Fenomena Copy-paste vs Budaya Menulis

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si


Rupanya cukup banyak kendala yang muncul tatkala sedang digalakkannya minat membaca dan menulis para pelajar. Belakangan ini ada kecenderungan para siswa melakukan pembuatan karya tulis dengan jalan mudah yakni dengan mengunduh (men-download) content dari internet melalui website yang berkenaan dengan topik yang dicari, lalu mengcopy-paste-nya ke file word. Dengan sedikit perubahan sistematika yang disesuaikan dengan kebutuhan, jadilah karya tulis itu. Setelah itu, karya tulis yang di kalangan siswa dikenal dengan nama ‘paper’ itupun kemudian diserahkan kepada guru yang menugaskannya. Ironisnya, karya tulis tersebut seringkali tidak diserta sumber atau alamat dari mana tulisan itu diunduh. Demikianlah fenomena copy-paste alias plagiat yang terjadi belakangan ini.
Mengapa copy-paste ini terjadi? Salah satunya adalah karena adanya keinginan untuk menyelasaikan tugas menulis/mengarang dengan cepat dan mudah. Salah satu dalihnya adalah karena banyaknya tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan para guru kepada mereka. Lagi pula, dalam pikiran siswa, toh karya tulis itu tidak akan dibaca dengan serius oleh para guru karena keterbatasan waktu dan kesibukannya. Yang penting ngumpul, demikian mungkin pikiran siswa kita . Alasan lain, mungkin mereka dilanda kemalasan dalam menulis sendiri paper itu apalagi menulis dipandang bukan pekerjaan gampang. Satu-satunya cara yang paling mungkin, dipilihlah meng-copy-paste karya orang lain melalui internet.
Kalau keadaan ini dibiarkan berlangsung terus-menerus, dikhawatirkan akan mengubur dalam-dalam niat untuk meningkatkan budaya baca dan tulis para siswa kita. Kini banyak pihak yang mengeluhkan tentang kondisi minat baca dan tulis para pelajar di tengah-tengah usaha yang sedang dan sudah dilakukan untuk meningkatkan minat baca-tulis itu, baik oleh lembaga pemerintah maupun oleh masyarakat. Kalau kondisi copy-paste ini terus berlangsung, tentu hal ini akan kontradiktif dengan usaha membangun budaya baca-tulis generasi muda bangsa ini. Lebih jauh lagi, hal ini sangat bertentangan dengan upaya mencerdaskankan bangsa. Bukankah ciri bangsa yang maju dan cerdas adalah bangsa yang menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai bagian dari budaya hidup masyarakatnya?

