Intelektual Sejati, Siapakah Dia?

Oleh I Ketut Suweca

Saya hampir tuntas membaca buku karya Herien Priyono yang berjudul Mind Writing. Ada hal yang menarik yang dikemukakan Herien di dalam bukunya itu, di samping pemikiran utama yang dikemukakannya seputar penggalian ide untuk bahan penulisan dengan menerapkan konsep ‘5W +2H minus otak kritis’. Hal yang saya maksud menarik adalah mengenai pemaknaan interlegos. Dikatakannya, bahwa interlegos merupakan asal kata dari intelektual. Jadi, interlegos sama saja artinya dengan intelektual. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, et. al, 1996), intelektual diidentikkan dengan kaum intelek, kaum terpelajar. Sedangkan di dalam Kamus Bahasa Inggeris-Indonesia (John M.Echols, et. al, 1989), intellectual diartikan sama dengan cendekiawan, cerdik pandai.

Tiga Fondasi Intelektual
Lalu, siapakah intelektual itu? Di dalam buku Herien tadi dikatakan bahwa interlegos adalah sosok intelek yang memiliki tiga bangunan kuat yang membawahinya sebagai seorang yang cerdas, yakni paham dengan mendalam, prihatin sepenuh hati, dan tergerak ingin memperbaiki. Ditambahkannya, bahwa seorang intelektual atau cendekiawan sejati harus mempunyai ketiga fondasi pokok itu. Berangkat dari ketiga fondasi tersebut, kita akan membahasnya secara lebih detail dan intens di dalam artikel ini sesuai dengan pandangan penulis sendiri.
Pertama, paham secara mendalam. Kaum intelektual pada umumnya berpendidikan tinggi. Dengan pendidikannya itu ia memiliki kompetensi akademis pada tingkatan yang cukup untuk memahami persoalan atau masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Kalau di sekolah dasar dan menengah, dia dijejali berbagai pengetahuan oleh para gurunya untuk menambah wawasan/pengetahuannya, maka di perguruan tinggi, di samping ditambah ilmunya, ia juga diberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dalam menelaah segala persoalan yang terjadi secara kritis dan mandiri. Ia dilatih untuk menggunakan kecerdasan untuk menganalisa berbagai masalah. Ketajaman pisau critical thinking-nya ditumbuhkembangkan, misalnya bagaimana mendeskripsikan (describe) suatu permasalahan dengan baik, bagaimana menganalisa (analyse), membandingkan (compare), membuat sintesis (synthesise), serta melakukan evaluasi (evaluate) terhadap suatu permasalahan.
Ilmu pengetahuan yang diperolehnya tidak lagi semata-mata dari bangku kuliah. Ia juga menggali sendiri ilmu itu dari berbagai sumber secara otodidak. Penggalian itu tidak terbatas pada disiplin ilmunya, bahkan lebih luas lagi. Ia menggali ilmu pengetahuan dari berbagai media yang tersedia, seperti buku, majalah, surat kabar, juga internet dan forum diskusi/seminar. Dia berjuang agar memiliki jangkauan pemikiran yang luas dengan mengisi ruang pikirannya dengan berbagai pengetahuan yang berguna. Menggali sumur ilmu pengetahuan lebih dalam agar memperoleh air ilmu pengetahuan yang lebih dalam, itulah yang selalu diusahakannya. Juga, memperlebar sumurnya itu agar ia memahami juga ikhwal perkembangan pengetahuan di luar bidangnya. Dia benar-benar menerapkan konsep belajar seumur hidup seperti acapkali dinasehatkan oleh para bijak. Sang intelektual sejati tak pernah merasa puas untuk mengguyur pikirannya dengan air ilmu pengetahuan terbaru. Tak pernah terpikir olehnya untuk berhenti belajar hanya lantaran tidak menjadi mahasiswa lagi. Terus-menerus mengisi diri adalah prinsip hidupnya. Ia tak mau mandeg, tak mau stagnan. Dengan begitu, dia menjadi paham secara mendalam suatu persoalan di dalam bidangnya, di samping tahu pula perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidangnya. Tak hanya menjadi serorang spesialis, ia bahkan juga memiliki ciri-ciri seorang generalis.
