Membangun Modal Sosial Manusia Bali

Oleh I Ketut Suweca

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan P. Windia menilai, tradisi kehidupan desa adat atau pekraman di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal ini diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagaimana dilansir sebuah media, Prof. Windia mengatakan bahwa masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau awig-awig untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi obyektif tempat, waktu, dan keadaan atau desa, kala, patra. Meskipun demikian, bukan berarti desa adat di Bali bebas dari masalah, karena berbagai persoalan muncul dari aktivitas keseharian warga desa pekraman.
Hanya saja masalah yang muncul lebih sederhana yang dapat diselesaikan secara sederhana pula oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat, sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama, baik secara lisan maupun tulisan. Semua itu didasarkan atas konsep keseimbangan, saling menghargai, dan menghormati satu sama lainnya, bahkan sangat jarang sekali kasus adat penyelesaiaannya melalui jalur hukum.
Didukung Fakta
Kendatipun pada umumnya permasalahan desa adat dapat diselesaikan sebagaimana dipaparkan Prof. Windia, namun kerapkali permasalahan itu menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu siap membara kembali. Data menunjukkan, kekerasan yang melibatkan orang Bali kini jumlahnya cenderung meningkat. Sejumlah kasus adat yang mencuat ke permukaan mengindikasikan makin kerasnya orang Bali terhadap saudara-saudaranya sendiri dalam menyikapi permasalahan. Perebutan lahan kuburan, pelaba pura, tapal batas, hingga pertikaian karena warisan, tak hanya menimbulkan sengketa perdata, bahkan telah masuk ke jalur pidana.
Konflik adat yang berujung pada kekerasan di Bali tidak hanya mengundang kekhawatiran tokoh-tokoh masyarakat Bali. Trend terjadinya kasus adat di Bali bahkan sempat menjadi perhatian Menteri Dalam Negeri RI. Dalam sambutannya pada HUT ke-49 Pemprov. Bali tahun lalu, Mendagri menilai orang Bali kini cenderung makin mengedepankan kekerasan dalam menyikapi masalah. Ungkapan Mendagri benar-benar didukung fakta!
Di samping kasus adat di atas, kasus kekerasan dalam rumah tangga di Bali juga cenderung meningkat. Menurut Ida Bagus Alit, Bagian Forensik RSU Pusat Sanglah, sebagaimana dilansir dalam sebuah situs web, selama 2008 terjadi 164 kasus kekerasan pada perempuan. Namun, pada enam bulan pertama tahun 2009, kasusnya sudah mencapai 78 kasus. Satu hal yang menarik, lanjutnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2009 jarang yang dilaporkan ke polisi. Dari 63 kasus kekerasan dalam rumah tangga, hanya 44 saja yang berujung laporan pada polisi. Sebagian besar dengan alasan, enggan mendapat persoalan yang lebih besar. Para korban mengaku baru akan membuat laporan bila telah mengalami kekerasan yang kedua kalinya.
Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Bali juga mengalami peningkatan, sebagaimana tercatat pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali. Ketua KPAI Bali, Anak Agung Sri Wahyuni menyampaikan, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari tahun sebelumnya, baik yang berkaitan dengan kekerasan fisik maupun seksual. Selama tahun 2009 tercatat ada 132 kasus kekerasan terhadap anak. Sampai dengan Februari 2010 tercatat tiga kasus yang masuk dan sudah dalam penanganan pihak kepolisian. “Untuk menyikapi trend ini, maka dari keluarga terutama para orang tua dapat menjadi pengawas utama. Sekolah hanya lembaga pendidikan yang sifatnya sebagai penambah pengetahuan dan mengingatkan saja,” jelas Wahyuni kepada sebuah media.
Jejaring, Kepercayaan, dan Norma
Kasus-kasus kekerasan itu menunjukkan betapa telah terjadi pergeseran nilai-nilai kehidupan masyarakat Bali. Masyarakat yang di masa lalu yang dikenal santun, ramah, tulus hati dan welas asih, kini ternyata sudah mengalami perubahan. Hari-hari manusia Bali mulai dihantui oleh ketakutan dan trauma oleh kasus-kasus kekerasan yang sewaktu-waktu mungkin saja akan muncul di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial manusia Bali sudah bergeser.
Modal sosial yang meliputi jejaring, kepercayaan, dan norma dapat dipelihara dan diperkuat melalui kebijakan publik atau kebijakan pemerintah. Dalam hal jejaring (network) yang ada di Bali, baik formal maupun informal, bisa semakin diperkuat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengarah pada penguatan jejaring yang positif dalam masyarakat sekaligus mencegah dan mengatasi problem yang melatarbelakangi munculnya kekerasan tersebut.
Kebijakan publik yang diambil pemerintah hendaknya juga mampu memperkuat solidaritas antarwarga. Jangan sampai jejaring sebagai salah satu aspek modal sosial yang penting ini malah menjadi bumerang yang merugikan anggotanya sendiri, melainkan dapat berfungsi sebagai alat bagi peningkatan kesejahteraan dan ketentraman hidup bersama. Jangan lupa, jejaring itu bisa juga mengarah ke negatif apabila tidak digunakan secara benar. Manusia Bali semestinya menyadari hal ini.
Kepercayaan (trust) antara pemerintah dengan masyarakat dan antarmasyarakat dapat juga dibangun secara berkesinambungan dengan menampilkan sebuah pemerintahan yang semakin bersih dan kian dipercaya rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang prorakyat sekaligus bebas KKN. Kepercayaan tersebut baru akan tumbuh apabila pemerintah benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat secara totalitas, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah adalah yang mengacu pada tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan antarmasyarakat.
Demikian pula dengan kebijakan yang diambil yang berbentuk peraturan hukum/ ketentuan perundang-undangan dan norma-norma (norms) apapun lainnya yang bersifat mengatur dan mengikat, seyogianya bersifat mengayomi, bukannya malah mengekang atau mengibiri kebebasan warga dalam berekspresi. Hendaknya norma hukum ditegakkan dan diberlakukan tanpa pandang bulu sehingga dapat memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat.
Singkatnya, kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah, hendaklah dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat: meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan mereka. Kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah seyogianya mengarah pada pengembangan modal sosial yang positif: kepercayaan yang tumbuh semakin kuat, norma-norma yang ditaati bersama, dan jejaring yang terjaga dan bersifat mutualistis. Dengan demikian, semoga kekerasan di Bali bisa dieliminasi, kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan bersama pun dapat dipelihara dengan baik.

0 Response to "Membangun Modal Sosial Manusia Bali"

Posting Komentar