Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)

Oleh I Ketut Suweca

Para ibu seringkali mengingatkan putra-putrinya untuk membiasakan mencuci tangan sebelum makan. Demikian seringnya, sampai-sampai dibuatkan nyanyian, “.... kalau kita makan Dik, cuci tanganmu dulu...”. Syair lagu itu mengingatkan kita untuk senantiasa mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Usai ke belakang, usai berkebun, usai menceboki bayi, dan usai melakukan aktivitas yang membuat tangan kotor, hendaknya segera dicuci dengan sabun. Demikian juga, ketika hendak mengambil makanan, minuman, dan sebagainya, diperlukan mencuci tangan dengan sabun.
Akan tetapi, dalam praktek, kebiasaan ini belum tumbuh dengan baik. Kalaupun anak mencuci tangannya, masih sekedar membasahi tangan sebelum ia makan. Hal yang sama acapkali dilakukan pula oleh orang dewasa. Padahal, tidaklah cukup sekedar mencelupkan atau mengguyur bagian telapak dan punggung tangan dengan air. “Mencuci tangan tidaklah sekedar membasahi tangan dengan air, tetapi harus benar-benar mencucinya dengan sabun, sampai ke sela-sela jari tangan. Kalau hanya pakai air, bakterinya tak akan hilang,” ujar dr.Ida Ayu Oka Sulaksmi, rekan saya yang bertugas di sebuah lembaga kesehatan milik pemerintah. “Kini dengan mudah kita menemukan sabun cair yang khusus untuk mencuci tangan (handwashing),” tambahnya.
Mencuci tangan pakai sabun tentu saja banyak manfaatnya. Dintaranya untuk mencegah si empunya terkena penyakit diare, penyakit kulit, peradangan pernafasan, dan sebagainya. Penyakit-penyakit ini banyak disebabkan oleh tidak terjaganya kebersihan. Oleh karena itu, pola hidup bersih dan sehat (PHBS) perlu secara terus-menerus dikumandangkan kepada seluruh masyarakat, terutama melalui sekolah-sekolah, mulai dari SD hingga SLTA.
Bagi masyarakat dunia, CTPS sebagai perwujudan pola hidup bersih dan sehat, demikian penting dan strategis. Penting, karena hal ini berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan manusia sehingga harus dilaksanakan dengan segera, tanpa ditunda-tunda. Lalu, strategis, lantaran hal ini menentukan kualitas sumberdaya manusia masa kini dan masa depan. Saking penting dan strategisnya, maka WHO menjadikan tanggal 15 Oktober sebagai Hari CTPS.
Semoga kita yang mungkin pada awalnya melihat CTPS sebagai hal yang sepele atau remeh menjadi sadar bahwa inilah kunci pertama dalam pembentukan kebiasaan berpola hidup bersih dan sehat. Mulai sekarang, mari kita ajak anak-anak, rekan-rekan, saudara-saudara kita untuk memulai pola hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan menggunakan sabun. Jangan lupa, keteladanan dalam bentuk contoh-contoh nyata dalam praktek keseharian sangat menentukan keberhasilan program ini.
Seperti kata pepatah, kesehatan memang bukanlah segalanya, tapi tanpa kesehatan, segalanya menjadi tak berarti apa-apa.
Nah, para pembaca, bagaimana pendapat Anda?
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Membangun Modal Sosial Manusia Bali

