Modal Sosial dan Sistem Broker: Pembentukan Ikatan Hutang di India Selatan

Critical Review : I Ketut Suweca

I. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sebuah critical review terhadap tulisan yang berjudul “Social capital and the brokerage system: the formation of debt bondage in South India”. Penulis artikel tersebut ada tiga orang, yakni Augendra Bhukuth, Jerome Ballet dan Isabelle Guerin. Mereka melakukan penelitian di negara bagian Tamil Nadu, India Selatan, pada industri bata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan wawancara yang bersifat informal. Wawancara dilakukan terhadap 10 orang majikan dan manajer serta 10 orang broker pada industri bata. Penelitian tersebut bertujuan untuk memahami sistem broker dan hubungannya dengan buruh, cara perekrutan buruh dan bagaimana para buruh tersebut diberi panjar, sehingga dapat ditangkap bagaimana modal sosial tersebut dibentuk. Penekanan artikel karya ketiga ilmuwan Perancis tersebut terletak pada hubungan broker dengan buruh dalam ikatan hutang.

II. Ringkasan Isi : Modal Sosial, Broker dan Buruh
Pembicaraan mengenai modal sosial (social capital) belum lama berkembang. Tidak ada definisi yang jelas mengenai modal sosial. Modal sosial dipelajari pada semua cabang –cabang ilmu sosial, seperi sosiologi dan ekonomi. Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai nilai dari kewajiban sosial atau hubungan yang dibentuk melalui jaringan sosial. Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial memfasilitasi tindakan individu atau kelompok di dalam struktur sosial. Oleh karena itu, keberadaan seseorang dalam jaringan sosial tidak serta-merta menghasilkan modal sosial. Putnam (1993) mengatakan bahwa model sosial dibentuk dari norma-norma dan jaringan-jaringan yang memfasilitasi kepercayaan, kerjasama dan tindakan kolektif. Durlauf dan Fafchamps (2004) dalam penelitiannya tentang modal sosial, menyebutkan tiga aspek modal sosial, yaitu: 1). modal sosial menimbulkan eksternalitas positif bagi para anggota kelompok; 2). eksternalitas itu dicapai melalui saling percaya, norma-norma dan nilai-nilai; 3). kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai itu muncul dari organisasi informal.
Dalam kaitannya dengan modal sosial yang terbentuk dalam industri bata di India Selatan, khususnya antara broker dan buruh, dapat ditelusuri dari pola rekrutmen buruh. Buruh pabrik bata di daerah penelitian ini adalah mereka yang pada umumnya miskin, tidak punya tanah, dan oleh karenanya mereka menjual tenaga untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka menjadi buruh industri bata berkat bantuan broker yang menjadi penghubung antara majikan/manajer yang membutuhkan tenaga kerja dengan para buruh. Para broker tidak kesulitan mencari buruh, karena mereka menggunakan kemampuan finansial (financial power)-nya untuk menarik para buruh. Oleh karena para buruh pada umumnya tidak punya uang, maka para brokerpun memberikan panjar (hutang) tanpa bunga untuk mereka yang harus dibayar secara kredit saat mulai mendapatkan gaji di industri bata. Hubungan ini disebut dengan sistem hali kuno(Breman,1985): hubungan ketergantungan bukan antara majikan dengan buruh, melainkan antara broker dengan buruh.
Lalu, apa saja yang dipertimbangkan broker dalam memberikan pinjaman panjar kepada buruh? Ada tiga pertimbangan dalam pemberian panjar tersebut, yakni 1). Faktor hubungan, jika buruh dekat dengan broker, maka dia akan dapat memperoleh jumlah yang besar sebagai panjar; 2). Faktor prilaku, seorang buruh yang tenang dan tidak banyak menuntut dan bertengkar dengan buruh lain dianggap buruh yang baik; 3). Faktor produktivitas, buruh yang terbukti produktif memperoleh jumlah panjar yang lebih tinggi. Broker memberi panjar kepada buruh dalam dua kali pembayaran. Pembayaran pertama berupa lump sum, yang besarnya setengah dari yang diminta. Setengahnya lagi diberikan kemudian. Buruh biasanya menggunakan pembayaran pertama untuk keperluan kesehatan dan perkawinan dan investasi pertanian. Para buruh ini memimpikan kelak mereka memiliki lahan pertaniannnya sendiri. Pembayaran kedua dipakai oleh para buruh untuk membeli makanan.
Menurut Granovetter (1973) sebagaimana dikutip dalam artikel ini, terdapat dua jenis hubungan yang membentuk modal sosial antara buruh dengan broker. Pertama, hubungan yang disebut dengan bonding (ikatan), yaitu hubungan broker-buruh berdasarkan pada ikatan yang terbentuk ketika orang memiliki hubungan yang lama (tertutup dan terbatas). Kedua, hubungan yang disebut dengan bridging (penjembatanan), yaitu bubungan yang timbul ketika orang memiliki hubungan kurang intensif atau kurang sering bertemu dan tidak akrab.
Melalui penelitian ini diketahui bahwa hubungan bonding sama-sama menguntungkan, baik bagi broker maupun bagi buruh. Broker menjalin hubungan bonding dengan buruh dengan merekrut mereka dari anggota keluarga, teman, anggota kasta dan orang sedesa. Ini baik terutama untuk menghindari resiko tidak dibayarkannya kembali pinjaman yang diberikan. Broker disini berada dalam posisi dihormati oleh para buruh yang direkrut, sehingga broker dengan mudah dapat mempengaruhi buruh baik secara psikhologis maupun finansial. Ketika broker merekrut buruh dari luar desa yang tidak mereka kenal, maka mereka akan minta bantuan seorang kiz maizitry yang mungkin merupakan saudara dekat atau saudara jauh dari sang broker. Fungsi kiz maizitry ini adalah merekrut calon buruh untuk bekerja dalam naungan broker tersebut sekaligus memeriksa apakah calon buruh itu tidak sedang mendapat pinjaman dari broker lainnya.
Ada dua faktor yang menentukan terciptanya kepercayaan dalam hubungan broker dengan buruh. Pertama, buruh yang miskin memandang broker sebagai penyelamat mereka. Hutang moral memperkokoh kepercayaan dan membentuk hubungan yang kian menguat. Inilah yang disebut dengan ketergantungan, dalam bentuk ketergantungan moral dan financial. Kedua, persepsi buruh di tempat kerja. Ketiadaan aturan kerja formal di industri bata menimbulkan perasaan bahwa kepentingan mereka, para buruh itu, akan terlindungi oleh broker. Ketika broker melindungi buruh, maka dia akan memperoleh kehormatan atas harga dirinya sehingga para buruh akan segan menipunya.
Tentu saja ada resiko dalam hubungan buruh dan broker ini. Karena, bisa saja buruh melarikan uang panjar. Untuk mencegah hal itu, broker merekrut buruh dari keluarga atau mereka yang dengan mudah dia kontrol dan monitor. Pendatang baru yang tidak memiliki hubungan dekat dengan broker harus melalui orang ketiga yang disebut kiz maizitry tadi. Orang ketiga ini menjamin bahwa orang baru itu memang layak dan bersedia bekerja sesuai dengan ketentuan dan perjanjian yang ditetapkan. Broker memiliki power finansial dan mereka selalu didekati oleh para buruh untuk mendapatkan kredit/panjar. Untuk memenuhi kebutuhan itu, broker sampai menggadaikan harta mereka untuk mendapatkan uang dari rentenir dengan bunga bahkan sampai 10 persen per bulan, sementara mereka memberikan pinjaman kepada buruh tanpa bunga sama sekali.
Begitu seorang buruh memperoleh panjar, maka mereka harus bekerja untuk mampu membayarnya secara kredit. Memposisikan buruh di dalam ikatan hutang adalah sesuatu yang menguntungkan sekaligus merugikan. Keuntungannya adalah orang berhutang tidak dapat menuntut upah yang lebih tinggi sampai ia melunasi hutangnya. Kerugian atau ketidaknyamanannya adalah buruh akan minta panjar kepada broker secara reguler untuk bertahan hidup dan mereka bisa saja menipu broker dengan mencari pinjaman dari broker lain. Ini bisa menimbulkan perselisihan dan kekerasan fisik. Untuk menghindari penipuan itu, broker tidak mengikat buruh dengan bunga pinjaman. Mereka menjalin hubungan melalui kepercayaan, ketergantungan finansial, dan mempertahankan moralitas yang baik.