Kedua, prihatin sepenuh hati. Seorang intelektual sejati tidak mejadikan dirinya eksklusif dan terangsing dari lingkungannya. Sebaliknya, dia selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Berbekal kebiasaannya untuk selalu mengasah dan mengisi diri, maka ia mampu melihat persoalan-persoalan pada berbagai aspek kehidupan dengan lebih lengkap dan tajam. Dia mampu mencerap persoalan-persoalannya yang terjadi di masyarakat, misalnya masalah ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum, dan sosial lainnya. Jika permasalahan itu menurut penilainnya sedemikian besar dampak negatifnya, maka tumbuh sikap prihatin pada dirinya. Keprihatinan ini mendorongnya untuk menggali lebih dalam lagi permasalahan itu. Tidak cukup dengan melihat fenomena-fenomena yang tampak di permukaan, dia juga melihat akar permasalahannya. Tidak hanya bertanya ‘apa’ yang terjadi, bahkan juga ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ sesuatu permasalahan itu muncul. Keprihatinannya ini muncul terdorong oleh kata hatinya bahwa telah terjadi permasalahan yang membuatnya prihatin. Sang intelektual mengambil sikap proaktif terhadap permasalahan yang ada sebagai bentuk tanggung jawab sosial (social responbility)-nya di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, tergerak ingin memperbaiki. Seperti dikemukakan tadi, permasalahan yang terjadi membuat sang intelektual prihatin. Akan tetapi, dia tak berhenti sampai di situ. Iapun tergerak untuk mengambil langkah-langkah untuk mencari solusinya. Mungkin ia perlu bantuan orang lain untuk bersama-sama membenahi suatu kondisi yang membuat dia dan masyarakat prihatin tadi. Mungkin pula dia memilih untuk berjuang sendiri melalui pemikiran-pemikirannya yang dipresentasikannya dalam berbagai forum atau media. Ia dapat memilih jalan mana saja. Yang pasti, dia tak mau tinggal diam dalam menyikapi permasalahan yang terjadi. Kepekaan dan rasa tanggung jawab sosialnya benar-benar terjaga dengan baik, dan karenanya ia cepat memberikan repons terhadap permasalahan yang dirasa mengganggu batinnya.
Upaya-upaya memperbaiki keadaan itu tumbuh sama sekali bukan didorong oleh keinginan mendapatkan popularitas atau mendapatkan penghargaan, misalnya. Popularitas atau penghargaan itu, kalaupun nantinya diberikan pihak lain, sama sekali bukan merupakan tujuan. Ia fokus ke arah bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah itu, ia selalu berpikir jauh ke depan, melihat dampaknya di masa datang. Juga, tidak sekadar menyelesaikan masalah dengan menutup asapnya, tapi dengan berupaya memadamkan apinya. Untuk itu, sang intelektual menuntut dirinya untuk menjadi seorang visioner, orang yang mampu melihat ke depan dengan visi yang jelas.
Masyarakat yang maju, cerdas dan beradab adalah cita-citanya. Di dalam sanubarinya tumbuh dan berkembang kehendak untuk memajukan bangsanya, sekaligus mengupayakan bangsanya dapat keluar dari berbagai persoalan yang menghadang. Tatkala dia dapat berkontribusi untuk lingkungan, daerah, bangsa, dan/atau negerinya, di situlah kepuasan batin diperolehnya. Sampai di sini mungkin kita tiba-tiba saja terkenang dengan kaum intelektual Indonesia di masa lalu, seperti Bung Karno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, dan beberapa yang lainnya. Juga, So Hok Gie, sang intelektual yang mati muda itu. Semoga kian banyak calon intelektual sejati yang lahir dari rahim sebuah negeri yang bernama Indonesia.

0 Response to "Intelektual Sejati, Siapakah Dia?"

Posting Komentar