Oleh I Ketut Suweca

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan P. Windia menilai, tradisi kehidupan desa adat atau pekraman di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal ini diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagaimana dilansir sebuah media, Prof. Windia mengatakan bahwa masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau awig-awig untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi obyektif tempat, waktu, dan keadaan atau desa, kala, patra. Meskipun demikian, bukan berarti desa adat di Bali bebas dari masalah, karena berbagai persoalan muncul dari aktivitas keseharian warga desa pekraman.
Hanya saja masalah yang muncul lebih sederhana yang dapat diselesaikan secara sederhana pula oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat, sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama, baik secara lisan maupun tulisan. Semua itu didasarkan atas konsep keseimbangan, saling menghargai, dan menghormati satu sama lainnya, bahkan sangat jarang sekali kasus adat penyelesaiaannya melalui jalur hukum.
Didukung Fakta
Kendatipun pada umumnya permasalahan desa adat dapat diselesaikan sebagaimana dipaparkan Prof. Windia, namun kerapkali permasalahan itu menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu siap membara kembali. Data menunjukkan, kekerasan yang melibatkan orang Bali kini jumlahnya cenderung meningkat. Sejumlah kasus adat yang mencuat ke permukaan mengindikasikan makin kerasnya orang Bali terhadap saudara-saudaranya sendiri dalam menyikapi permasalahan. Perebutan lahan kuburan, pelaba pura, tapal batas, hingga pertikaian karena warisan, tak hanya menimbulkan sengketa perdata, bahkan telah masuk ke jalur pidana.
Konflik adat yang berujung pada kekerasan di Bali tidak hanya mengundang kekhawatiran tokoh-tokoh masyarakat Bali. Trend terjadinya kasus adat di Bali bahkan sempat menjadi perhatian Menteri Dalam Negeri RI. Dalam sambutannya pada HUT ke-49 Pemprov. Bali tahun lalu, Mendagri menilai orang Bali kini cenderung makin mengedepankan kekerasan dalam menyikapi masalah. Ungkapan Mendagri benar-benar didukung fakta!
Di samping kasus adat di atas, kasus kekerasan dalam rumah tangga di Bali juga cenderung meningkat. Menurut Ida Bagus Alit, Bagian Forensik RSU Pusat Sanglah, sebagaimana dilansir dalam sebuah situs web, selama 2008 terjadi 164 kasus kekerasan pada perempuan. Namun, pada enam bulan pertama tahun 2009, kasusnya sudah mencapai 78 kasus. Satu hal yang menarik, lanjutnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2009 jarang yang dilaporkan ke polisi. Dari 63 kasus kekerasan dalam rumah tangga, hanya 44 saja yang berujung laporan pada polisi. Sebagian besar dengan alasan, enggan mendapat persoalan yang lebih besar. Para korban mengaku baru akan membuat laporan bila telah mengalami kekerasan yang kedua kalinya.
Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Bali juga mengalami peningkatan, sebagaimana tercatat pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali. Ketua KPAI Bali, Anak Agung Sri Wahyuni menyampaikan, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari tahun sebelumnya, baik yang berkaitan dengan kekerasan fisik maupun seksual. Selama tahun 2009 tercatat ada 132 kasus kekerasan terhadap anak. Sampai dengan Februari 2010 tercatat tiga kasus yang masuk dan sudah dalam penanganan pihak kepolisian. “Untuk menyikapi trend ini, maka dari keluarga terutama para orang tua dapat menjadi pengawas utama. Sekolah hanya lembaga pendidikan yang sifatnya sebagai penambah pengetahuan dan mengingatkan saja,” jelas Wahyuni kepada sebuah media.
Jejaring, Kepercayaan, dan Norma
Kasus-kasus kekerasan itu menunjukkan betapa telah terjadi pergeseran nilai-nilai kehidupan masyarakat Bali. Masyarakat yang di masa lalu yang dikenal santun, ramah, tulus hati dan welas asih, kini ternyata sudah mengalami perubahan. Hari-hari manusia Bali mulai dihantui oleh ketakutan dan trauma oleh kasus-kasus kekerasan yang sewaktu-waktu mungkin saja akan muncul di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial manusia Bali sudah bergeser.
Modal sosial yang meliputi jejaring, kepercayaan, dan norma dapat dipelihara dan diperkuat melalui kebijakan publik atau kebijakan pemerintah. Dalam hal jejaring (network) yang ada di Bali, baik formal maupun informal, bisa semakin diperkuat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengarah pada penguatan jejaring yang positif dalam masyarakat sekaligus mencegah dan mengatasi problem yang melatarbelakangi munculnya kekerasan tersebut.
Kebijakan publik yang diambil pemerintah hendaknya juga mampu memperkuat solidaritas antarwarga. Jangan sampai jejaring sebagai salah satu aspek modal sosial yang penting ini malah menjadi bumerang yang merugikan anggotanya sendiri, melainkan dapat berfungsi sebagai alat bagi peningkatan kesejahteraan dan ketentraman hidup bersama. Jangan lupa, jejaring itu bisa juga mengarah ke negatif apabila tidak digunakan secara benar. Manusia Bali semestinya menyadari hal ini.
Kepercayaan (trust) antara pemerintah dengan masyarakat dan antarmasyarakat dapat juga dibangun secara berkesinambungan dengan menampilkan sebuah pemerintahan yang semakin bersih dan kian dipercaya rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang prorakyat sekaligus bebas KKN. Kepercayaan tersebut baru akan tumbuh apabila pemerintah benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat secara totalitas, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah adalah yang mengacu pada tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan antarmasyarakat.
Demikian pula dengan kebijakan yang diambil yang berbentuk peraturan hukum/ ketentuan perundang-undangan dan norma-norma (norms) apapun lainnya yang bersifat mengatur dan mengikat, seyogianya bersifat mengayomi, bukannya malah mengekang atau mengibiri kebebasan warga dalam berekspresi. Hendaknya norma hukum ditegakkan dan diberlakukan tanpa pandang bulu sehingga dapat memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat.
Singkatnya, kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah, hendaklah dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat: meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan mereka. Kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah seyogianya mengarah pada pengembangan modal sosial yang positif: kepercayaan yang tumbuh semakin kuat, norma-norma yang ditaati bersama, dan jejaring yang terjaga dan bersifat mutualistis. Dengan demikian, semoga kekerasan di Bali bisa dieliminasi, kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan bersama pun dapat dipelihara dengan baik.
Read more ...

