OTONOMI DAERAH DAN PROBLEMATIKANYA

Oleh :
I Ketut Suweca
Ngakan Made Anom Wiryasa
Dewa Putu Gede Sugupta
A.A. Oka Putra Wardana
I Nyoman Suartha

1. PENDAHULUAN

Otonomi daerah yang dalam istilah tata negara dikenal dengan desentralisasi mempunyai dimensi politik, sosial, ekonomi dan administrasi. Secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi. Dengan desentralisasi, pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakan social capital dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Dengan pranata yang telah internalized, mekanisme penyelesaian diyakini lebih efektif, efisien dan adil. Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegah eksploitasi Pusat terhadap Daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Secara administratif akan mampu meningkatkan kemampuan Daerah dalam melakukan perencanaan, pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik.
Menurut Basri (2002), di Indonesia masalah otonomi daerah sudah lama diidam-idamkan, bahkan sejak dimulainya negara. Namun, pelaksanaannya masih tanggung bahkan nyaris tak terjadi. Hal ini terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Orde Baru. Pada masa-masa akhir tahun 1990-an pemerintahan sistim sentralisasi menampakkan kesenjangan di segala bidang. Kemudian, setelah Orde Baru berakhir niat otonomi daerah mendapat angin segar. Otonomi daerah dimulai dengan keluarnya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan berlanjut kemudian dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Apakah dengan keluarnya undang-undang ini Indonesia telah melaksanakan desentralisasi pemerintahan dengan mulus? Apa esensi otonomi daerah itu, pokok-pokok pikiran apa yang menjadi kandungan UU tersebut baik dari segi pemerintahan dan keuangan. Problem-problem apa yang dihadapi sehingga pelaksanaan otonomi daerah tidak berlangsung sebagaimana diamanatkan oleh reformasi. Tulisan ini akan mencoba mengulas secara singkat persoalan-persoalan yang telah disebutkan berdasarkan sumber-sumber ilmiah dan isu-isu yang muncul.

2. PEMBAHASAN

2.1 Beberapa Deskripsi Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana pun juga, otonomi merupakan kebutuhan, karena tidak mungkin seluruh persoalan yang ada di satu negara ditangani oleh pemerintah pusat. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari wilayah yang dipisahkan oleh perairan. Masing-masing wilayah memiliki ciri khas berdasarkan letak geografis, kondisi alam dan sosiokulturalnya. Lahirnya UU ini ditandai oleh semaraknya reformasi di segala bidang. Tujuannya memang ideal sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU 32/2004 yaitu untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui undang-undang ini daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan , keadilan serta potensi daerah.

2.2 Pokok-pokok Pikiran Otonomi Daerah
Ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua proposisi (Penni Chalid, 2005). Pertama, pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkan persoalan, kecuali untuk persoalan-persoalan yang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa. Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harus diserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah. Yang pertama disebut sebagai pendekatan federalistik, sedangkan yang kedua sebagai pendekatan unitaristik.

