paham liberalisme ini dikaitkan dengan kapitalisme, maka yang diakui hanya kepemilikan individu, tidak ada kepemilikan negara atau masyarakat. Diinginkan peran penuh atau dominasi pasar melalui kompetisi para pelaku ekonomi yang paling ideal dijalankan, tanpa campur tangan negara/pemerintah yang dianggap distorsif. Pada kenyataannya, adakah kebebasan pasar yang benar-benar absolut itu? Tidak ada, bukan? Oleh karena itu, sesungguhnya, dalam implementasi adalah nonses menerapkan konsep murni liberalisme-kapitalisme. Dari sisi sosial politik dan economic performance, setiap negara atau pemerintah memiliki kepentingan untuk memformat kebijakan ekonomi sebagai wujud achievement pada setiap periode pemerintahan tersebut.

Contoh konkretnya, Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara Liberal-Kapitalis pun, sebenarnya tidak menjalankan teori Liberalisme itu secara murni. Dua kekuatan utama, Republik dan Demokrat, hanya bergantian mengambil kebijakan makro ekonomi dengan pendekatan supply side (Reagenomics) atau demand side (Keynesian). Pemerintah tetap ikut campur tangan dalam mengatur kebijakan ekonomi, baik dalam maupun luar negeri.

Masalahnya adalah, dunia tidak hanya terdiri atas satu negara. Oleh karena itu, setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing, baik di tingkat nasional, regional maupun global. Berdasarkan kepentingan masing-masing negara inilah yang menyebabkan pemerintah setiap negara masuk untuk menetapkan dan mengatur kebijakan ekonomi untuk kepentingan nasionalnya.


2. Sistem Ekonomi : Antara Pertumbuhan dan Pemerataan


Bagi negara-negara liberalis, tujuan perekonomian nasional adalah mencapai tingkat pertumbuhan (growth) yang tinggi. Secara teoritis, mekanisme ideal untuk pencapaiannya adalah melalui mekanisme pasar dengan paradigma free market and free trade. Konstruksi yang dibangun dalam mekanisme pasar murni adalah dengan mengedepankan metode “free entry and free exit, sehingga para pelaku ekonomi akan tersaring secara alamiah melalui free competition dengan landasan kekuatan “comparative advantage dan competitive advantage. Dalam konstruksi ini, pemerintah mengambil posisi pasif, sama sekali tidak melakukan campur tangan atau intervensi terhadap pasar, hanya mengawasi dan memfasilitasi sesuai kebutuhan pasar.

Tujuan perekonomian nasional bagi negara-negara sosialis adalah mencapai pemerataan tingkat kehidupan dan ksejahteraan masyarakat. Untuk membangun konstruksi perekonomian yang semata-mata mengedepankan pemerataan, kontribusi dan intervensi pemerintah sangat diperlukan, bahkan pemerintah harus mengambil posisi sebagai regulator yang secara dominant mengatur dan menetapkan seluruh kebijakan ekonomi yang dibutuhkan dan dianggap baik untuk mencapai tujuan pemerataan, kebijakan-kebijakan yang harus diikuti dan ditaati oleh seluruh pelaku ekonomi.

Ekonomi Kerakyatan tidak hanya berorientasi untuk semata-mata mengejar tingkat pertumbuhan yang tinggi, juga tidak sekedar mengedepankan pemerataan. Semua sisi harus terbangun dalam keseimbangan (balance). Dengan kata lain, ekonomi kerakyatan tidak membiarkan ekonomi dilepas begitu saja kepada kekuatan pasar dengan persaingan bebasnya, tetapi pengambil kebijakan dapat melakukan intervensi secara proporsional, sesuai dengan kondisi dan perkembangan kebutuhan seluruh bangsa serta kepentingan nasional. Disini, tetap diberikan kesempatan yang adil bagi kreativitas, kompetisi dan kemampuan para pelaku ekonomi untuk berinteraksi dalam siklus ekonomi untuk kepentingan pembangunan bangsa.

Hal-hal negatif yang dihindari dalam sistem ekonomi kerakyatan, antara lain sistem free-fight liberism yang menumbuhkan ekploitasi terhadap manusia dan bangsa lain. Sistem etatisme juga dihindari, mengingat dalam sistem ini negara atau pemerintah bersifat sangat dominan sehingga mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam ekonomi kerakyatan juga dihindari pemusatan ekonomi pada kekuatan satu kelompok tertentu saja (monopoli) yang merugikan masyarakat.


III. EKONOMI KERAKYATAN INDONESIA


1. Pendekatan Filosofis

Dasar falsafah negara Indonesia, Pancasila menjadi dasar bagi seluruh peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sila kelima disebutkan bahwa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Ini dapat dimaknai, bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan dalam segala bidang, terutama keadilan di bidang ekonomi.

Selanjutnya, dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 disebutkan tujuan “…. mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Hal-hal di atas dengan jelas menunjukkan betapa para founding fathers negeri ini sudah meletakkan dasar bagi negeri ini, termasuk dalam hal ekonomi.

Konstitusi negara yang berkaitan dengan konsep dasar sistem perekonomian nasional sesungguhnya tidak hanya digunakan sebagai landasan kerangka pikir dalam menetapkan paradigma sistem ekonomi bangsa, namun jika mau menyelami lebih dalam, terkandung pesan filosofis dan moral yang menjunjung tinggi kepentingan keselamatan bangsa demi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dalam arti yang sebenarnya. Pasal 33 UUD 1945, di dalamnya bukan hanya termuat fungsi dan peran negara negara untuk mewujudkan kemakmuran bangsa, namun terlebih kewajiban untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara secara utuh.