Tips Memilih Tempat Kuliah

Oleh I Ketut Suweca

Pertengahan tahun depan, siswa yang kini kelas 12 sekolah menengah atas akan menyelesaikan pendidikan menengahnya. Cukup jauh sih, tapi alangkah baiknya kalau dirancang mulai sekarang. Ada yang berpikir untuk bekerja setelah tamat sekolah. Ini dilakukan lantaran keterbatasan dana. Ada juga yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi. Pertanyaannya adalah hendak kuliah dimana dan mengambil jurusan apa? Dua pertanyaan ini acapkali masih membuat bingung. Nah, untuk mengurangi kebingungan itu, penulis berbagi tips, siapa tahu bermanfaat bagi kalian semua.
Pertama, pilihlah kampus yang tepat. Ada dua jenis tempat kuliah yang nyaris tampak sama. Yang satu berada di bawah asuhan dan binaan Dirjen Dikti Depdiknas, baik negeri maupun yang swasta. Yang lain berada di bawah binaan Departemen Tenaga Kerja. Kalau perguruan tinggi di bawah Dikti, kebanyakan mendidik mahasiswanya untuk menyerap pengetahuan dengan sebagian besar mata kuliah berisi kajian keilmuan. Kalau yang di bawah Depnaker, sebaliknya: kuliah seperti ini penekanannya semata-mata pada ketrampilan, hampir sama dengan kursus-kursus yang kita kenal, hanya kadang-kadang diberi merk “diploma satu, diploma dua, dan seterusnya”. Yang mana kalian pilih?
Ada juga sih perguruan tinggi yang mengenakan brand ‘diploma’ di samping S1, S2, dan S3, tapi tetap di bawah Dirjen Dikti atau Kopertis wilayah setempat. Apa bedanya ya? Diploma keluaran perguruan tinggi dengan diploma keluaran ‘kursus panjang’ di bawah Depnaker itu tentu ada bedanya, kendatipun secara umum sama-sama memberikan kecakapan teknis di bidang tertentu. Kalau lulus dengan sertifikat diploma dari ‘kursus panjang’ itu, pasti kalian ditolak melamar sebagai PNS, tapi kalau diploma dari sebuah perguruan tinggi pasti diperbolehkan. Asal, ada bukaan formasinya lho.
Kedua, pilih yang terakreditasi. Sistem akreditasi ini dimaksudkan sebagai evaluasi oleh lembaga yang berwenang terhadap perguruan tinggi yang ada, baik negeri maupun swasta. Sebuah tempat kuliah yang sudah terakreditasi, akan memberikan kepastian mengenai kualitas perguruan tinggi tersebut. Jangan terlalu percaya dengan promosi berlebihan di media massa. Tapi, upayakan datang dan cek kebenarannya, pastikan apakah sudah terakreditasi atau belum perguruan tinggi tersebut. Cek di internet, di posisi mana perguruan tinggi yang kalian tuju itu dalam pemeringkatan PT di Indonesia.
Ketiga, pertimbangkan kondisi keuangan. Jangan memilih jurusan yang tak terjangkau oleh isi kantong kalian (baca: orang tua). Kalau dipaksakan, jangan-jangan macet di tengah jalan. Masa studi yang relatif panjang akan membutuhkan biaya yang cukup besar pula. Nah, untuk memperingan biaya, tanyakan apakah ada beasiswanya disitu. Ini penting sekali bagi kalian yang berkantong tipis. Beasiswa pasti akan membantu meringankan beban orang tua mahasiswa. Konsekuensinya, kalian mesti belajar keras agar dapat meraih beasiswa itu.
Keempat, sesuaikan dengan minat dan bakat. Memilih perguruan tinggi hendaknya perlu disesuaikan dengan minat dan bakat kalian. Jangan sekali-kali memilih jurusan yang tidak disenangi, walaupun disitu besar kemungkinan kalian mendapatkan beasiswa selama studi. Di samping akan berat saat mengikuti kuliahnya, juga setelah tamat, kalau kalian bekerja sesuai dengan jurusan, tetap saja akan menjadi beban psikhologis sehingga sulit berkembang. Bagaimana meniti karier dengan baik kalau pekerjaan yang ditangani tak sesuai dengan minat dan bakat? Jika kalian memasuki jurusan yang selaras dengan bakat, maka belajar menjadi menyenangkan sehingga memungkinkan mencapai prestasi terbaik, profesi atau karier pun kelak akan bisa maju lancar.
Bagaimana pendapat kalian? Selamat memilih. 

economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Perhelatan Pilkada dan Korupsi