III. Evaluasi, Kegunaan, dan Keterbatasan
Penekanan artikel hasil penelitian ini ada pada hubungan yang dilandasi dengan kepercayan, ketergantungan financial antara broker dengan buruh. Di indutri bata, broker adalah agen kunci. Broker menggunakan afiliasi jaringan mereka untuk merekrut buruh diantara anggota keluarga, teman-teman, orang sekasta dan sedesa dengannya. Mereka merekrut buruh dengan menyalurkan pinjaman kepada para buruh itu. Mereka merekrut orang yang dapat dengan mudah mereka pengaruhi dan monitor. Pembentukan kepercayaan ini mencegah terjadinya efek negatif dari ikatan hutang. Ketiadaan kepercayaan menyebabkan jaringan terbentuk berdasarkan ikatan hutang. Resiko ketiadaan kepercayaan dapat dihindari dengan menyuruh buruh masuk ke dalam ikatan hutang.
Apa yang dapat dipelajari dari artikel ini? Hubungan antara broker dan buruh menggambarkan bagaimana modal sosial yang berupa kepercayaan (trust) itu terbentuk. Kepercayaan tersebut berwujud kepercayaan dari broker terhadap buruh dan sebaliknya. Kepercayaan ini menjadi salah satu dari aspek modal sosial yang dipelihara di samping hubungan yang semata-mata dilandasi ikatan hutang. Satu hal lagi yang perlu dilihat, bahwa broker berupaya sedemikian rupa merekrut orang-orang yang dikenalnya dengan baik yang berasal dari teman-teman sedesa atau sekasta. Kalau dilihat dari sisi positifnya, perekrutan seperti ini ada nilai plus-nya yaitu terangkatnya perekonomian keluarga, teman atau orang sekasta dari sang broker. Usaha untuk maju bersama ini relatif baik di tengah-tengah kemiskinan buruh.
Sebagai sekadar perbandingan, mari dilihat bagaimana sistem rekrutmen buruh/karyawan di Indonesia pada umumnya. Jika suatu perusahaan membutuhkan tenaga kerja, maka pada umumnya ia akan melakukan perekrutan sendiri. Atau, dia bekerjasama dengan perusahaan perekrut tenaga kerja profesional, dan untuk keperluan ini, perusahaan pemakai tenaga kerja harus membayar jasa kepada lembaga perekrut. Lembaga perekrut tenaga kerja sangat jarang yang bersedia memberikan pinjaman yang berupa panjar. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan uang dari jasa yang diberikan dari perusahaan pengguna. Jadi, dalam kasus ini berbeda dengan broker yang bekerja dalam merekrut buruh di India Selatan.
Artikel hasil penelitian itu tentu saja sangat bermanfaat dalam upaya memahami bagaimana modal sosial itu – dalam hal ini kepercayaan – itu bekerja. Akan tetapi, di dalam artikel ini tidak disinggung hubungan buruh dengan majikan/manajer di industri bata, padahal ada 10 orang manajer/majikan yang diwawancarai. Penelitian ini hanya menekankan pada hubungan broker dengan buruh, tidak hubungan majikan dengan buruh. Kiranya perlu dikemukakan hubungan para majikan/manajer dengan broker dan buruh sehingga dapat diketahui seperti apa aspek kepercayaan diantara mereka dikemas. Di samping itu, tidak disentuh sama sekali apakah ada keuntungan finansial yang diperoleh oleh para broker di luar “rasa hormat” dari para buruh karena telah membantu mereka dengan pinjaman tanpa bunga itu.
Selebihnya, penelitian ini dilaksanakan di India Selatan yang dalam banyak hal sangat berbeda kondisinya dengan belahan dunia lainnya, termasuk dengan Indonesia. Namun, kendatipun penelitian ini spesifik di India Selatan, tetap saja ada manfaatnya dalam menambah referensi mengenai pembentukan modal sosial di dalam masyakatat yang berbeda