Mubyarto mengembangkan pemikiran bahwa ekonomi Indonesia atau perekonomian Indonesia mempunyai sistem dan moral tersendiri yang bisa dikenali. Sifat-siat sistem dan moral ekonomi Indonesia itu memang telah melandasi atau menjadi pedoman aneka prilaku perorangan, kelompok-kelompok dalam masyarakat, pengusaha, pemerintah dan negara. Sistem dan moral dimaksud bersumber dari ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila menggambarkan secara utuh semangat kekeluargaan (gotong royong) dalam upaya mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Cornelis Rintuh dan Miar (2005), Pancasila secara keseluruhan harus terus-menerus menjadi pedoman arah prilaku ekonomi bangsa dan warga bangsa, dan menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi. Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka sistem ekonomi Indonesia hendaknya berlandaskan pada setiap sila dari Pancasila secara utuh.


2. Pendekatan Konstitusional

Ekonomi kerakyatan ala Indonesia adalah model yang berpihak kepada rakyat dalam bingkai konstitusi. Para peletak dasar negara telah memasukkan aspek ekonomi ke dalam UUD 1945, yang kemudian lebih dilengkapi dengan amandemen oleh MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Terkait dengan aspek ekonomi, di dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial pasal 33, disebutkan :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadialan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekoomi nasional.

Selanjutnya, dalam pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 disebutkan bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.

Dari sisi konstitusi, melalui dua pasal tersebut di atas, ada dua hal mendasar yang perlu digarisbawahi, yakni :

1. Hak Kepemilikan. Setiap individu memiliki hak sepenuhnya atas miliknya (private goods), termasuk untuk mengatur dan mengelola hak milik itu sesuai dengan keinginannnya, termasuk dalam aktivitas ekonomi yang ingin dilakukannya, sepanjang tidak bertentangan dengan hak-hak individu lain dan kepentingan umum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Hak, Kewajiban dan Kewenangan Negara. Negara harus tetap menghormati hak-hak individual rakyat dalam batasan-batasan tertentu yang tidak menyangkut atau bersinggungan dengan kepentingan hayat hidup orang banyak. Sedangkan, sektor-sektor usaha yang terpenting bagi negara (primary sector) dan yang menyangkut kebutuhan dan kepentingan seluruh rakyat harus dikuasai dan dikelola oleh negara. Disebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.



IV. KESIMPULAN


• Ideologi didefinisikan sebagai sejumlah doktrin, kepercayaan, dan simbol-simbol sekelompok masyarakat atau satu bangsa yang menjadi pegangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa itu. Dalam perspektif ekonomi, dikenal ideologi kapitalis-liberalis, komunis-sosialis, dan yang dianut Indonesia yaitu ideologi Pancasila.

• Liberalisme dan Sosialisme dibedakan menurut ada-tidaknya peran negara dalam kebijakan ekonomi. Liberalisme menginginkan lepasnya peran negara dalam kebijakan ekonomi dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sosialisme sebaliknya, kebijakan ekonomi sepenuhnya dilakukan oleh negara. Kapitalisme dan Komunisme dibedakan menurut kepemilikan. Kapitalisme mengakui kepemilikan individu, komunisme meniadakan kepemilikan individu.

• Ekonomi Kerakyatan tidak hanya berorientasi untuk semata-mata mengejar tingkat pertumbuhan yang tinggi, juga tidak sekedar mengedepankan pemerataan. Semua sisi harus terbangun dalam keseimbangan (balance). Ekonomi Kerakyatan tidak hanya berorientasi untuk semata-mata mengejar tingkat pertumbuhan yang tinggi, juga tidak sekedar mengedepankan pemerataan. Semua sisi harus terbangun dalam keseimbangan (balance).

• Konstitusi negara yang berkaitan dengan konsep dasar sistem perekonomian nasional sesungguhnya tidak hanya digunakan sebagai landasan kerangka pikir dalam menetapkan paradigma sistem ekonomi bangsa, namun jika mau menyelami lebih dalam, terkandung pesan filosofis dan moral yang menjunjung tinggi kepentingan keselamatan bangsa demi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dalam arti yang sebenarnya. Dalam konstitusi, ada dua hal yang mendapat perhatikan dalam kaitannya dengan Ekonomi Kerakyatan, yaitu Hak Kepemilikan dan Hak, Kewajiban dan Kewenangan Negara.




DAFTAR PUSTAKA


1. Murjana Yasa, 2010. Materi Kuliah Ekonomi Kerakyatan, Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar.


2. Undang-Undang Dasar 1945, Lembaga Informasi Nasional, 2002.


3. http://www.unisosdem.org/D. Lazwanti,. Tinjauan Ideologis: Liberal, Sosialis dan Ekonomi Kerakyatan Indonesia (Makalah), 2009.


4. http://www. indoskripsi. com/ Noer Soetrisno, 2007. Etika sebagai Landasan Moral Pengembangan Kelembagaan Ekonomi. 2007.


5. http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/tentangkami.htm/Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.


6. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Departemen Penerangan RI, 1991


7. Badudu J.S. et al, 1996. Kamus Umum Bahasa Indoneia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.


8. http://www. majalah.tempointeraktif.com/ Ekonomi Kerakyatan.


9. Cornelis Rintuh et al, 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat (Edisi Pertama), BPFE-Yogyakarta.
Read more ...