Oleh I Ketut Suweca

Argumen yang berkembang belakangan ini menyebutkan bahwa biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tinggi ditengarai sebagai faktor yang mendorong para kepala daerah melakukan praktek korupsi saat ia menjabat. Alasan yang paling masuk akal adalah karena biaya yang dikeluarkan pada saat pilkada yang konon berjumlah miliaran rupiah itu, mesti kembali. Benarkah dengan dalih dana awal yang besar itu seorang kepala daerah harus memilih jalan korupsi sebagai ganti atas biaya yang dikeluarkan di awal, minimal ‘kembali modal’? Tentu saja hal ini bertentangan dengan upaya menegakkan demokrasi di negeri ini.
Dinamika demokrasi telah berlangsung sedemikian rupa. Acapkali demokrasi berada pada titik nadir, saat kehidupan demokrasi dikekang untuk pengukuhan sebuah rezim yang berkuasa. Ada pula saatnya demokrasi mengalami euforia, saat sebagian masyarakat gegap-gempita menikmati kebebasan sampai-sampai kebablasan sehingga berujung anarkhi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang yang luas bagi tersalurnya aspirasi masyarakat bawah. Motivasi hidup ke dalam alam demokrasi inilah yang menjadi alasan mengapa pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung oleh rakyat yang memiliki hak pilih. Tentu saja dengan sistem yang demokratis seperti itu diharapkan akan diperoleh kepala daerah pilihan rakyat yang benar-benar kapabel dan merakyat. Rakyat berharap para kepala daerah yang terpilih akan dapat mengabdi demi kepentingan rakyat dus membawa amanat penderitaan rakyat. Harapan itu meliputi banyak bidang, baik di bidang kesehatan, pendidikan maupun di bidang pendapatan masyarakat. Sebuah harapan yang ideal, tapi cukup realistis. Ideal, disebutkan demikian, karena itulah yang menjadi cita-cita masyarakat, yakni membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik. Realistis, disebutkan demikian, karena peningkatan kesejahteran, kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi kenyataan.
Bagimana hasilnya? Dalam beberapa kasus, harapan ini telah menjadi kenyataan. Sejumlah kepala daerah berhasil mengangkat derajat rakyat dengan naiknya nilai indeks pembangunan manusia di daerah yang dipimpinnya. Akan tetapi, dalam banyak kasus, ternyata ekspektasi itu berjarak sangat jauh dari kenyataan. Tidak kurang para kepala daerah yang terkena batunya di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terbukti secara meyakinkan telah menyalahgunakan kewenangan dengan memperkaya dirinya sendiri. Dari data yang ada, paling tidak terdapat 16 orang Gubernur, mantan Gubernur, mantan Wakil Gubernur yang telah divonis karena terseret kasus korupsi.
Memperhatikan permasalahan tersebut, penulis mengusulkan tiga solusi yang barangkali dapat dipakai sebagai masukan saat membenahi aturan pilkada dan prosesnya di masa datang sekaligus mencegah korupsi dengan dalih beban pilkada. Solusi ini hanyalah berupa pemikiran yang sangat sederhana dan masih parsial.
Mengurangi Jumlah Pilkada Langsung
Sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat. Tidak lagi dilakukan sistem pemilihan dengan perwakilan yang direpresentasikan oleh DPRD. Konsekuensinya, biaya Pilkada menjadi besar, baik yang ditanggung oleh pemerintah daerah maupun yang ditanggung oleh calon kepala daerah. Belajar dari pengalaman ini, maka ke depan, ada baiknya Gubernur yang tiada lain adalah perpanjangan tangan dan wakil pemerintah pusat di daerah cukup ditunjuk langsung oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian, jumlah pilkada langsung akan berkurang sebanyak jumlah provinsi di Indonesia. Ini selaras dengan semangat efisiensi penggunaan keuangan negara dan masyarakat.
Jika dipandang perlu, bupati/walikota pun jangan lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan cukup dipilih oleh DPRD sebagai representasi rakyat. Jadi, kembali disesuaikan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan yang menyangkut pemilihan kepala daerah. Dengan begitu, untuk menggoalkan niatnya, seorang calon bupati/walikota beserta wakilnya cukup berurusan dengan DPRD. Tidak lagi mesti menyediakan dana yang demikian besar untuk bertarung dalam pilkada. Walaupun dipilih langsung oleh rakyat toh belum menjamin kualitas Bupati/Walikota terpilih lebih baik daripada dipilih DPRD.
Meningkatkan Kesadaran Politik
Adalah menjadi tugas pemerintah untuk secara terus-menerus membina kesadaran berpolitik masyarakat. Bagaimana berdemokrasi dengan baik, bagaimana pengaruhnya apabila calon kepala yang terpilih tidak berkualitas, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk meningkatkan mutu pelaksanaan pilkada. Secara berangsur-angsur sikap pragmatis dan primordial perlu dikikis, dengan menjelaskan akibat atau resiko yang bakal terjadi kalau sikap seperti itu dipertahankan. Bahwa sikap pragmatis (yang mementingkan kekinian saja tanpa mempertimbangkan akibatnya di masa datang) dan sikap primordial (yang mengedepankan kesukuan dan tidak rasional) dalam pilkada bertentangan dengan upaya meningkatkan kesadaran berpolitik, juga akan meniscayakan kepala daerah yang terpilih bukanlah yang terbaik. Dengan mengutamakan sikap pragmatis dan primordial, berarti masyarakat sudah menggadaikan nasib daerahnya kepada orang yang belum jelas kualitas dan komitmennya.
Mengutamakan Pencegahan
Menarik sekali apa yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, sebagaimana dipaparkan sebuah surat kabar nasional. Ia bersama 13 pemerintah kabupaten/kota serta DPRD se-Kalteng membangun sistem pencegahan untuk menekan terjadinya kasus korupsi, bekerjasama dan membuka kesempatan kepada KPK untuk melakukan pengawasan kapan saja. Dengan sistem pencegahan itu, kesejahteraan rakyat Kalteng meningkat dan indek pembangunan manusia (IPM) daerah ini pun terus membaik.
Sementara itu, Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto juga terbilang sukses membangun daerahnya berkat keberhasilannya mencegah penyebaran virus korupsi. Dikatakannya bahwa berapapun biaya atau investasi awal yang diberikan saat pilkada ia berikan dengan keikhlasan, sama sekali tidak diharapkan untuk kembali. Rupanya niat baik sejak awal memang harus dimiliki oleh sang calon kepala daerah untuk mengabdikan diri membangun daerah sekaligus mencegah korupsi.
Read more ...

