Buku “Subconscious Mind Writing” Muncul di Kompas

I Ketut Suweca

Koran Kompas terbitan Selasa, 21 Februari 2012, baru saja saya baca. Ada banyak artikel menarik di sana. Di antaranya adalah artikel mengenai Merry Riana yang sukses menjadi pengusaha, berhasil pula menjadi penulis dan motivator.
Yang paling menarik ialah rubrik Bibliotika! pada halaman 35 koran tersebut. Gambar buku karyaku yang diterbitkan oleh Udayana University Press tahun 2011, muncul di situ, disertai dengan ulasan yang cukup untuk memperkenalkan buku berketebalan xiv + 182 dan berbandrol Rp.45.000,- kepada khalayak.
Buku tentang teknik menulis artikel untuk media massa dan dorongan menulis ini sudah beredar di toko-toko buku di Indonesia. Di antaranya di TB Gramedia dan Togamas yang tersebar di beberapa kota besar.

Nah, bagi Anda yang ingin mendapatkan rahasia sukses menjadi penulis artikel di media massa dan ingin merasakan motivasi yang kuat sehingga tergerak menulis, segera dapatkan dan bacalah buku ini. Petiklah manfaat dari buku penuh inspirasi ini.
Read more ...

Menyoal Publikasi Karya Ilmiah

I Ketut Suweca

Pembicaraan seputar karya tulis dan publikasi di jurnal ilmiah belakangan demikian marak. Tak hanya ditulis di media massa cetak, bahkan di media online pun, kesemarakan diskusi tersebut tak terbendung. Semua itu berawal dari Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 bertanggal 27 Januari 2012 yang mewajibkan setiap mahasiswa S1, S2, dan S3 membuat dan mempublikasikan karya ilmiahnya melalui jurnal ilmiah. Untuk S1 di jurnal ilmiah kampus setempat, S2 di jurnal nasional yang teakreditasi, dan S3 di jurnal internasional. Surat edaran yang dikirim kepada para rektor/ketua perguruan tinggi se-Indonesia dan diberlakukan mulai dari kelulusan Agustus 2012 itu ternyata telah mengundang lahirnya berbagai pendapat dari kalangan perguruan tinggi dan mahasiswa yang menjadi “objek” kebijakan. 

Sebagian diantara mereka yang dengan senang hati menerima “perintah” itu. Sebagian lainnya, mengkritisi kebijakan Dirjen Dikti tersebut dengan berbagai argumentasi, bahkan menuding kebijakan itu sama sekali tanpa pijakan dan tidak membumi. Bahkan, di sebuah media nasional, Franz Magnis-Suseno, dalam artikelnya menulis pertanyaan retoris, “Pertanyaan saya, berapa lama rekan-rekan di perguruan tinggi di Indonesia membiarkan diri dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang berkesan beyond hope, melampaui harapan?” 

Terlepas dari sikap pro-kontra yang terjadi, kelahiran SE tersebut tentu dilandasi oleh niat baik, yakni agar para mahasiswa Indonesia lebih produktif lagi dalam menulis karya ilmiah sehingga tidak kalah dari negara yang dijadikan rujukan dalam SE itu. Menariknya, negara yang dijadikan rujukan adalah Malaysia yang kuantitas publikasi ilmiahnya jauh lebih banyak daripada Indonesia. Berdasarkan data, selama kurun 1996-2010, Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah, sementara Malaysia 55.211. Yang lupa dirujuk adalah bagaimana pendanaan penelitian di negara itu, bagaimana pula tingkat kondusivitas research PT-PT setempat. Di dalam artikel sederhana ini, penulis akan mengemukakan sedikit bahan pertimbangan sederhana. Tak hendak “mengajar itik berenang” karena kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh sebuah institusi tentu (seharusnya) telah melalui berbagai kajian yang mendalam.
Pertama, yang berkaitan dengan kondisi perguruan tinggi di Indonesia. Kebijakan yang diteken Dirjen Dikti itu dimaksudkan untuk semua perguruan tinggi di Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, hendaknya disadari bahwa perguruan tinggi di Indonesia sangat bervariasi dalam banyak hal, termasuk dalam kualitas dan kemampuan finansial. Ada perguruan tinggi besar dan ternama dengan hasil risetnya, sebaliknya tak kurang yang berkategori kecil atau kata teman saya disebut “PT Gurem” yang untuk mendukung kegiatan operasionalnya saja sudah setengah mati. Bagi sebagian dari perguruan tinggi yang besar dengan fasilitas lengkap, mungkin tak terlalu masalah dengan kewajiban publikasi ilmiah bagi mahasiswanya. Dia pada umumnya telah mempunyai publikasi ilmiah di kampusnya, walaupun tetap saja paper yang mampu dimuat di dalam publikasi itu menjadi kendala karena daya tampung yang terbatas. Tetapi, bagi perguruan tinggi swasta kecil di pelosok yang tidak memiliki publikasi ilmiah, persoalannya akan menjadi rumit. Ke mana mahasiswa akan mempublikasi karya ilmiahnya agar bisa lulus studi? Kalau melalui publikasi online, bagaimana pengawasan mutunya? Sudahkah semua publikasi ilmiah dalam posisi online?