2.3 Prinsip Dasar Otonomi Daerah
Asumsi dasar desentralisasi adalah membangun sistem pemerintahan yang berdasarkan pada kemauan politik (political will) untuk menyerahkan pengelolaan daerah kepada pemerintah lokal atau daerah yang lebih memahami persoalan-persoalan, kebutuhan dan karakter masyarakat yang berada di daerah tersebut. Upaya mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat yang dengan demikian menghasilkan kebijakan-kebijakan pro-rakyat merupakan tujuan dari sistem desentralisasi. Selain itu, pelaksanaan desentralisasi juga merupakan prasyarat yang dibutuhkan untuk menyiapkan daerah-daerah agar dapat berkompetisi di pasar global.
Sebagaimana dimuat dalam penjelasan UU No.32/2004, bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan pemerintah yang ditetapkan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2.4 Otonomi Daerah sebagai Reformasi Sistem
Otonomi daerah berpijak pada prinsip-prinsip federalisme. Federalisme dapat dipahami sebagai mekanisme berbagi kekuasaan secara konstitusional di mana kombinasi dari berpemerintahan sendiri dan berbagi kekuasaan dijamin dalam konstitusi tersebut. Dalam sistem federalistik, unit-unit politik memiliki otonomi secara utuh, baik yang menyangkut wewenang eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif. Undang-undang No. 32/2004 menyerahkan fungsi, personil, dan aset dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Hal ini berarti bahwa tambahan kekuasaan dan tanggung jawab diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, dan membentuk sistem yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan koadministratif. Sistem dekonsentrasi adalah delegasi kewenangan dari pemerintah pusat kepada gubernur sebuah provinsi dan atau pejabat pemerintah pusat di provinsi. Sedangkan koadministrasi adalah sistem yang memberi wewenang pada pemerintahan yang strukturnya berada di atas, mengarahkan bawahannya untuk mengambil alih tugas dan fungsi pemerintah di tingkat yang lebih atas.
Jalan yang terbaik untuk meminimalisasi persoalan yang bertumpuk di pusat adalah reformasi sistem. Sejak diberlakukannya UU No. 22/1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32/2004 Indonesia memasuki tahapan baru kepemerintahan. Desentralisasi dan otonomi diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk berbagai persoalan yang ada di daerah. Asumsi dasar desentralisasi yaitu mendekatkan pelayanan dengan rakyat. Dengan sistem desentralisasi, pelayanan publik menjadi mudah direalisasikan mengingat adanya kedekatan antara penyedia layanan dan pengguna layanan. Terlebih lagi mengingat bentuk negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang sulit dijangkau dan setiap wilayah memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi merupakan reaksi atas gagalnya pembangunan sebagai ideologi dan acuan dasar oleh pemerintah Orde Baru yang sentralistik. Kerapuhan ekonomi yang terutama dirasakan akibatnya oleh sebagian besar rakyat Indonesia pada saat krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997.

2.5 Otonomi Daerah untuk Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Lokal
Pengembangan wilayah pada hakikatnya adalah pengembangan di daerah yang bersifat menyeluruh. Artinya, pembangunan tidak hanya menyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi yang lebih prinsip adalah upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar dapat mengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak. Persoalan kemiskinan dan ketertinggalan bukan merupakan satu-satunya masalah yang dihadapi dalam upaya pelaksanaan pengembangan wilayah. Partisipasi masyarakat dalam hal ini menjadi penting karena perubahan sistem yang sangat mendasar, yaitu dari sentralistik ke desentralisasi. Tetapi, permasalahannya adalah partisipasi merupakan hal baru dan asing bagi masyarakat, terutama bagi unit masyarakat terkecil di tingkat desa. Hampir tidak dapat dibayangkan bagaimana masyarakat desa berpartisipasi dalam pembangunan seperti misalnya merencanakan pembangunan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat (Suparmoko, 2002).

2.6 Kebijakan Fiskal Masa Otonomi Daerah
Dalam lingkup UU No. 32/2004 inti otonomi daerah meliputi dua hal. Pertama, pemberian kewenangan, dan bukan sekedar pendistribusian urusan seperti pada UU No. 5 tahun 1974. Kedua, sekaligus pemberian tanggung jawab. Daerah juga bertanggung jawab membina dan melayani masyarakat. Dalam UU No. 32/2004, seluruh fungsi pelayanan publik, kecuali pertahanan, hubungan luar negeri, kebijakan moneter dan perdagangan, serta sistem hukum akan didesentralisasikan pada tingkat kabupaten. Propinsi sebagai tingkat pemerintahan yang lebih tinggi tidak diberikan tanggung jawab yang besar, kecuali melakukan kebijakan yang lebih bersifat koordinasi dari kebijakan pemerintah di tingkat kabupaten.
Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan, pemerintah daerah memerlukan sumber fiskal. UU No. 33/2004 menyatakan bahwa untuk tujuan tersebut pemerintah daerah harus memiliki kekuatan untuk menarik pungutan dan pajak, dan pemerintah pusat harus mentransfer sebagian pendapatan dan atau membagi sebagian pendapatan pajaknya dengan pemerintah daerah. Sumber pajak utama pemerintah propinsi berasal dari pajak kendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor, yang dapat dipandang sebagai variasi pajak kekayaan dan properti. Jenis pajak daerah yang dapat diusahakan oleh pemerintah kabupaten dan kota terbatas pada tujuh jenis: pajak hotel dan restoran, pajak iklan, pajak atas bahan bangunan, pajak penggunaan air, pajak hiburan, pajak IMB, dan retribusi lain-lain. Pemerintah daerah tidak akan diperkenankan untuk meningkatkan pendapatan daerah lewat pajak selain pajak yang disebutkan di atas.