Intelektual Sejati, Siapakah Dia?

Oleh I Ketut Suweca

Saya hampir tuntas membaca buku karya Herien Priyono yang berjudul Mind Writing. Ada hal yang menarik yang dikemukakan Herien di dalam bukunya itu, di samping pemikiran utama yang dikemukakannya seputar penggalian ide untuk bahan penulisan dengan menerapkan konsep ‘5W +2H minus otak kritis’. Hal yang saya maksud menarik adalah mengenai pemaknaan interlegos. Dikatakannya, bahwa interlegos merupakan asal kata dari intelektual. Jadi, interlegos sama saja artinya dengan intelektual. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, et. al, 1996), intelektual diidentikkan dengan kaum intelek, kaum terpelajar. Sedangkan di dalam Kamus Bahasa Inggeris-Indonesia (John M.Echols, et. al, 1989), intellectual diartikan sama dengan cendekiawan, cerdik pandai.

Tiga Fondasi Intelektual
Lalu, siapakah intelektual itu? Di dalam buku Herien tadi dikatakan bahwa interlegos adalah sosok intelek yang memiliki tiga bangunan kuat yang membawahinya sebagai seorang yang cerdas, yakni paham dengan mendalam, prihatin sepenuh hati, dan tergerak ingin memperbaiki. Ditambahkannya, bahwa seorang intelektual atau cendekiawan sejati harus mempunyai ketiga fondasi pokok itu. Berangkat dari ketiga fondasi tersebut, kita akan membahasnya secara lebih detail dan intens di dalam artikel ini sesuai dengan pandangan penulis sendiri.
Pertama, paham secara mendalam. Kaum intelektual pada umumnya berpendidikan tinggi. Dengan pendidikannya itu ia memiliki kompetensi akademis pada tingkatan yang cukup untuk memahami persoalan atau masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Kalau di sekolah dasar dan menengah, dia dijejali berbagai pengetahuan oleh para gurunya untuk menambah wawasan/pengetahuannya, maka di perguruan tinggi, di samping ditambah ilmunya, ia juga diberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dalam menelaah segala persoalan yang terjadi secara kritis dan mandiri. Ia dilatih untuk menggunakan kecerdasan untuk menganalisa berbagai masalah. Ketajaman pisau critical thinking-nya ditumbuhkembangkan, misalnya bagaimana mendeskripsikan (describe) suatu permasalahan dengan baik, bagaimana menganalisa (analyse), membandingkan (compare), membuat sintesis (synthesise), serta melakukan evaluasi (evaluate) terhadap suatu permasalahan.
Ilmu pengetahuan yang diperolehnya tidak lagi semata-mata dari bangku kuliah. Ia juga menggali sendiri ilmu itu dari berbagai sumber secara otodidak. Penggalian itu tidak terbatas pada disiplin ilmunya, bahkan lebih luas lagi. Ia menggali ilmu pengetahuan dari berbagai media yang tersedia, seperti buku, majalah, surat kabar, juga internet dan forum diskusi/seminar. Dia berjuang agar memiliki jangkauan pemikiran yang luas dengan mengisi ruang pikirannya dengan berbagai pengetahuan yang berguna. Menggali sumur ilmu pengetahuan lebih dalam agar memperoleh air ilmu pengetahuan yang lebih dalam, itulah yang selalu diusahakannya. Juga, memperlebar sumurnya itu agar ia memahami juga ikhwal perkembangan pengetahuan di luar bidangnya. Dia benar-benar menerapkan konsep belajar seumur hidup seperti acapkali dinasehatkan oleh para bijak. Sang intelektual sejati tak pernah merasa puas untuk mengguyur pikirannya dengan air ilmu pengetahuan terbaru. Tak pernah terpikir olehnya untuk berhenti belajar hanya lantaran tidak menjadi mahasiswa lagi. Terus-menerus mengisi diri adalah prinsip hidupnya. Ia tak mau mandeg, tak mau stagnan. Dengan begitu, dia menjadi paham secara mendalam suatu persoalan di dalam bidangnya, di samping tahu pula perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidangnya. Tak hanya menjadi serorang spesialis, ia bahkan juga memiliki ciri-ciri seorang generalis.
Kedua, prihatin sepenuh hati. Seorang intelektual sejati tidak mejadikan dirinya eksklusif dan terangsing dari lingkungannya. Sebaliknya, dia selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Berbekal kebiasaannya untuk selalu mengasah dan mengisi diri, maka ia mampu melihat persoalan-persoalan pada berbagai aspek kehidupan dengan lebih lengkap dan tajam. Dia mampu mencerap persoalan-persoalannya yang terjadi di masyarakat, misalnya masalah ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum, dan sosial lainnya. Jika permasalahan itu menurut penilainnya sedemikian besar dampak negatifnya, maka tumbuh sikap prihatin pada dirinya. Keprihatinan ini mendorongnya untuk menggali lebih dalam lagi permasalahan itu. Tidak cukup dengan melihat fenomena-fenomena yang tampak di permukaan, dia juga melihat akar permasalahannya. Tidak hanya bertanya ‘apa’ yang terjadi, bahkan juga ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ sesuatu permasalahan itu muncul. Keprihatinannya ini muncul terdorong oleh kata hatinya bahwa telah terjadi permasalahan yang membuatnya prihatin. Sang intelektual mengambil sikap proaktif terhadap permasalahan yang ada sebagai bentuk tanggung jawab sosial (social responbility)-nya di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, tergerak ingin memperbaiki. Seperti dikemukakan tadi, permasalahan yang terjadi membuat sang intelektual prihatin. Akan tetapi, dia tak berhenti sampai di situ. Iapun tergerak untuk mengambil langkah-langkah untuk mencari solusinya. Mungkin ia perlu bantuan orang lain untuk bersama-sama membenahi suatu kondisi yang membuat dia dan masyarakat prihatin tadi. Mungkin pula dia memilih untuk berjuang sendiri melalui pemikiran-pemikirannya yang dipresentasikannya dalam berbagai forum atau media. Ia dapat memilih jalan mana saja. Yang pasti, dia tak mau tinggal diam dalam menyikapi permasalahan yang terjadi. Kepekaan dan rasa tanggung jawab sosialnya benar-benar terjaga dengan baik, dan karenanya ia cepat memberikan repons terhadap permasalahan yang dirasa mengganggu batinnya.
Upaya-upaya memperbaiki keadaan itu tumbuh sama sekali bukan didorong oleh keinginan mendapatkan popularitas atau mendapatkan penghargaan, misalnya. Popularitas atau penghargaan itu, kalaupun nantinya diberikan pihak lain, sama sekali bukan merupakan tujuan. Ia fokus ke arah bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah itu, ia selalu berpikir jauh ke depan, melihat dampaknya di masa datang. Juga, tidak sekadar menyelesaikan masalah dengan menutup asapnya, tapi dengan berupaya memadamkan apinya. Untuk itu, sang intelektual menuntut dirinya untuk menjadi seorang visioner, orang yang mampu melihat ke depan dengan visi yang jelas.
Masyarakat yang maju, cerdas dan beradab adalah cita-citanya. Di dalam sanubarinya tumbuh dan berkembang kehendak untuk memajukan bangsanya, sekaligus mengupayakan bangsanya dapat keluar dari berbagai persoalan yang menghadang. Tatkala dia dapat berkontribusi untuk lingkungan, daerah, bangsa, dan/atau negerinya, di situlah kepuasan batin diperolehnya. Sampai di sini mungkin kita tiba-tiba saja terkenang dengan kaum intelektual Indonesia di masa lalu, seperti Bung Karno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, dan beberapa yang lainnya. Juga, So Hok Gie, sang intelektual yang mati muda itu. Semoga kian banyak calon intelektual sejati yang lahir dari rahim sebuah negeri yang bernama Indonesia.
Read more ...