Kalau persyaratan karya ilmiah wajib publikasi itu benar-benar diberlakukan tanpa ampun, maka akan banyak sekali calon sarjana yang mentok hanya karena publikasi ilmiah. Akan banyak sekali mahasiswa yang ngantri menjadi sarjana lantaran karyanya tak dimuat di jurnal ilmiah. Salah satunya penyebabnya karena terbatasnya jurnal ilmiah. Akan banyak mahasiswa “terperangkap” oleh aturan yang amat menyulitkan mereka untuk berhasil lulus. Akhirnya, kewajiban publikasi ilmiah menjadi penghambat bagi kelulusan seseorang calon sarjana. Semakin lama mereka studi, kian besar biaya yang dikeluarkan. Belum lagi kerugian psikologis yang menyertainya. Hal ini akan menjadi penyebab mahasiswa cenderung putus kuliah! Jangan-jangan, karena SE ini pula, banyak dosen yang merasa takut meneruskan pendidikannya ke jenjang S3, sesuatu yang kontraproduktif dengan cita-cita meningkatkan kualitas perguruan tinggi! Sudahkah hal ini diperhitungkan? 

Kedua, yang berkaitan dengan budaya menulis/mengarang. Diakui atau tidak, budaya menulis memang belum merata di kalangan mahasiswa, bahkan di kalangan dosen sekalipun. Sungguh menggembirakan kalau membaca karya tulis opini mahasiswa di beberapa media massa cetak. Mereka memanfaatkan media yang ada untuk mengekspresikan pendapatnya ke dalam karya yang bernas. Akan tetapi, lihatlah, yang menulis orangnya itu-itu saja dari waktu ke waktu. Kalau diamati, tidaklah banyak mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis seperti itu, apalagi untuk tulisan dengan kadar ilmiah terpercaya untuk jurnal ilmiah pula. Oleh karena itu, ke depan sangat diperlukan pembimbingan/pendampingan dalam hal menulis karya ilmiah yang layak dipublikasikan. Di sinilah peran dosen sebagai pendamping mahasiswa sangat dibutuhkan. Akan tetapi, pertanyaannya, sudahkah semua dosen kita familiar dalam menyusun karya ilmiah yang layak dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional? Untuk publikasi di tingkat nasional, apalagi internasional, tentu bukan perkara gampang seperti mengganti pakaian. Persoalan mutu karya adalah persoalan besar yang bisa membikin blunder!

Berangkat dari keadaan sebagaimana digambarkan di atas, maka penulis usulkan dua hal yang kiranya dapat dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan ke depan. Motivasinya adalah agar tak ada pihak yang dirugikan dan jumlah publikasi ilmiah pun bisa bertambah secara bertahap yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan tinggi. 

Pertama, untuk sementara, ada baiknya ditunda dulu pemberlakuan SE tersebut. Lebih layak publikasi ilmiah dimaksud hanya diwajibkan untuk para dosen yang sudah bersertifikasi. Kedua, saat surat edaran itu diberlakukan nantinya terhadap para mahasiswa S1,S2, dan S3, hendaknya dimulai secara bertahap. Pada tahap awal, perlu dilakukan pendampingan kepada para dosen untuk meningkatkan kemampuan membuat karya tulis ilmiah yang bernas dan layak publikasi nasional dan internasional. Selanjutnya, kemampuan itu ditularkan kepada para mahasiswa didiknya. Mahasiswa sejak awal perlu dipersiapkan untuk memahami dan menyusun publikasi ilmiah ini. Pemerataaan pertumbuhan jurnal ilmiah pun hendaklah didorong di semua perguruan tinggi. Insentif pendukung kegiatan riset dan menulis karya ilmiah seyogianya lebih mendapat perhatian. Tahapan di atas, menurut penulis, perlu dilakukan untuk memperkuat persiapan semua komponen yang terkait.

Semoga niat baik Dirjen Dikti ini untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dapat tercapai secara bertahap tanpa meninggalkan “korban”, baik di pihak mahasiswa maupun perguruan tinggi.
Read more ...

