BBM Nonsubsidi dan Moral Hazard

Oleh I Ketut Suweca

Wacana pembatasan BBM nonsubsidi kini mulai mengerucut. Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pelanksanaan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi mulai akhir Maret 2011. Awalnya, rencana ini akan diberlakukan per Januari 2011. Karena berbagai pertimbangan termasuk supaya mendapatkan waktu persiapan yang cukup, maka pelaksanaannya diundur.
Pada tahap pertama, semua kendaraan mobil ber-plat hitam (mobil pribadi) diharuskan memakai premium bersubsidi. Mobil pribadi tak boleh lagi disusui dengan BBM bersubsidi seperti sebelumnya. Selanjutnya, sampai dengan tahun 2013 aturan tersebut sudah berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Sebagaimana diberitakan sebuah harian nasional, alasan mendasar pemerintah untuk memberlakukan aturan ini adalah UU APBN 2011. Undang-undang itu mengamanatkan, volume BBM bersubsidi dibatasi sama dengan tahun 2010 yakni sekitar 38 juta kiloliter. Jika tanpa pengendalian, diperkirakan konsumsi BBM mencapai 42 juta kiloliter. Dengan pembatasan ini, pemerintah mengharapkan bisa menekan subsidi sebesar Rp.3,8 triliun pada tahun 2011. Sampai tahun 2013 diperkirakan mencapai Rp.20,7 triliun.
Alasan penghematan subsidi ini tentu saja dapat dipahami sebagai langkah untuk mengalihkan dana pemerintah untuk pembangunan yang lebih menjadi prioritas. Yang kita harapkan, diantaranya, diperbaikinya moda transportasi sehingga dapat menunjang kelancaran perekonomian rakyat. Kita juga mafhum, kalau langkah penghematan ini tidak dilakukan, maka semakin bertambahnya tahun semakin banyak pula dana yang tersedot untuk keperluan BBM bersubsidi. Agaknya, masyarakat Indonesia yang relatif lebih mampu secara ekonomi perlu secara bertahap diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk lebih mandiri. Sebaliknya, kepada masyarakat ekonomi lemah dan masyarakat miskin mendapatkan kesempatan untuk menikmati subsidi tersebut karena alasan kebutuhan real.
Penulis berpandangan, memilih mengenakan BBM nonsubsidi hanya pada kendaraan roda empat berplat hitam adalah pilihan yang paling rasional. Kalau opsi lain yang dipilih, seperti dengan melihat angka tahun keluaran kendaraan yang 2005 ke atas, dalam prakteknya akan sangat sulit. Apakah, misalnya, petugas SPBU mesti mengecek dulu STNK kendaraan pembeli sebelum mengisinya dengan minyak? Ketidakpraktisan ini akan menghambat program yang dilakukan. Dengan menentukan BBM nonsubsidi hanya untuk mobil plat hitam, maka pada setiap SPBU cukup disediakan satu-dua counter pengisian BBM khusus untuk melayani konsumen yang bermobil jenis ini. 

