Perhelatan Pilkada dan Korupsi

Oleh I Ketut Suweca

Argumen yang berkembang belakangan ini menyebutkan bahwa biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tinggi ditengarai sebagai faktor yang mendorong para kepala daerah melakukan praktek korupsi saat ia menjabat. Alasan yang paling masuk akal adalah karena biaya yang dikeluarkan pada saat pilkada yang konon berjumlah miliaran rupiah itu, mesti kembali. Benarkah dengan dalih dana awal yang besar itu seorang kepala daerah harus memilih jalan korupsi sebagai ganti atas biaya yang dikeluarkan di awal, minimal ‘kembali modal’? Tentu saja hal ini bertentangan dengan upaya menegakkan demokrasi di negeri ini.
Dinamika demokrasi telah berlangsung sedemikian rupa. Acapkali demokrasi berada pada titik nadir, saat kehidupan demokrasi dikekang untuk pengukuhan sebuah rezim yang berkuasa. Ada pula saatnya demokrasi mengalami euforia, saat sebagian masyarakat gegap-gempita menikmati kebebasan sampai-sampai kebablasan sehingga berujung anarkhi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang yang luas bagi tersalurnya aspirasi masyarakat bawah. Motivasi hidup ke dalam alam demokrasi inilah yang menjadi alasan mengapa pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung oleh rakyat yang memiliki hak pilih. Tentu saja dengan sistem yang demokratis seperti itu diharapkan akan diperoleh kepala daerah pilihan rakyat yang benar-benar kapabel dan merakyat. Rakyat berharap para kepala daerah yang terpilih akan dapat mengabdi demi kepentingan rakyat dus membawa amanat penderitaan rakyat. Harapan itu meliputi banyak bidang, baik di bidang kesehatan, pendidikan maupun di bidang pendapatan masyarakat. Sebuah harapan yang ideal, tapi cukup realistis. Ideal, disebutkan demikian, karena itulah yang menjadi cita-cita masyarakat, yakni membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik. Realistis, disebutkan demikian, karena peningkatan kesejahteran, kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi kenyataan.
Bagimana hasilnya? Dalam beberapa kasus, harapan ini telah menjadi kenyataan. Sejumlah kepala daerah berhasil mengangkat derajat rakyat dengan naiknya nilai indeks pembangunan manusia di daerah yang dipimpinnya. Akan tetapi, dalam banyak kasus, ternyata ekspektasi itu berjarak sangat jauh dari kenyataan. Tidak kurang para kepala daerah yang terkena batunya di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terbukti secara meyakinkan telah menyalahgunakan kewenangan dengan memperkaya dirinya sendiri. Dari data yang ada, paling tidak terdapat 16 orang Gubernur, mantan Gubernur, mantan Wakil Gubernur yang telah divonis karena terseret kasus korupsi.
Memperhatikan permasalahan tersebut, penulis mengusulkan tiga solusi yang barangkali dapat dipakai sebagai masukan saat membenahi aturan pilkada dan prosesnya di masa datang sekaligus mencegah korupsi dengan dalih beban pilkada. Solusi ini hanyalah berupa pemikiran yang sangat sederhana dan masih parsial.
Mengurangi Jumlah Pilkada Langsung
Sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat. Tidak lagi dilakukan sistem pemilihan dengan perwakilan yang direpresentasikan oleh DPRD. Konsekuensinya, biaya Pilkada menjadi besar, baik yang ditanggung oleh pemerintah daerah maupun yang ditanggung oleh calon kepala daerah. Belajar dari pengalaman ini, maka ke depan, ada baiknya Gubernur yang tiada lain adalah perpanjangan tangan dan wakil pemerintah pusat di daerah cukup ditunjuk langsung oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian, jumlah pilkada langsung akan berkurang sebanyak jumlah provinsi di Indonesia. Ini selaras dengan semangat efisiensi penggunaan keuangan negara dan masyarakat.
Jika dipandang perlu, bupati/walikota pun jangan lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan cukup dipilih oleh DPRD sebagai representasi rakyat. Jadi, kembali disesuaikan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan yang menyangkut pemilihan kepala daerah. Dengan begitu, untuk menggoalkan niatnya, seorang calon bupati/walikota beserta wakilnya cukup berurusan dengan DPRD. Tidak lagi mesti menyediakan dana yang demikian besar untuk bertarung dalam pilkada. Walaupun dipilih langsung oleh rakyat toh belum menjamin kualitas Bupati/Walikota terpilih lebih baik daripada dipilih DPRD.
Meningkatkan Kesadaran Politik
Adalah menjadi tugas pemerintah untuk secara terus-menerus membina kesadaran berpolitik masyarakat. Bagaimana berdemokrasi dengan baik, bagaimana pengaruhnya apabila calon kepala yang terpilih tidak berkualitas, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk meningkatkan mutu pelaksanaan pilkada. Secara berangsur-angsur sikap pragmatis dan primordial perlu dikikis, dengan menjelaskan akibat atau resiko yang bakal terjadi kalau sikap seperti itu dipertahankan. Bahwa sikap pragmatis (yang mementingkan kekinian saja tanpa mempertimbangkan akibatnya di masa datang) dan sikap primordial (yang mengedepankan kesukuan dan tidak rasional) dalam pilkada bertentangan dengan upaya meningkatkan kesadaran berpolitik, juga akan meniscayakan kepala daerah yang terpilih bukanlah yang terbaik. Dengan mengutamakan sikap pragmatis dan primordial, berarti masyarakat sudah menggadaikan nasib daerahnya kepada orang yang belum jelas kualitas dan komitmennya.
Mengutamakan Pencegahan
Menarik sekali apa yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, sebagaimana dipaparkan sebuah surat kabar nasional. Ia bersama 13 pemerintah kabupaten/kota serta DPRD se-Kalteng membangun sistem pencegahan untuk menekan terjadinya kasus korupsi, bekerjasama dan membuka kesempatan kepada KPK untuk melakukan pengawasan kapan saja. Dengan sistem pencegahan itu, kesejahteraan rakyat Kalteng meningkat dan indek pembangunan manusia (IPM) daerah ini pun terus membaik.
Sementara itu, Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto juga terbilang sukses membangun daerahnya berkat keberhasilannya mencegah penyebaran virus korupsi. Dikatakannya bahwa berapapun biaya atau investasi awal yang diberikan saat pilkada ia berikan dengan keikhlasan, sama sekali tidak diharapkan untuk kembali. Rupanya niat baik sejak awal memang harus dimiliki oleh sang calon kepala daerah untuk mengabdikan diri membangun daerah sekaligus mencegah korupsi.

0 Response to "Perhelatan Pilkada dan Korupsi"

Posting Komentar