Revitalisasi Pasar Tradisional

Oleh I Ketut Suweca

Pasar modern yang dicirikan oleh hadirnya mini market, super market, dan hyper market sudah merasuk ke lingkungan masyarakat, tidak hanya di perkotaan bahkan hingga ke pedesaan. Dengan berbagai keunggulannya, pasar modern telah menarik masyarakat pembeli untuk datang ke situ. Pembeli mulai ada tanda-tanda bakal meninggalkan pasar tradisional. Kalau hal ini dibiarkan terus berlangsung dengan mekanisme pasar bebas, dikhawatirkan pasar tradisional akan kalah bersaing. Bukan tidak mungkin nasibnya akan mirip dengan dinosaurus yang punah lantaran tidak sanggup menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan.
Untuk mencegah hal itu terjadi, kiranya diperlukan upaya revitalisasi pasar tradisional. Kalau Pemerintah Kota Denpasar membuat blue print sebagai acuan dalam memperkuat pasar tradisional, sungguh sebuah kebijakan yang patut diapresiasi. Sebagaimana dikatakan oleh Wali Kota Denpasar, I. B. Rai Wijaya Mantra (Bali Post, 28 September 2010, hal. 2), bahwa blue print tersebut diharapkan bisa memperkuat kapasitas pedagang dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Ini sebuah langkah maju dalam menjaga eksistensi pasar tradisional yang notabene adalah masyarakat kelas bawah yang rata-rata bermodal kecil berhadapan dengan kapitalisme. Revitalisasi ini penting, tak hanya bagi pasar-pasar tradisional di wilayah Denpasar, bahkan juga untuk seluruh pasar tradisional di Bali.
Ekonomi Kerakyatan
Pasar tradisional bersentuhan langsung dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan sendiri dimaknai sebagai sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat. Menurut Mubyarto sebagaimana dikutip Prof. Cornelis Rintuh dan Miar, M.S. dalam bukunya yang berjudul Kelembagaan dan Ekonomi Kerakyatan (2005 : 4), ekonomi kerakyatan mempunyai ciri-ciri: 1. Dilakukan oleh rakyat tanpa modal besar; 2. Dikelola dengan cara-cara swadaya, 3. Bersifat mandiri sebagai ciri khasnya; 4. Tidak ada buruh dan tidak ada majikan, dan 5. Tidak (semata-mata- Red) mengejar keuntungan.
Dalam rangka membangun basis ekonomi kerakyatan yang antara lain dilaksanakan melalui revitalisasi pasar tradisional, maka peran serta pemerintah tidak bisa diabaikan. Ekonomi kerakyatan tidak boleh dibiarkan lepas begitu saja kepada kekuatan pasar dengan persaingan bebasnya. Tetapi, pengambil kebijakan dapat melakukan intervensi secara proporsional sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan rakyat sehingga pasar tradisional menjadi tempat ekonomi kerakyatan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Tiga Faktor yang Perlu Perhatian
Berkenaan dengan merevitalisasi pasar tradisional yang diperuntukkan bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kerakyatan, penulis ingin menyumbangkan pemikiran sederhana dengan mengetengahkan beberapa hal yang patut mendapatkan perhatian dari para pedagang pasar tradisional, manajemen pengelola pasar, dan pemerintah (daerah), dan semua komponen yang terkait lainnya, diantaranya sebagai berikut.
Pertama, sanitasi pasar. Masih cukup banyak sesungguhnya pasar tradisional di Bali yang kurang memenuhi syarat kelayakan sanitasi. Diantaranya cenderung kotor, bau, becek, kurang penerangan, dan barang dagangan yang kurang tertata dengan apik.
Untuk menanggulanginya, maka kebiasaan memcampakkan sampah sembarangan harus dihentikan. Tempat sampah hendaknya disiapkan oleh para pedagang di tempatnya berjualan dan benar-benar dimanfaatkan sebagai tempat sampah, dan kemudian setelah penuh, sampahnya dibuang ke dalam bak sampah besar yang disiapkan pemerintah. Untuk mengurangi bau tak sedap, sebaiknya hindari membuang limbah cucian sembarangan, seperti cucian piring, cucian daging/ikan, dan sebagainya. Kalau air limbah ini bercampur dengan sampah, niscaya akan menimbulkan bau tak sedap. Bagian pasar yang menjadi tempat menjual ayam, bebek dan sejenisnya yang cenderung menimbulkan bau, mestinya lebih memperhatikan lagi aspek kebersihan tempat berjualan dengan secara rutin membersihkan kotoran binatang itu untuk mengurangi bau menyengat ke sekitarnya.