Yang Perlu Diperhatikan
Ada beberapa hal atau kemungkinan yang seyogianya dicermati pemerintah sebelum memberlakukan aturan ini. Hal ini penting, agar dapat diperkecil faktor penghambatnya sekaligus agar pelayanan kepada masyarakat konsumen dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pertama, sebagaimana ditentukan bahwa pertama-tama pelaksanaan BBM nonsubsidi akan diberlakukan di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Artinya, mereka yang bermobil plat hitam yang membeli BBM di wilayah itu tak lagi mendapatkan subsidi. Yang harus diwaspadai, bukan tidak mungkin sebagian masyarakat akan membeli BBM ke luar wilayah Jabodetabek dimana aturan dimaksud belum diberlakukan untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Bukankah tidak ada aturan yang melarang mereka membeli premium di luar wilayah?
Kedua, bukan tidak mungkin muncul perilaku ‘memborong’ BBM bersubsidi untuk ditimbun lalu dijual lagi. Dengan menggunakan mobil bukan plat hitam (kendaraan umum, misalnya), orang bisa saja tergerak melakukan pembelian demi pembelian BBM nonsubsidi untuk dijual kembali dengan harga lebih mahal tapi sedikit lebih murah dari BBM nonsubsidi. Disparitas harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi dapat menggoda orang melakukan hal ini. Juga, bukan tidak mungkin akan terjadi pembelian besar-besaran yang disertai penimbunan BBM bersubsidi 1-2 bulan menjelang diterapkannya aturan ini pada akhir Maret 2011 terutama pada wilayah Jabodetabek. Begitu selanjutnya pada daerah-daerah lainnya menjelang aturan tersebut diberlakukan. Oleh karenanya harus ada pola atau sistem pengawasan untuk menekan kemungkinan terjadinya tindakan tak bermoral (moral hazard) seperti ini.
Ketiga, kegiatan produktif pada masyarakat masih banyak yang menggunakan mobil plat hitam. Jika mereka menggunakan mobilnya untuk berproduksi, tentu akan berdampak pada peningkatan biaya (cost) produksi. Kemana lagi produsen suatu produk atau jasa akan mengalihkan biaya tambahan yang disebabkan meningkatnya harga premium itu kalau bukan ke faktor harga. Maka, harga barang produksi dan jasa akan kian melambung. Ini tentu saja membuat masyarakat kian terjepit. Konsumenlah yang pada akhirnya terkena dampatknya. Harga yang melangit mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Daya saing perekonomian Indonesia pun bisa melemah.
Keempat, ada kemungkinan para pemilik mobil plat hitam akan menjual mobilnya. Siapa yang dapat menjamin mereka bakal mempertahankan kendaraannya? Tidak ada, bukan? Mereka mungkin akan memilih menggunakan sepeda motor untuk keperluan transportasi. Karena kian banyak orang menjual kendaraannya, maka harga mobil bekas merosot tajam karena penawaran jauh di atas permintaan. Penjualan mobil keluaran baru untuk pribadi pun dapat ditengarai bakal merosot secara kuantitas sebagai akibat calon konsumen memperhitungkan faktor kemahalan BBM. Biaya yang akan mereka keluarkan jauh lebih besar daripada saat BBM masih disubsidi pemerintah.
Itulah kiranya yang harus diperhatikan oleh pemerintah sekaligus melakukan langkah antisipasi. Harus dipahami semua kibijakan baru, apalagi yang tidak populis, akan sangat berat diawalnya. Diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dengan menghitung setiap resiko atau akibat yang mungkin ditimbulkannya terutama yang terkait langsung dengan kemaslahatan hidup masyarakat luas. 

Untuk Kesejahteraan
Hanya saja pemerintah harus tetap konsisten untuk memanfaatkan penghematan dari subsidi itu untuk kesejahteraan masyarat. Diantaranya, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana transportasi. Juga, untuk diarahkan kepada masyarakat yang masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan yang benar-benar perlu dibantu agar bisa hidup lebih baik dan mandiri nantinya. Di samping itu, sebisa mungkin jangan sampai penghematan ini mengakibatkan masyarakat berkorban dan berkorban lagi lantaran kehilangan kesempatan meningkatkan produktivitasnya.
Semua pihak yang terkait dengan rencana ini memang sudah seharusnya bersinergi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Hal ini penting untuk mencapai hasil terbaik dalam pelaksanaannya di lapangan. Sosialisasi rencana ini tak kalah pentingnya agar masyarakat sebagai konsumen paham dan lebih siap menerima kebijakan ini tatkala diberlakukan.
Walaupun berat pada awalnya, mudah-mudahan kebijakan ini dapat berjalan dengan baik. Tak bisa dihindari, prinsip kaizen, yakni penyempurnaan sambil jalan dan secara bertahap, harus terus dilakukan. Tujuannya agar masyarakat dapat terlayani dengan sebaik-baiknya, kendati biaya yang mereka keluarkan lebih besar dibanding sebelumnya.

0 Response to "BBM Nonsubsidi dan Moral Hazard"

Posting Komentar