2.7. Sumber Penerimaan Daerah
Beberapa sumber penerimaan untuk membiayai pembangunan sesuai dengan pasal 5 UU No. 33/2004, meliputi: Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan.

Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam menggali pendanaan dalam paleksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana peimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta antar daerah. Ketiga komponen dana perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.

a. Dana Bagi Hasil
Pendapatan pemerintah pusat dari ekploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota dan kabupaten. Penerimaan negera yang dibagihasilkan terdiri dari:
a. Penerimaan Pajak, meliputi: PBB, BPHTB dan PPh Orang Pribadi
b. Penerimaan Bukan Pajak (SDA), meliputi: sektor kehutanan, sektor pertambangan, umum, sektor minyak bumi dan gas alam, serta sektor perikanan

b. Dana Alokasi Umum
Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus Subsidi Daerah Otonomi dan Dana Inpres yang diperkenalkan era Soeharto. DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas yang kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya.dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda di Indonesia. Undang-undang No. 33/2004 pasal 27 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyangkut paling sedikit 26% dari Penerimaan Dalam Negerinya dalam bentuk DAU.
Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagai berikut (Penni Chalid, 2005):
a. Satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.
b. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
c. Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah.

c. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi;
3. Kebutuhan prasaran dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai;
4. Kebutuhan prasaran dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
Persyaratan untuk memperoleh DAK sebagai berikut:
1. Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.
2. Daerah menyediakan dana pendamping sekurng-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK dari Dana Reboisasi).
3. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri Teknis/Instansi terkait.


2.8 Persoalan Pelaksanaan Kebijakan Fiskal

Ternyata dalam pelakasanaannya kebijakan fiskal masih menemui persoalan, diantaranya seperti:

a. Desentralisasi Fiskal. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal seharusnya ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak, terutama untuk pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa komitmen dan kemampuan daerah dalam pengurangan kemiskinan sangatlah lemah, terbukti masih saja terdapat ribuan kaum miskin di Indonesia.

b. Manajemen Keuangan di Daerah. Aset-aset milik pusat yang berada di daerah kerap kali menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaannya. Perusahaan-perusahaan negara seperti BUMN atau BUMD kebanyakan adalah milik pemerintah pusat dan provinsi. Otonomi kemudian diartikan dengan peningkatan PAD dengan cara mengerahkan, menggalakkan dan intensifikasi sumber-sumber peneriman daerah. Akhirnya, perusahaan-perusahaan milik pemerintah pusat yang berada di daerah menjadi sumber konflik, karena pemerintah daerah merasa berhak atas pendapatan yang diperoleh perusahaan milik negara tersebut, sedangkan pemerintah pusat cenderung mempertahankan perusahaan negara dan fasilitas negara karena membiayai operasional perusahaan.

c. Perilaku Budgeting. Budgeting di masa lalu didominasi oleh asumsi dinas-dinas bahwa pendanaan telah diplot oleh pemerintah pusat untuk masing-masing daerah, sehingga pemerintah daerah tidak perlu mengajukan usulan pembangunan kepada pemerintah pusat. Dalam prakteknya, pola seperti ini memunculkan berbagai kasus proyek fiktif, atau proyek-proyek yang tujuannya hanyalah untuk menghabiskan anggaran. Yang menjadi pertimbangan para birokrat pada waktu itu tidak terlepas dari upaya bagaimana menyerap anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebesar-besarnya. Pola-pola pendanaan yang sentralistik seperti ini telah melekat pada cara berpikir para birokrat di daerah yang mempengaruhi sistem, mekanisme dan prosedur pembangunan.