Pasar tradisional yang becek biasanya karena berlantaikan tanah. Ketika turun hujan, air hujan merembes ke lantai pasar. Ini menimbulkan keadaan lantai yang becek sehingga terkesan kotor. Lantai pasar yang masih tanah tersebut, seyogianya dipaving atau dilantai dengan dasar semen.
Di samping itu, pasar tradisional pada umumnya masih menggunakan penerangan seadanya, sehingga terkesan redup dan kusam, suasana yang tidak menarik orang untuk datang, memilih, dan membeli dagangan pada malam hari. Oleh karena itu, perlu dipasang lampu penerangan yang lebih besar Watt-nya sehingga pembeli lebih gampang melihat-lihat dan memilih barang yang hendak dibelinya sekaligus untuk memberikan kesan cerah/terang (galang-Bahasa Bali) di dalam pasar.
Lorong-lorong yang menjadi area pembeli lalu-lalang pun demikian sempit, sehingga orang agak sulit berpapasan apalagi untuk berhenti sebentar di situ tatkala memilih barang yang hendak dibeli. Untuk mengatasi hal itu, perlu membenahi penataan barang dagangan agar jalur lalu-lalang pembeli menjadi lebih leluasa.
Lingkungan pasar tradisional pada umumnya juga kurang terawat. Hampir setiap sudutnya ditempati pedagang. Tidak ada space ruang terbuka hijau yang cukup melegakan. Area yang sempit dan pengap ditambah lagi dengan kondisi yang kotor benar-benar melengkapi kesan ‘tradisional’ itu. Seakan-akan yang tradisional tersebut harus seperti itu kondisinya. Oleh karenanya, perlu ada areal terbuka yang cukup untuk taman-taman kecil, tempat tumbuhnya tanaman dan pepohonan yang menghijaukan wilayah seputar pasar. Walaupun berisikan setumpuk dagangan tapi kalau ditimpali dengan taman nan asri dan terpelihara, tentu pasar tradisional akan mampu memberi rasa nyaman kepada pengunjung.
Kedua, perlunya pelayanan yang profesional yang berorientasi pada pembeli. Kalau kita melihat pola pelayanan pasar modern, maka dalam beberapa hal perlu ditiru dan diterapkan di pasar tradisional. Salah satunya, pelayanan ramah yang tulus dari hati, perlu diperhatikan. Para pedagang yang sebagian besar kaum ibu itu pada umumnya sudah sangat menghayati perannya sebagai pedagang. Yang perlu sedikit dipoles adalah aspek pelayanan yang ramah. Ini penting, sebab masyarakat kita sekarang sudah mulai memperhatikan aspek keramahtamahan pelayanan ini, yang pada umumnya mereka dapatkan di pasar modern. Nah, jika para pedagang di pasar tradisional tidak meningkatkan keramah-tamahannya yang keluar dari hati yang tulus, maka akan kalah saing dengan pasar modern. Hal-hal yang baik dan berguna untuk kemajuan, ada baiknya diadopsi.
Ketiga, penetapan harga. Harga di pasar tradisional kadang-kadang lebih tinggi daripada di pasar modern. Walaupun perbedaan harga tersebut tidak terlalu besar, tapi hal ini boleh jadi berpengaruh terhadap minat pembeli. Karena harga di pasar tradisional lebih mahal, mungkin saja mereka akan beralih ke pasar modern. Jika berlangsung terus-menerus, maka hal ini dapat membahayakan eksistensi pasar tradisional. Di samping sudah kalah bersaing dalam penataan, pelayanan, kebersihan, juga kalah dalam hal persaingan harga. Kasihan sekali pasar tradisional kita. Untuk mengatasinya, diperlukan upaya-upaya komprehensif dan sinergis dari berbagai pihak yang terlibat. Melepas harga ke dalam transaksi dan persaingan pasar bebas kiranya perlu ditinjau kembali. Pemerintah daerah dapat melakukan intervensi dalam upaya mengontrol kenaikan harga dan menjaga stabilitasnya.
Setiap komponen pengelola pasar tradisional seyogianya peduli terhadap perubahan. Pasar tradisional harus maju bersamaan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tidak boleh puas dengan keadaan yang ada kini, melainkan harus maju terus menata diri dengan dukungan pemerintah dan seluruh komponen yang terkait. Revitalisasi dapat diwujudkan antara lain melalui perbaikan sanitasi, penataan lingkungan nan asri, profesionalisme pelayanan, dan pengontrolan harga pasar agar tak lebih tinggi dibanding pasar modern.
Semoga dengan implementasi pemikiran sederhana ini, pasar tradisional dapat memperlihatkan daya tarik terbaiknya kepada masyarakat pembeli, sekaligus menjadi bagian dari budaya bisnis masyarakat Bali yang dapat dibanggakan. Dan, tidak perlu senasib dengan dinosaurus!
Read more ...

