Menulislah dengan Ide Orisinal

Oleh I Ketut Suweca

Pertama-tama saya menyampaikan terima kasih atas apresiasi Drs. Made Mustika terhadap tulisan saya yang bertajuk Copy paste dan Budaya Menulis di Bali Express, 30 Agustus 2010. Made Mustika melalui tulisannya di media ini yang berjudul Copy paste Menumpulkan Budaya Kreatif, 1 September 2010, lebih memperdalam lagi tinjauannya dengan melihat fenomena copy paste sebagai tindakan yang menumpulkan budaya kreatif, sekaligus ia menggugah para guru agar kian serius mendorong para siswanya untuk menulis di samping menjadi teladan yang baik di bidang tulis-menulis. Benar bahwa copy paste sebagaimana banyak dilakukan oleh siswa kita bertolak belakang sama sekali dengan upaya mengembangkan atau menumbuhkan kreativitas pelajar. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa hal sangat membantu kemudahan dan kenyamanan kehidupan manusia. Tapi, jika tidak bisa memanfaatkannya dengan baik dan proporsional, kehadiran teknologi ini bukan tidak mungkin membuat orang malas menggerakkan badannya, enggan menggerakkan modal intelektual (intelektual capital), emoh untuk mengusahakan sesuatu yang baru karena menurutnya segala sesuatunya sudah tersedia dan sangat mudah didapat. Seperti makan bubur, tak perlu dikunyah, langsung ditelan saja. Begitu pula halnya dengan aktivitas tulis-menulis. Para pelajar kini banyak yang enggan masuk ke dunia kreativitas imajiner ketika mengerjakan tugas mengarang. Mereka lebih memilih jalan mudah: copy paste! Mencomot karya orang lain di internet dan mengakuinya sebagai karya sendiri (antara lain karena tanpa sumber acuan).

Dimulai dari Kebiasaan Membaca
Seperti telah saya tuliskan di dalam artikel terdahulu, salah satu alasan utama mengapa mereka melakukan tindakan bypass seperti itu, karena mengarang atau menulis dipandang sulit. Akan tetapi, benarkah menulis itu sulit? Bagi sebagian orang, pekerjaan menulis tidaklah mudah. Tapi, bagi sebagian lain, menulis itu gampang. Nah, terjadi dua perbedaan pendapat dari dua titik ekstrem. Mari kita tengok lebih jauh, dimulai dengan pengalaman sederhana penulis sendiri.
Ketertarikan terhadap dunia tulis-menulis tak terlepas dari kebiasaan membaca sejak menjadi siswa di sekolah lanjutan. Saking doyannya membaca, saya sampai rela bersepeda gayung sepanjang kurang-lebih 20 km pp untuk dapat menikmati buku-buku di sebuah perpustakaan. Kalau jenuh berkunjung ke perpustakaan, penulis memilih bertandang ke toko buku. Di toko buku, saya seringkali membaca dalam waktu cukup lama. Bahkan, kadang-kadang saya membawa lembaran kertas lepas ukuran mini untuk mengutip beberapa bagian kecil yang menarik dari isi buku yang saya baca. Malu juga sih membaca berlama-lama di toko buku apalagi mencatat isi buku. Tapi, apa mau dikata, mau beli, tidak mampu. Tak ada uang. Begitulah saya keranjingan membaca buku, majalah, koran, dan bacaan lainnya.
Lambat-laun timbul pemikiran untuk menulis, karena membaca saja tidak banyak gunanya kalau tidak dibagikan juga kepada orang lain. Lalu, saya mencoba menulis dan mengirimnya langsung ke sebuah koran nasional. Dan, tulisan pertama yang saya buat itu ternyata dimuat di harian Berita Yudha; koran yang secara rutin dikirim dari Jakarta dan diedarkan secara gratis ke desa-desa saat itu (1994). Membaca tulisan pertama saya itu, saya seperti mabuk keberhasilan. Hampir kepada setiap orang yang saya jumpai ketika itu, saya perlihatkan tulisan saya di koran tersebut. Beberapa orang teman menyampaikan selamat dan mendorong saya untuk menulis dan menulis lagi. Sejak saat itu, saya rajin menulis dan mengirimkannya ke media massa nasional atau lokal. Ada yang ditolak, ada pula yang dimuat. Duh senangnya melihat karya sendiri terpampang di koran atau majalah. Apalagi ada honorariumnya! Honor pertama yang saya terima dari tulisan tersebut sebesar Rp.4.500,- dikirim melalui weselpos. Rada aneh, weselpos tersebut tidak saya uangkan, melainkan saya memilih menyimpannya. Belum lama ini, untuk mengenang kisah lama, iseng-iseng saya mencari wesel itu. Eh, ternyata tidak ada lagi, entah nyangkutnya dimana. Beruntung, tulisan pertama itu masih ingat saya kliping yang hingga kini masih tersimpan walaupun warnanya sudah berubah: buram dan menguning.
Dari kenangan itu, saya ingin berbagi pengalaman bahwa untuk menulis, terlebih dahulu orang harus doyan membaca. Dengan membaca, pengetahuan akan bertambah, dan dengan membaca pula kita dapat mengamati bagaimana cara pengarang mengungkapkan ide-idenya. Bagaimana ia memilih kata (diksi), memainkan kalimat, memanfaatkan berbagai tanda baca dan menata sistematika. Juga, bagaimana dia memilih judul yang menarik, membuat lead yang mempesona, kuat dan berisi, dan menuntaskannya dengan ending yang mengesankan. Intinya, banyak hal yang didapatkan kalau mau membaca dengan penuh minat: tak hanya pengetahuan tentang materi bacaan yang bertambah, juga cara menuangkan gagasan juga dimiliki. Kedua kemampuan utama itu akan menjadi bekal sang calon penulis ketika ia memasuki ranah tulis-menulis atau karang-mengarang. Tidak ada jalan yang instant untuk menjadi penulis yang baik.

