Remunerasi Bukan Single Track

Oleh I Ketut Suweca *)

Setelah peningkatan remunerasi di lingkungan Kementerian Keuangan RI dilaksanakan, kini giliran aparat di jajaran di lembaga kepolisian bakal didongkrak penghasilannya melalui tunjangan kinerja berdasarkan Perpres No.73/2010 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Polri yang dikeluarkan 15 Desember 2010. Tentu saja kita menyambut baik program remunerasi itu, dengan harapan lembaga-lembaga dimaksud bakal menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Akan tetapi, kita menjadi sedikit pesimis dengan remunerasi. Salah satu kasus di lingkungan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan membuktikan betapa perbaikan penghasilan tidak serta-merta berpengaruh terhadap berkurangnya perilaku korupsi. Orang yang berpanghasilan (lebih) besar tak menjamin akan meninggalkan mental koruptif. Gayus HP Tambunan, hanyalah salah satu contoh di samping banyak kasus sejenis di lembaga pemerintahan lainnya yang seringkali diberitakan media massa.
Problem Mentalitas
Penulis berpendapat, kasus-kasus korupsi terjadi sebagai problem mentalitas. Artinya, persoalan korupsi yang terjadi mesti dibedah dengan pendekatan psikologi. Orang korupsi, karena apa? Dorongan bergaya hidup mewah dan serba mudah telah membawa orang untuk mencari jalan untuk memenuhinya. Beragam keinginan lalu muncul dari berbagai stimulus eksternal. Ketika ada jalan, apalagi tanpa pengawasan yang memadai, orang lalu mengambil jalan yang keliru: melakukan korupsi. Tepatlah ucapan ahli politik Lord Acton, bahwa the power tend corrupt! Tambahannya: apalagi tanpa pengawasan, pasti korupsi.
Dalam konteks ini, ada dua jenis mentalitas. Pertama, ia yang bermental berkecukupan yang disertai rasa syukur. Manusia jenis ini tak akan neko-neko untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Dia lebih banyak mensyukuri apapun yang diperolehnya dari kehidupan dan usahanya. Orientasinya bukan melulu pada upah, gaji, dan hasil semata. Melainkan, ia lebih mengutamakan pengabdian yang tulus, selalu berusaha berbuat baik dengan mengerjakan tugas dan kewajibannya sebagai wujud tanggung jawabnya kepada bangsa dan negara. Kalau ada predikat untuknya, yang cocok adalah predikat pahlawan pembangunan.
Kedua, ia yang bermentalitas rakus. Orang semacam ini tidak akan pernah puas apa yang diperolehnya. Ia selalu menginginkan lebih dan lebih. Tak peduli bagaimana cara mendapatkan lebih itu, yang penting mereka selalu menginginkan bagian yang sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya. Ia akan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan (the end justifies the mean). Tak peduli dengan norma-norma yang ada, apalagi norma agama. Yang dihindarinya mungkin hanya hukum positif dengan segala macam sanksinya. Kalaupun harus terseret masalah hukum, dia tetap akan berjuang keras untuk keluar dari jeratan hukuman, bagaimanapun caranya.
Mentalitas rakus menjadi klop dengan mentalitas menerabas seperti pernah ditulis budayawan Koentjaraningrat. Ya, dengan mental menerabas ia bisa cepat dan langsung mendapatkan apapun yang diinginkan. Kalau dia kebetulan mencapai kedudukan strategis di birokrasi atau di lembaga lainnya, maka ia tak segan-segan memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi, mereka adalah penganut ‘ajaran’ aji mumpung yang setia.
Mentalitas orang semacam inilah yang menyebabkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, juga bakal mengantarkan bangsa ini ke dalam lembah kehancuran. Bagai belut, orang seperti ini licin sekali sehingga sulit ditangkap. Ia sangat lihai bersilat lidah, sangat lihai pula menyuap orang untuk tutup mulut agar lebih leluasa mengeruk kekayaan negeri. Di dalam sebuah negeri yang penegakan hukumnya masih carut-marut , sulit menentukan siapa sesungguhnya sang maling (baca: koruptor)-nya, mana pula yang bukan. Karena, maling seringkali berteriak maling. Alhasil, bisa jadi aparat salah tangkap.
Ada ungkapan yang menyatakan, sebenarnya sumber daya yang ada sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan semua, tapi sama sekali tak cukup untuk seorang manusia yang rakus. Kalau misalnya terdapat banyak orang Indonesia bermentalitas rakus, maka dapat dipastikan negeri ini berada di ambang kebangkrutan. Lalu, bagaimana pertanggungjawaban kita terhadap generasi mendatang?
Harapan dari Remunerasi
Masih beruntung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menabuh genderang perang terhadap korupsi. Lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab mengawasi dan menindak koruptor sudah diperkuat. Air segar nan jernih telah dituangkan ke dalam wadahnya. Akankah berhasil? Perjalanan pemberantasan korupsi masih panjang, terjal, dan berbatu. Mari kita lihat dan dukung perjuangan ini.
Dengan remunerasi, kita berharap bakal banyak terjadi perubahan ke arah positif. Pertama, penghasilan para pegawai pemerintah (birokrasi) yang mendapatkan peningkatan remunerasi akan lebih layak atau memadai. Kedua, tumbuhnya pelayanan publik yang lebih baik sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah atas uang rakyat yang dipergunakan. Ketiga, tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang belakangan ini turun drastis. Keempat, menurunnya angka korupsi sehingga lambat laun dapat mendongkrak prestise Indonesia di mata dunia menjadi salah satu negara yang lebih bersih.
Semoga masih ada kekuatan dari dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan kekuatan eksternal yang dapat mendorong tercapainya keempat hal itu. Semoga para pemimpin negeri ini masih banyak yang bersedia menjadi teladan yang baik, yang ucapannya selaras dengan tindakannya. Semoga tugas pengawasan kian digiatkan dengan pengenaan sanksi tak pandang bulu bagi yang bersalah. Peluang terjadinya moral hazard sudah saatnya ditutup rapat-rapat. Mari kita mencoba optimis seraya berdoa kepada Tuhan yang Mahaadil agar cita-cita mulia ini dapat terwujud tanpa, lagi-lagi, harus mengorbankan rakyat. Kita tahu, tak ada yang salah dengan remunerasi. Tapi, remunerasi tidak boleh diandalkan sebagai single-track untuk menghapus korupsi.

0 Response to "Remunerasi Bukan Single Track"

Posting Komentar