2.9. Problematika dalam Otonomi Daerah

Implementasi otonomi dalam prosesnya telah membawa implikasi yang luas dalam bentuk pergeseran tatanan sosial, politik dan ekonomi yang berpotensi memunculkan konflik kewenangan antar lembaga dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari bangunan sentralistik selama Orde Baru yang belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Di samping itu, institusi yang terkait dengan fungsi pemerintahan di tingkat lokal; eksekutif dan legislatif belum memiliki pengalaman yang cukup untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Beberapa bentuk problem yang menonjol terjadi adalah sebagai berikut:

a. Problem hubungan Pemerintah Pusat – Provinsi – Kabupaten. Titik tekan otonomi daerah pada daerah di tingkat II bukan di tingkat I berkonsekuensi mengurangi otoritas provinsi terhadap kabupaten. Kabupaten tidak lagi menjadi sub-struktur atau bagian dari provinsi. Hubungan antara keduanya tidak lagi bersifat hirarkis, tapi lebih kepada hubungan kemitraan antar organisasi. Gubernur tidak lagi dapat memberikan instruksi kepada bupati/walikota, karena bupat/wali kota tidak lagi berhubungan dengan Gubernur menurut garis instruksional. Hubungan antara gubernur dan bupati/wali Kota bersifat koordinatif.

b. Problem Kekuasaan DPRD – Pemerintah Daerah. Satu diantara bentuk konflik antarlembaga yang terjadi dalam era otonomi daerah adalah konflik antara eksekutif dan legislatif. UU 32/2004 telah mengembalikan fungsi, peran dan kewenangan DPRD sesungguhnya sebagai lembaga yang sejajar dengan eksekutif, bertugas mengawasi dan mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah. Apabila merujuk pada pasal 45 UU 32/2004 ayat (b) dan (c) secara eksplisit menjelaskan bahwa DPRD, baik provinsi maupun kabupaten, berkewajiban “melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah” dan berkewajiban “memperjuangkan kesejahteraan rakyat di daerah”, maka perilaku elit politik yang terhimpun dalam lembaga DPRD tampak jelas belum sepenuhnya mencerminkan isi undang-undang dan semangat otonomi daerah dan menerapkan politik aji mumpung. Sehingga, apa yang terjadi adalah sebuah konspirasi untuk mengeksploitasi sumberdaya ekonomi yang didapat dengan cara yang legal untuk memenuhi kepentingan pribadi. Dengan demikian otonomi sama saja dengan memindahkan perilaku korupsi dari pusat ke daerah.

c. Problem Anggaran. Proses konflik telah mulai terjadi dalam bentuk benturan antara keinginan masyarakat dan kepentingan elit. Pada tingkat yang lebih tinggi, ketika RAPBD akan ditetapkan menjadi APBD melalui rakorbang yang melibatkan eksekutif, dimana perhitungan biaya yang akan dialokasikan, maka peran masyarakat akan lebih kecil. Peran elit yang diwakili oleh anggota DPRD dan eksekutif lebih dominan pada tingkat ini. Disinilah akan terbuka peluang yang besar antara elit politik dan pemerintah untuk mengadakan kontrak-kontrak politik yang bias kekuasaan dan menyimpang dari tujuan anggaran itu sendiri. Partisipasi masyarakat pada akhirnya, hanya merupakan bentuk manipulasi elit lokal dan eksekutif (pemerintah daerah) untuk melegitimasi penetapan anggaran yang bias kekuasaan. Dengan demikian, paradigma ‘money follows function’ berubah arah menjadi ‘function follow money’.

