Menuju Kehidupan yang Tenteram dalam Kebhinekaan

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si

Kalau diperhatikan data yang ada, (Kompas, 6 Sept. 2010, hal 8.) tercatat bahwa tahun 2007 jumlah kasus kekerasan oleh ormas di Indonesia sebanyak 10 kasus, tahun 2008 menurun menjadi 8 kasus, tahun 2009 sebanyak 40 kasus, dan belum berakhir tahun 2010 jumlah kasus kekerasan oleh ormas sudah mencapai angka 49 kasus.
Tentu saja tidak semua ormas melakukan tindak kekerasan. Masih banyak ormas yang baik dan mentaati aturan hukum yang berlaku dan melakukan penyaluran aspirasi dengan cara-cara yang santun dan terhormat. Sebut saja misalnya ormas-ormas kepemudaan, kepramukaan, dan lingkungan. Juga, organisasi internal keagamaan yang selalu berupaya menumbuhkan solidaritas intern dan antarumat beragama, dan organisasi profesi yang telah menyampaikan aspirasinya dengan baik. Akan tetapi, ada saja segelintir oknum dan/atau organisasi kemasyarakatan yang melakukan tindak kekerasan atau premanisme untuk mencapai tujuannya. Mereka memilih melakukan demonstrasi dengan kekerasan dan mengintimidasi kelompok lain yang tidak sepaham dengannya dengan kekerasan. Oknum dalam organisasi atau organisasi semacam ini bukanlah sedang menumbuhkan proses demokrasi menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya: merusak tatanan demokrasi, mengingkari kebhinekaan, dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi kekerasan seperti itu? Pertama, memperbaiki atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mendasari keormasan termasuk peraturan pelaksanaannya. UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur oraganisasi keormasan sudah cukup berumur, sehingga mungkin sudah waktunya untuk direvisi/disesuaikan dengan kebutuhan/tuntutan zaman. Di satu sisi, kiranya perlu dilakukan penguatan kewenangan pemerintah dalam mengawasi, membekukan, bahkan membubarkan ormas yang terbukti mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Di sisi lain, perubahan/pembaharuan yang dilakukan jangan sampai mengenyampingkan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi masyarakat. Tugas ini menjadi sangat penting, sebab ketiga kebebasan itu itu merupakan kebebasan dasar yang fundamental bagi berlangsungnya sistem politik yang demokratis. Tugas memadukan dua sisi yang berbeda inipun menjadi tidak mudah, sehingga diperlukan kedalaman pemahaman dan kearifan para perumusnya.
Kedua, lebih mengintensifkan pembinaan terhadap ormas-ormas yang ada, terlebih-lebih terhadap ormas yang acapkali melakukan tindak kekerasan. Pembinaan yang dilakukan berisi seputar aturan keormasan dengan segala sanksi yang akan diambil apabila melakukan kekerasan. Dalam pembinaan tersebut, seyogianya diingatkan kepada mereka untuk kembali kepada fungsi keberadaan ormas dan menjauhi penggunaan cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak lainnya dalam mencapai tujuan. Pemahaman, penghayatan terhadap nilai-nilai moral dan kemanusiaan sangat perlu diberikan sehingga dalam gerakannya lebih dipilih cara-cara yang terhormat. Mereka harus paham bahwa segala tindakannya yang berbau kekerasan atau premanisme, apapun dalihnya, akan meresahkan masyarakat. Keadaan tidak akan menjadi lebih baik apabila cara-cara yang dipilih untuk merespon keadaan tersebut adalah cara-cara kekerasan. Bahwa tindakan mereka itu bukanlah demokrasi yang sedang dipraktekkan, melainkan pemaksaan kehendak yang mengoyak-ngoyak sistem demokrasi yang sedang ditumbuh-kembangkan di negeri ini.
Ketiga , tapi tak kalah pentingnya, adalah perlunya tindakan berani dan tegas dalam penegakan hukum. Law enforcement harus dilakukan. Tindakan tegas terhadap ormas yang melakukan tindak kekerasan dapat berefek jera bukan hanya terhadap ormas yang bersangkutan, bahkan juga terhadap ormas lainnya. Mereka akan berpikir berkali-kali kalau berniat melakukan tindakan anarkhis. Tindakan tegas dan berani ini sudah lama menjadi idaman masyarakat, sehingga dengan begitu diharapkan kehidupan bersama dalam kebhinekaan menjadi lebih nyaman dan tenteram.

Catatan : Tulisan ini telah dimuat di koran Bali Post, tgl 14 September 2010, hal. 6.

0 Response to "Menuju Kehidupan yang Tenteram dalam Kebhinekaan"

Posting Komentar