Pencinta Buku, Istri, dan Duit

Oleh I Ketut Suweca

Seorang pria pencinta buku masuk ke sebuah toko. Bukan toko kelontong, tentu, melainkan toko buku. Bukan toko buku tulis dan perlengkapan kantor, tentu, melainkan toko yang menjual barang cetakan yang mengandung ilmu pengetahuan. Pencinta buku yang satu ini selalu menyempatkan diri ke toko buku. Paling tidak dua minggu sekali. Tak peduli, apakah ia sedang punya uang untuk membeli buku atau tidak. Yang penting baginya adalah dapat bertandang ke toko buku. Dia akan bergerak perlahan-lahan dari satu sisi ke sisi lain toko. Matanya terfokus ke berbagai bacaan dengan berbagai macam judul dan jenis yang dipajang di sederetan meja dan rak. Diamatinya judul buku-buku tersebut satu demi satu. Terkadang dia berhenti cukup lama di suatu tempat. Tangannya mengambil dan membolak-balik sebuah buku. Diperhatikannya judul buku itu, lalu dilihatnya juga bagian cover belakang. Dibacanya sepintas topik utama buku tersebut di cover belakang. Hatinya bergumam, “Mengapa semua buku dibalut plastik ya. Seharusnya disediakan satu buku yang tak dibungkus sehingga bisa dilihat secara penuh oleh pembeli. Bagaimana para calon pembeli mengetahui isi sebuah buku kalau mereka tak diijinkan melihat dalamnya?”.

Dia bisa bertahan di toko hingga dua jam kendati tak membeli satu pun dari ribuan buku itu. Hanya kaki yang terasa pegal yang mampu mengingatkannya untuk kembali pulang. Baginya, kalau sudah dapat menikmati indahnya hamparan buku, pria ini sudah merasa senang. Kalau lagi sedang ada duit, ia akan membeli beberapa buku untuk dilahap di sela-sela kesibukannya sehari-hari. Tapi, kalau ia memaksakan diri juga ke toko buku sementara itu ia tengah bokek, ya paling-paling di situ ia dapat melihat-lihat saja, terutama buku-buku terbitan terbaru. Tapi, yang acapkali terjadi, sesuatu bakal mengganggunya setelah itu. Apa? Dia akan selalu teringat pada satu-dua buku yang menarik minatnya. Keinginan untuk mendapatkan buku-buku tersebut tak pernah lenyap sampai ia benar-benar membelinya di kemudian hari. 
Kebetulan si pencinta buku, di samping doyan membaca, juga pintar menulis alias mengarang. Kebiasaan membaca sudah tumbuh sejak kecil. Lama-lama jadi keterusan, sulit dihentikan. Dari kebiasaan membaca tumbuh kegairahan menulis. Maka, akhirnya ia senang sekali menulis untuk media massa cetak, seperti koran dan majalahBelakangan ia tertar ik menulis buku. Dengan predikat sebagai penulis, tentu dia tak bisa menjaring pengetahuan dari angin. Ia mesti banyak membaca. Maka, jadilah membaca sebagai gaya hidupnya. Tanpa membaca baginya terasa ada yang belum lengkap, ada yang kurang. Menu hariannya, di samping makan-minum, juga buku. Alhasil, dalam sebulan selalu saja ia merasa perlu menyisihkan duitnya untuk membeli beberapa buku. Barang cetakan ini penting sekali baginya, sepenting makan dan minum. 
Pernah suatu hari ia mengajak istrinya ikut ke toko buku. Belum ada tiga puluh menit sang istri berbisik, ”Ayo Pa sudah disininya. Yuk ke toko baju. Lihat-lihat baju.” Dengan sedikit kesal, si suami yang doyan buku ini mengantarkan istrinya ke tempat yang diinginkan untuk menawar-nawar baju walaupun tak membeli satu pun. “Dasar perempuan,” hardiknya dalam hati. Pada kali lain, sang istri kembali diajak singgah ke toko buku setelah menyelesaikan sebuah urusan. Si istri manut saja dengan cacatan jangan berlama-lama di situ. Lagi-lagi sang istri menegur,”Pa, beli buku yang perlu untuk kuliah saja. Jangan buku-buku lain yang nggak perlu.” Bersyukur si lelaki bisa menahan diri sehingga tak memilih ‘perang’ dengan istrinya hanya gara-gara membeli buku ‘yang tak perlu’.
Sebagai penulis, si pencinta buku tak kunjung menghentikan kebiasaannya membeli buku. Salah satu kamar di rumahnya menjadi gudang buku. Memang lebih cocok disebut gudang daripada perpustakaan lantaran sebagian bukunya tak keruan tempatnya. Dua rak besar sudah penuh bahkan meluber. Sebagian dibiarkan berserakan di meja dan tergeletak di lantai. Sesuatu yang tak perlu dicontoh apalagi oleh mereka yang mengutamakan kerapihan. Istrinya tak berani lagi memindahkan atau merapikan posisi buku itu, takut ditegur seperti sebelumnya. Pengalaman mengajarkannya untuk tak mengganggu ‘wilayah privat’ suaminya. Si istri pernah ditegur gara-gara merapikan buku-buku tersebut yang berakibat pada sulitnya bagi si pencinta buku ketika hendak menemukan kembali sebuah buku untuk referensi bagi naskah yang sedang disusunnya. 
Kisah di atas sudah menjadi bagian dari masa lalu. Kini sang istri tak pernah lagi mengingatkan kalau sang suami membeli cukup banyak buku, juga tak mau ikut ke toko buku karena emoh berdiri lama-lama di situ. Ketika suaminya membawa pulang sejumlah besar buku, sang istri hanya manggut-manggut, kadang-kadang pura-pura tak tahu. Mungkin ia sadar kalau suaminya membutuhkan buku untuk menulis. Barangkali juga ia mulai mafhum bahwa tulisan-tulisan suaminya itu mendatangkan duit. Dari menulis, mereka sekeluarga membiayai hidup. Rumah sederhana yang ditempatinya kini sebagian dari royalty buku-buku hasil karyanya dan honor ratusan artikel di sejumlah koran dan majalah, di samping dari gajinya sebagai pekerja kantoran. 

0 Response to "Pencinta Buku, Istri, dan Duit"

Posting Komentar