Ketinggian Bangunan atau Pemerataan Pembangunan?

Oleh I Ketut Suweca

Belakangan ini muncul wacana di media massa tentang usulan penyempurnaan  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali. Dalam RTRW yang masih berlaku sekarang, ketinggian bangunan di Bali maksimum 15 meter. Jika lebih, bakal terkena sangsi. Rupanya setelah diberlakukan sekian lama, ketinggian sebesar itu tidak lagi mencukupi. Dipandang perlu lebih dari itu pada zona tertentu. Wacana tersebut, tak pelak, memunculkan perdebatan yang tak berkesudahan dengan argumen masing-masing.
Secara garis besar terdapat dua arus utama pemikiran yang saling berseberangan. Di satu pihak adalah pemikiran menghendaki bangunan di Bali diperbolehkan lebih dari 15 meter sehingga diperlukan perubahan RTRW Bali. Di lain pihak adalah pemikiran yang menginginkan ketinggian maksimal bangunan ditetapkan 15 meter sesuai dengan RTRW yang sudah ada.

Silang Pendapat
Alasan pihak yang menghendaki bangunan dibolehkan lebih dari 15 meter pada intinya adalah karena keterbatasan lahan yang tersedia. Jika dibiarkan perkembangan pemukiman berlangsung bersamaan dengan bertambahnya penduduk Bali, maka lahan pertanian dan lahan kosong lainnya akan habis. Tak ada lagi lahan pertanian dan perkebunan yang hijau seperti yang kita nikmati sekarang. Menurut pendapat ini, tak ada pilihan lain untuk mengatasi masalah pemenuhan akan kebutuhan pemukiman selain membuat bangunan dan pemukiman yang bertingkat ke atas (vertikal) pada zona tertentu, sehingga mengatasi penggunaan lahan di sekitarnya. Paling tidak, upaya ini dapat memperlambat laju pengalihan fungsi lahan.
Alasan pihak kedua yang menghendaki ketinggian bangunan ditetapkan tak lebih dari 15 meter adalah jika bangunan-bangunan pemukiman, hotel, jenis bangunan lainnya pada zona tertentu di Bali diberikan membangun lebih dari 15 meter, maka Bali tak ada bedanya dengan beberapa wilayah/kota lain di Indonesia. Keindahan alam Bali akan tersapu oleh bangunan-bangunan bertingkat yang memenuhi kawasan. Pandangan mata akan berbenturan dengan beton-beton menjulang tinggi di kiri-kanan jalan. Bali tak lagi menjadi Bali.  Hal ini dipandang menjauh dari folosofi dasar manusia Bali yang berbasis spiritual Hindu: tri hita karana. 