Memberikan Kesenangan
Ketika tulisan pertama Anda berhasil dimuat di sebuah media, nikmatilah. Bergembiralah. Bersyukurlah kepada Tuhan atas rakhmat-Nya itu. Jadikan keberhasilan tersebut sebagai momentum untuk menelorkan tulisan-tulisan lainnya kemudian. Pemuatan artikel yang pertama itu bisa menjadi pembakar semangat yang demikian besar untuk menghasilkan karya-karya berikutnya yang lebih berbobot. Bersamaan dengan ini, kebiasaan membaca jangan pernah dihentikan. Pastikan kegiatan membaca sebagai menu tambahan di samping makan dan minum. Dari manapun bacaan itu diperoleh, tak menjadi masalah. Yang terpenting, isi hari-hari Anda dengan menyediakan waktu membaca satu-dua jam dalam sehari.
Lalu, mengapa menulis itu menyenangkan? Seperti saya katakan di atas, pada umumnya setiap orang akan senang apabila tulisannya dimuat di media massa. Apalagi tulisan itu adalah yang pertama dimuat. Hal berikutnya yang membuat orang senang menulis/mengarang adalah karena dengan begitu ia dikenal masyarakat luas, seperti JK Rowling, Andrea Hirata, dan Andrias Harefa. Bahkan, lantaran tulisan-tulisannya yang demikian mengesankan dan berbobot, bukan tidak mungkin suatu saat kemudian yang bersangkutan diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar sesuai dengan keahliannya. Ini, lagi-lagi mendatangkan uang dan popularitas.
Yang berikutnya yang membuat orang senang menulis, karena dengan tulisan itu ia sudah meninggalkan jejak-jejak makna (pinjam istilah Gede Prama) dalam perjalanan hidupnya. Suatu saat semua orang pasti akan mati, sementara karya tulis seseorang tak akan ikut mati. Ia akan dibaca oleh generasi berikutnya, kalau terdokumentasi dengan baik, tentu. Paling tidak, di dalam riwayat hidupnya, akan tercantum bahwa yang bersangkutan telah menulis sejumlah artikel yang dipublikasikan di media massa atau buku yang sudah diterbitkan.
Walaupun tidak ada jalan instan untuk menjadi penulis, tapi yang perlu diingat adalah bahwa sesungguhnya menulis itu menyenangkan jika ditekuni dengan sepenuh hati. Karena menyenangkan, maka tak perlu lagi praktek copy paste yang bisa menumpulkan budaya seperti disinyalir Made Mustika. ***

Catatan : Artikel ini telah dimuat pada rubrik Opini Harian Bali Express, Rabu, 8 September 2010, hal. 4.

2 Response to "Menulislah dengan Ide Orisinal"

  1. Athur Alam 16 September 2010 pukul 01.14
    Setuju sekali dengan Anda Pak, bahwa kecintaan terhadap menulis harus diawali dari kecintaan terhadap membaca...

    Dalam agama yang saya yakini pun dengan tegas terdapat perintah untuk membaca (iqra) dan menulis. Proses membaca dilakukan untuk menangkap informasi dan pengetahuan yang telah diturunkan kepada seluruh umat manusia.. disisi lain, untuk membuat pengetahuan (ilmu) itu bertahan dalam ingatan manusia, maka diperlukan proses mencatat (menulis). Jadi tulisan itu dianggap sebagai pengikat ilmu pengetahuan...

    Ketersediaan media untuk menulis pun seharusnya bisa membuat kreativitas setiap insan bisa terasah.. jika orang tua kita zaman dulu hanya bisa menulis di daun lontar, maka generasi kita sekarang bisa menulis/ mencatat di media yanglebih variatif... kertas, komputer, PDA, dll...

    Jadi tak ada lagi alasan untuk tidak menulis sendiri..
  2. Ekonomist 19 September 2010 pukul 07.13
    Terima kasih atas komentar dan atensi Anda. Mari bersama-sama kita dorong semua teman-teman dan adik-adik kita agar senantiasa menyisihkan waktu untuk membaca dan dilanjutkan dengan menulis. Saya sudah lihat blog Anda, bagus sekali. Penataannya apik dan isinya berbobot dan tentu bermanfaat bagi mereka para calon penulis atau penulis pemula. Menulis untuk berbagai...., luar biasa. Selamat.

    economist-suweca.blogspot.com

Posting Komentar