Tips Memilih Seminar

Oleh I Ketut Suweca

Tawaran seminar belakangan ini cukup marak. Media massa, terutama media cetak, seringkali mempublikasikan tentang adanya penyelenggaran seminar. Berbagai ragam topiknya, seperti manajemen, keuangan, kunci sukses, dan spiritual. Foto para pembicaranya pun diperlihatkan dalam publikasi/iklan itu sebagai salah satu daya tarik. Ongkos yang harus dikeluarkan pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Lantas, bagaimana memilih seminar yang akan diikuti? Berikut beberapa tips sederhana yang bisa Anda jadikan pertimbangan sebelum memutuskan mengikuti atau tidak mengikuti suatu seminar.
Pertama, perhatikan waktu Anda. Punyakah Anda waktu luang untuk mengikuti seminar tersebut? Mungkin Anda harus mengatur kembali waktu kerja Anda sehingga tidak berbenturan dengan acara seminar yang akan Anda ikuti. Yang penting, jangan pernah mengorbankan pekerjaan atau tugas yang menjadi prioritas.
Kedua, ketahui siapa pembicaranya. Dengan bekal informasi yang mungkin sudah Anda miliki sebelumnya, dengan segera Anda dapat memastikan apakah sang pembicara dalam seminar itu benar-benar kompeten atau tidak di bidangnya. Kalau Anda sama sekali tidak punya informasi tentangnya, cobalah bertanya kepada orang lain yang kira-kira mengetahuinya atau gali informasi dari internet. Acapkali seorang pembicara yang punya nama adalah juga seorang penulis buku. Dengan mengetahui bukunya, berarti Anda sudah memiliki referensi positif tentangnya.
Ketiga, perhitungkan cost bakal Anda keluarkan. Pada umumnya pembicara yang memiliki kompetensi tinggi dan terkenal, cenderung memasang tarif tinggi. Untuk menentukan pilihan, hitung dulu kemampuan kantong Anda. Jangan pernah memaksakan diri.
Keempat, relevansinya dengan pekerjaan dan minat Anda. Apakah seminar tersebut sesuai dengan kebutuhan Anda? Pertimbangkan relevansi topik atau isi yang dibicarakan dalam seminar dengan pekerjaan, minat, atau hobi Anda. Kalau relevan, pertimbangkan untuk mengikutinya. Jika tidak, say good bye saja.
Nah, pembaca yang budiman, bagaimana pendapat Anda?
economist-suweca.blogspot.com
Read more ...