IV. Kesimpulan
Penelitian tentang modal sosial sudah banyak dilakukan kendatipun belum lama berkembang. Aspek kepercayaan sebagai bagian dari modal sosial di daerah penelitian India Selatan digambarkan oleh hubungan antara para buruh dengan broker yang diikat terutama oleh pertemanan, keluarga, dan kasta. Sistem perekrutan buruh dengan pola ini akan memperkuat ikatan batin diantara mereka, sekaligus membuka peluang bagi terangkatnya kemampuan ekonomi para buruh. Tetapi, apabila buruh yang direkrut dari luar desa dan tidak dikenal, maka akan ia kan dibantu oleh para orang ketiga yang dipercaya oleh broker. Dalam kaitan ini, kepercayaan broker terhadap buruh belum tercipta dengan baik, maka dipakai ikatan hutang. Dengan hutang itu, buruh tersebut akan berinteraksi dengan lebih intensif dengan brokernya sehingga lambat laun kepercayaan itu bisa ditumbuhkan.
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan bagi mereka yang tertarik untuk mempelajari tentang modal sosial secara lebih mendalam. Akan tetapi, apa yang dilakukan di India Selatan semata-mata sebagai referensi, tidak untuk diterapkan mentah-mentah di Indonesia atau di bagian lain dari belahan dunia ini karena belum tentu sesuai. Setiap wilayah/daerah memiliki karakteristiknya sendiri sehingga modal sosial yang terbentuk atau yang dibangun harus relevan dengan karekteristik tersebut.
Penelitian ini diharapkan akan dapat menggugah peneliti lain untuk juga melakukan penelitian sejenis sehingga dapat dikuak lebih jauh dan lebih dalam tentang modal sosial di berbagai belahan dunia, juga di Indonesia, sehingga referensi tentang hal ini akan kian lengkap dan memadai.

0 Response to "Modal Sosial dan Sistem Broker: Pembentukan Ikatan Hutang di India Selatan"

Posting Komentar