d. Problem Sumber Pendapatan Daerah. Otonomi daerah telah memberikan kepada daerah, provinsi dan kabupaten/kota, kewengan untuk memenuhi pendapatannya secara mandiri dari sumber-sumber potensial di wilayahnya. Berdasarkan UU 33/2004 bahwa sumber penerimaan daerah (pasal 3) dalam melaksanakan desentralisasi bersumber dari: (1) hasil pajak Daerah; (2) hasil retribusi Daerah; (3) hasil perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang sah dan; (4) lain-lain hasil pendapatan Daerah yang sah. Sumber pendapatan Asli Daerah seperti yang diatur dalam pasal 4 tidak berbeda dengan sumber penerimaan daerah. Isi UU 33/2004 tidak membedakan sumber penerimaan dan pendapatan daerah antara provinsi dan kabupaten/kota.

e. Problem Pemekaran Wilayah. Undang-undang No 32/2004 telah mengatur bahwa pemekaran lebih dari satu wilayah memang dimungkinkan untuk dilakukan dengan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, sosial politik, sosial budaya, luas daerah, dan pertimbangan-perimbangan lain yang memungkinkan otonomi dapat dilaksanakan. Adanya peluang untuk membentuk daerah otonomi baru, disambut dengan baik oleh daerah-daerah untuk memekarkan dirinya dari daerah induk. Setiap pemekaran akan membawa implikasi-implikasi yang luas sebagai bentuk konsekuensi logis, seperti perubahan struktur pemerintahan, anggaran belanja pemerintah, batas dan nama wilayah, pembagian sumber penerimaan dan pendapatan daerah yang sebelumnya menginduk kepada daerah asal. Perubahan-perubahan tersebut, meski secara de jure telah diatur berdasarkan undang-undang, dalam praktiknya tidak semudah membalikkan tangan.

f. Problem Primordialisme Daerah.
a. ‘Putra Daerah’: Sentimen Daerah. Satu hal yang mencuat setelah reformasi politik dan lebih khusus setelah dilaksanakannya otonomi daerah, yaitu menguatnya ego kedaerahan.
b. Konflik Penduduk Asli dan Pendatang: Perebutan Lahan. Konflik antara penduduk asli dan penduduk pendatang apabila ditelusuri lebih jauh akan bermuara pada ketimpangan sosial ekonomi. Sentimen priomordial, seperti etnis hanyalah merupakan media konflik bukan sebagai sumber konflik itu sendiri. Proses integrasi antara penduduk asli dengan penduduk pendatang awalnya terkendala pola sosialisasi yang ekslusif. Ketimpangan secara sosial dan ekonomi pada akhirnya membuat proses integrasi semakin sulit, sehingga berpotensi memicu konflik horisontal.


3. KESIMPULAN

Dari uraian singkat terhadap UU No. 32/2004 dan UU No.33/2004 di atas serta dengan memperhatikan kenyataan yang sedang berlangsung di masyarakat, beberapa point penting dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Anggaran merupakan komponen penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah anggaran partisipatif. Dalam praktiknya, keinginan masyarakat akan seringkali bertabrakkan dengan kepentingan elit, sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada keinginan masyarakat.
2. Sumber pendapatan dan pengelolaan aset daerah menjadi salah satu sumber konflik dalam otonomi daerah. Pemahaman yang lebih berorientasi ke dalam daripada mengedepankan sikap koordinatif dan sinergis antar daerah dalam mengelola sumber pendapatan dan aset di daerah terutama yang berada di perbatasan, menyebabkan konflik yang kontra produktif.
3. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya, dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan, seperti “putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
4. Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah untuk semakin menjauh dari induknya yang sebelumnya menyatu.
5. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horisontal yang bernuansa etnis.
6. Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Langkah-langkah desentralisasi belumlah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal H, 2002, Perekonomian Indonesia – Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah-Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Decentrali-zation and Regional Autonomy, Partnership for Governance Reform, Perpustakaan Nasional RI, Jakarta

Pilliang, Indra J. et. al. 2003. Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia

Sudarsono H., 2004, Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Berita IPTEK, November 3, 2004

Suparmoka, M., 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Andi Offset, Yogyakarta.

Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Sinar Grafika, Agustus 1999.

Undang-Undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Beserta Penjelasannya, Permata Press, 2007.

0 Response to "OTONOMI DAERAH DAN PROBLEMATIKANYA"

Posting Komentar