Beberapa Pertimbangan
Pertama, dalam kaitannya dengan pembangunan Bali ke depan, seyogianya falsafah dan kearifan leluhur yang adiluhung hendaknya senantiasa menjadi pegangan utama. Betapapun,  kearifan itu akan mampu mempedomani generasi demi generasi agar dapat hidup dalam keseimbangan sekaligus menghindari perasaan keterasingan di daerah sendiri. Oleh karena itu, kiranya filosofi tri hita karana, salah satunya,  hendaklah tetap menjadi pegangan dalam kehidupan manusia Bali.  Karena, dengan konsep warisan leluhur ini, manusia Bali bisa hidup cukup harmonis hingga sekarang, dan sampai nantipun diharapkan demikian bahkan lebih baik lagi. Betapa eloknya bisa tetap hidup selaras dengan alam, dengan sesama manusia, dan Tuhan.
Kedua, persoalan yang ada bukanlah terletak pada perlu-tidaknya perubahan ketinggian bangunan dari 15 meter menjadi boleh lebih dari itu. Itu hanyalah keinginan yang muncul sebagai efek dari kepadatan penduduk yang melebihi kapasitas tampung suatu wilayah. Jadi, persoalan mendasarnya ada pada masalah kepadatan penduduk di kota Denpasar dan Badung sebagai akibat dari ketidakmerataan persebaran pembangunan di  wilayah Bali. Kepadatan ini terjadi sebagian besar karena kehadiran para pendatang dari luar wilayah itu, baik dari Bali maupun luar Bali. Yang membuat mereka datang dan bermukim di kedua wilayah tersebut tentu karena di situ ada sumber penghasilan/penghidupan: pekerjaan. Kebutuhan akan pekerjaan itulah yang mendorong mereka datang ke Badung dan Denpasar. Sementara, di daerah asal, mereka tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk mengembangkan diri.
Di Badung dan Denpasar ada ratusan  jenis pekerjaan, mulai dari bisnis jasa hingga bisnis yang menghasilkan produk tertentu. Industri, pendidikan, pariwisata, numplek bleg di situ. Yang paling menonjol adalah bisnis pariwisata yang membutuhkan tenaga kerja yang besar. Daripada harus bolak-balik ke desa asal, mereka akhirnya memilih tinggal di wilayah dekat tempat mereka bekerja, baik dengan menyewa ataupun dengan membangun pemukiman sendiri. Alhasil, Denpasar dan Badung menjadi padat penduduk, padat lalu lintas, padat pula tuntutan akan lahan pemukiman. Salah satu solusi alternatif yang ditawarkan adalah membuat aturan bangunan boleh lebih dari 15 meter. Maksudnya, antara lain  agar masalah kebutuhan tempat hunian, dll. dapat diselesaikan, sementara pengalihan fungsi lahan dapat diperlambat.
Ketiga, penulis melihat bahwa merevisi aturan ketinggian bangunan pada RTRW Bali bukanlah alternatif terbaik. Dengan penyesuaian aturan yang membolehkan ketinggian bangunan lebih dari 15 meter, untuk sementara,  mungkin akan dapat menanggulangi masalah kebutuhan pemukiman. Solusi ini tidak akan menyelesaikan persoalan jika migrasi penduduk terus terjadi dari desa-desa di Bali atau di luar Bali ke Badung dan Denpasar. Lima sampai sepuluh tahun lagi, persoalan yang sama akan muncul lagi. Akankah RTRW diubah lagi sehingga pada akhirnya berapun ketinggian bangunan akan diperbolehkan?
Tanpa data statistikpun kita bisa melihat betapa pembangunan di Bali sama sekali belum merata. Ada wilayah/kota yang berkembang sangat pesat seperti  kedua wilayah yang disebutkan di atas, sementara ada bagian lain dari wilayah Bali jauh lebih lambat. Di mana ada kesempatan berkembang, ke situlah orang akan datang mengais rejeki. Analoginya, di mana ada gula ke situlah semut beramai-ramai  nglurug.
Keempat, berkaitan dengan point ketiga di atas, Bali sesungguhnya membutuhkan grand desain pembangunan wilayah yang bisa mendorong pusat-pusat pertumbuhan bisa tersebar secara seimbang di seluruh wilayah kabupaten/kota. Memang ini sulit. Tapi, jika tak dilakukan/diusahakan secara sungguh-sungguh, maka Bali akan menangis dalam 10-20 tahun lagi. Kesenjangan akan kian menganga. Kini pun kedua wilayah itu sudah jenuh oleh kepadatan penduduk. Kemacetan lalu-lintas sehari-hari adalah contoh kecil di permukaan yang bisa kita lihat dan rasakan kini. Denpasar dan Badung benar-benar akan mengalami total traffic-jam. Dalam konsep membangun Bali, seyogianya pusat-pusat pertumbuhan itu bisa tersebar merata dan seimbang di seluruh wilayah. Tak hanya di Bali Selatan, juga di Bali Timur, Barat, dan Utara.  Dengan persebaran ini, maka tenaga kerja tak lagi terkonsentrasi di kedua wilayah tadi, melainkan tersebar di seluruh wilayah Bali. Alhasil, kesenjangan pendapatan dapat dikurangi, dan keseimbangan tingkat kepadatan dan persebaran   penduduk pun dapat dijaga.  
Uraian di atas hendak menjelaskan masalah yang dihadapi Bali adalah persoalan kebutuhan persebaran penduduk yang belum merata karena pembangunan yang kurang seimbang antara Bali Selatan dengan Bali Timur, Utara, dan Barat.  Meninggikan bangunan kiranya bukanlah jawaban terbaik. Itu hanya solusi jangka pendek tetapi tak menyelesaikan masalah dalam jangka menengah dan  panjang. Bali memang benar-benar mesti dijaga agar tidak kehilangan “kebalian”-nya dalam dinamika dan gemuruh pembangunan. Bisakah?


0 Response to "Ketinggian Bangunan atau Pemerataan Pembangunan?"

Posting Komentar