Untaian Kata Penggugah Semangat Menulis

I Ketut Suweca

Sahabat kompasianer, apa kabar? Semoga sehat dan tetap bergairah menuangkan ide-ide melalui artikel di media kompasiana tercinta. Jika sekiranya diantara sahabat perlu penyemangat menulis karena merasa mentok, macet, atau malas, simak dan resapilah untaian penggugah yang saya petik dari berbagai sumber, berikut ini.
***
“Kuatkan alasan yang menggerakkan hasrat untuk segera menulis. Dengan motivasi yang kuat, niat kita tak akan berkubang menjadi rencana belaka. Kita harus membentuk spirit yang mantap dan beraksi konkret jika ingin segera melahirkan karya.” (Alberthine Endah)
***
”Menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja ‘alamiah’, seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah satu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan, manusia terisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis.” (Radhar Panca Dahana)
***
“Aku memaksakan diriku untuk mulai menulis di saat aku sudah sangat lelah, ketika aku merasa jiwaku setipis kartu remi, ketika tidak ada sesuatu pun yang tampaknya pantas untuk dilakukan untuk lima menit berikutnya. Dan… kegiatan menulis itu ternyata dapat mengubah segalanya.” (Joyce Carol Oats)
***
“To be a writer, you must be curious about everything around you, feel more deeply and have more understanding of things than other people.” (Lin Yutang)
***
“Orang yang berbakat gagal melihat masalah sebagai hambatan. Sedangkan orang sukses melihat masalah sebagai tantangan yang membuat hidup lebih bergairah. Demikian pula dalam menulis.” (Mohammad Fauzil Adhim).
***
“Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” ( Pramoedya Ananta Toer).
***
“Membaca, membaca, membaca, jangan lupa membaca. Hidupkan, hidupkan, jangan lupa … menulislah, menulis, dan menulis …” (George Simenon).
***
Dalam bingkai semangat berbagi, untaian penggugah semangat ini saya hadirkan untuk para sahabat yang menyukai dunia tulis-menulis. Tiada lain maksudnya, agar gairah kita berkarya yang mungkin sempat redup, bersinar kembali.
Read more ...

Dua Ahli Bahasa di Sebuah Selokan

I Ketut Suweca

Saya beruntung mendapat kesempatan membaca buku “The Dancing Leader” (2011), terbitan Penerbit Buku Kompas. Di samping bisa menikmati pemikiran sejumlah ahli tentang kepemimpinan dan pembangunan ekonomi-pertanian, juga menyimak kumpulan cerita menarik dan bermanfaat di dalamnya. 

Kalau cerita itu melulu untuk saya nikmati sendiri, kayaknya nggak seru deh. Saya kutip satu dari puluhan cerita tersebut dan membagikannya untuk pembaca yang kebetulan belum sempat membaca buku itu. Judulnya: “Dua Ahli Bahasa di Sebuah Selokan.” Yuk kita mulai.

Dikisahkan, pada suatu hari seorang ahli bahasa terperosok ke dalam selokan yang cukup dalam. Dia tidak bisa keluar, kecuali dengan bantuan orang lain. Lalu, datanglah seorang petani dan berkata:
“Perlu bantuan?”
Sang ahli bahasa merasa tersinggung dengan bahasa orang itu yang terdengar kasar dan tidak mengindahkan tata bahasa yang baik dan benar.
“Ucapanmu itu bisa dimengerti kalau tadi kamu mengatakan, “Apakah kamu memerlukan bantuan, Tuan?” kata si ahli bahasa dari dalam selokan.
Kemudian datang lagi orang kedua dan berkata seperti orang yang pertama. Si ahli bahasa kembali marah-marah dan mengatakan lagi. “Ucapanmu baru bisa dimengerti kalau tadi kamu mengatakan, ‘Apakah kamu memerlukan bantuan, Tuan?’”

Begitu seterusnya sampai beberapa orang yang ingin menolongnya akhirnya membatalkan niatnya. Lantas, datanglah seseorang yang tampaknya juga seorang ahli bahasa. Orang itu berkata, ”Apakah kamu memerlukan bantuan, Profesor? Jika memerlukan, aku akan mengulurkan tangan kepadamu.”
Sang ahli bahasa yang terperosok di selokan senang bukan main. Dia mengulurkan tangan untuk memegang tangan sang penolong. Tetapi, tubuh sang penolong sangat lemah, hingga akhirnya mereka berdua terjungkal ke dalam selokan. Maka, jadilah dua orang ahli bahasa di sebuah selokan. 

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari cerita ini? Para cendekiawan sekarang sering disibukkan oleh sesuatu yang terlalu bergaya ilmiah dan tak peduli walau kadang penyelesaiaan persoalan yang dihadapi amat sederhana. Dalam cerita ini, yang diperlukan hanya mengulurkan tangan, tak perlu berteori tentang tata bahasa. Kekakuan sikap itu acapkali kurang pas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Read more ...