Apa solusi yang bisa dilakukan? Pertama, kepada para siswa sebaiknya diberikat pedoman/etika pengutipan karya tulis orang lain, misalnya dengan senantisa menyebut nama dan alamat website yang diunduh. Pernik-pernik seputar tata cara dan etika pengutipan sebaiknya dijelaskan dengan gamblang sehingga mereka tidak mengalami kesalahan dalam penyusunan karya tulis dan dalam penyebutan sumber pustakanya.
Kedua, memberikan atau melibatkan siswa dalam latihan menulis/mengarang agar mereka dapat mengungkapkan ide-idenya dengan lebih baik ke dalam karya tulis. Di samping teori, parktek menulis di sekolah dan di luar sekolah akan membantu siswa dalam mengorganisasikan buah pikirannya sehingga dapat memenuhi syarat-syarat penulisan yang baik. Tanpa pelatihan seperti itu, jangan berharap para siswa akan mampu menulis dengan baik, apalagi tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Ketiga, kepada para siswa dibiasakan mempresentasikan karya tulisnya itu di depan kelas. Dengan cara ini, mereka mau tak mau akan mempelajari isi paper yang dibuatnya dengan serius. Dengan meminta para siswa menjelaskan isi karyanya dapat dipastikan karya tulis yang dibuat itu benar-benar dibaca dan dikuasai isinya. Ini berarti menambah wawasan siswa dan membina kebiasaannya membaca, sebuah awal yang baik menuju dunia tulis-menulis.
Keempat, siswa perlu didorong untuk berpikir kreatif dan inovatif. Artinya, dalam menulis, mereka mampu mengelaborasi isi karyanya sedemikian rupa sehingga mencerminkan hasil kreativitas dan pemikiran alternatif. Dengan demikian, siswa tidak sekedar meng-copy-paste apa yang ada di internet, tapi memanfaatkan bahan tulisan dari internet itu hanya sebagai pelengkap. Isi utama tulisan adalah ide penulisnya sendiri. Dengan kata lain, bukan apa yang dicopy-paste itu yang menjadi ide utama, melainkan sekadar berfungsi sebagai kutipan yang melengkapi sebuah tulisan. Jadi, harus ditumbuhkan semangat untuk menyajikan sesuatu yang baru, sesuatu yang lain, karena disitulah kualitas dan orisinalitas sebuah karya terletak.
Kelima, menjelaskan kepada para siswa betapa pentingnya kemampuan menulis atau mengarang itu kelak setelah mereka mulai bekerja atau menempuh studi lanjut. Dalam penyusunan proposal suatu proyek atau menulis surat-surat administrasi perusahaan, misalnya, tentu sangat dibutuhkan kemampuan menuangkan gagasan ke atas kertas. Demikian pula saat studi di perguruan tinggi, kemampuan menulis sangat dibutuhkan.
Keenam, mesti ditumbuhkan rasa malu kalau siswa mengcopy-paste tulisan orang lain sebagai karya sendiri, juga merasa malu kalau sesuatu yang dihasilkan tidak mengandung nilai kebaruan sebagai hasil kreativitas siswa sendiri.
Ketujuh, perlu secara periodik mengkutsertakan para siswa dalam lomba-lomba menulis/mengarang antarsiswa untuk mengasah kemampuan menulis mereka, baik yang diselenggarakan sendiri oleh sekolah ataupun oleh lembaga eksternal lainnya.
Untuk mengurangi fenomena copy-paste yang belakangan ini sudah menjadi trend sekaligus mendorong peningkatan budaya menulis di kalangan pelajar, banyak pihak yang dapat berperan. Diantaranya, pihak sekolah/guru, keluarga, lembaga pemerintah terkait dan pihak swasta/masyarakat yang peduli dengan hal ini. Selebihnya, dan ini yang terpenting, guru di sekolah hendaklah menjadi panutan yang baik bagi para siswa dalam hal tulis-menulis.

*) Artikel ini telah dimuat di Harian Bali Express, Senin, 30 Agustus 2010, hal. 4

2 Response to "Fenomena Copy-paste vs Budaya Menulis"

  1. Athur Alam 16 September 2010 pukul 01.22
    Budaya Copy-Paste sepertinya memang sudah cukup kronis di negeri ini.. Kenapa saya berasumsi seperti itu? karena saya yakin bangsa ini termasuk bangsa yang latah.. artinya ketika sesuatu hal dianggap bagus, dianggap lebih menarik, dianggap lebih menjual, dianggap lebih berbobot, dianggap lebih lebih positif dst, maka biasanya itu akan memancing untuk adanya peniruan oleh orang2 yang malas berusaha dan ingin serba instant..

    Dalam hal menulis, lihatlah berapa banyak penulis kita (misalnya penulis blog) yang mengandalkan tulisan dari sumber lain untuk konten dalam blognya... Alasannya selalu klise, yaitu "blog saya kan buat seneng2 aja.. ya terserah saya dong..", atau "ini blog saya.. isinya suka2 saya dong.." hhhmmm....

    Sepanjang orang2 ini masih memandang etika itu penting, maka itu tak jadi soal. Misalkan dengan selalu mencantumkan asal / sumber awal tulisan yang dimuat atau dikutip. Parahnya jika sumber aslinya tak dicantumkan sehingga berharap pembaca akan menganggapnya sebagai karya yang orisinil... hhmmmm...

    Jadi solusinya? nantinya kita bahas lai di warung kopi sambil minum teh ya Pak...
  2. Ekonomist 19 September 2010 pukul 07.39
    Ya deh. Kira-kira ada kaitan nggak ya dengan 'mental menerabas' seperti dibilang Koencaraningrat?

Posting Komentar