Bali Green Province dan Bank Sampah

Oleh I Ketut Suweca


“Hanya orang sembarangan yang
membuang sampah sembarangan”
(Tulisan pada sebuah papan di pinggir jalan)


Bali Green Province dideklarasikan Gubernur Bali 22 Februari 2010 bertepatan dengan Pembukaan Konferensi UNEP ke-11 di Nusa Dua Bali. Bali Green Province adalah komitmen Pemerintah Provinsi Bali bersama Pemerintah kabupaten/Kota, swasta, LSM dan seluruh komponen masyarakat Bali mewujudkan Bali yang bersih, sehat, indah, hijau, dan lestari bagi generasi kini dan yang akan datang. Visi yang diusung adalah terciptanya Bali Bersih dan Hijau tahun 2013.

Sejak saat itu, Pemerintah Provinsi Bali menyusun program aksi yang pada intinya meliputi tiga pilar utama. Pertama, green economic, artinya bagaimana menjadikan kegiatan ekonomi yang bertujuan mensejahterakan rakyat Bali dapat dilangsungkan tanpa merusak alam (berwawasan lingkungan). Kegiatan ekonomi di Bali dapat mendukung keajegan alam Bali. Kedua, green culture yang secara konseptual sesungguhnya sudah ada dalam kearifan lokal masyarakat Bali, seperti Tri Hita Karana. Kearifan lokal itu harus dilestarikan dan bahkan jika memungkinkan selalu mengusahakan untuk menumbuhkan budaya hijau. Ketiga, clean and green, yang lebih menekankan pada terwujudnya lingkungan daerah Bali yang bersih dan terbebas dari pencemaran dan kerusakan sumberdaya alam. 
Tentu saja upaya ini perlu didukung secara maksimal oleh seluruh komponen masyarakat untuk menjadikannya kenyataan. Kendati, sesungguhnya Bali sudah lama memiliki kearifan lokal (local genius) untuk menjaga dan memelihara alam lingkungannya. Para tetua di Bali sudah mewariskan kepada generasi masa kini konsep-konsep hidup yang selaras dengan alam. Inilah yang perlu dilaksanakan dan dikembangkan. Kalau kini muncul Bali Green Province, tentu dimaksudkan agar kita, masyarakat Bali, lebih peduli lagi dengan kebersihan dan memelihara lingkungan. 
Berkaitan dengan hal ini, sangatlah elok apabila Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Bali lebih greget lagi merangsang masyarakat agar peduli terhadap sampah dan mendorong pola hidup bersih dan sehat. Misalnya dengan memberikan insentif kepada kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dan berhasil menjaga kebersihan lingkungan dan melestarikan alam di lingkungannya. Hal ini menjadi penting dalam rangka menggugah masyarakat untuk secara lebih aktif merawat alam dan menjaga kebersihan lingkungan. Insentif dimaksud hanya sebagai pemantik yang diperlukan pada awalnya saja sampai tiba saatnya masyarakat benar-benar mampu secara mandiri menciptakan kehidupan yang bersih, sehat, dan hijau. 
Bank Sampah
Terkait dengan topik ini, ada hal yang menarik dari sosialisasi mengenai Bali Green Province yang diselenggarakan Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Buleleng belum lama ini di Singaraja. Pembicara, Ir. Komang Ardana, M.Si., Kabid Pengawasan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali dalam acara tersebut menceritakan keberadaan sebuah bank yang secara khusus berkaitan dengan sampah, sehingga disebut dengan Bank Sampah. Ardana menyebutkan Bank Sampah “Karya Peduli” yang berkedudukan di Jl. Beting Indah I No.02 RT 005/09, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, sebagai contoh. 
Dijelaskan, Bank Sampah “Karya Peduli” beroperasi dengan cara demikian: Pertama, petugas bank sampah berkeliling ke rumah warga untuk mengambil tabungan berupa sampah. Jadwal pengambilan sampah oleh teller keliling dilakukan tiga kali dalam seminggu. Selanjutnya, kedua, sampah warga ditimbang dan diberi nilai rupiah sesuai daftar harga dan jenis sampah yang ditabung oleh warga. Ketiga, menghitung hasil timbangan dan nilai rupiah sampah dan mencatatnya ke buku rekening nasabah dan buku catatan teller keliling. Buku rekening tabungan untuk nasabah bank sampah, sedangkan buku catatan untuk laporan oleh teller keliling. Keempat, petugas kembali ke kantor bank sampah untuk melaporkan hasil pengambilan sampah warga. Teller akan mendapatkan upah berdasarkan persentase dari berat sampah yang diambil dari warga. Di bank dilakukan proses menginput data catatan teller keliling ke dalam komputer.
Langkah kelima, dilakukan pemilahan sampah sesuai dengan jenisnya: sampah organik langsung diolah supaya tidak menimbulkan bau dan penyakit. Pupuk kompos hasil olahan sampah organik dijual kepada warga dengan harga yang terjangkau. Sedangkan, sampah nonorganik dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya. Ketujuh, setelah sampah nonorganik itu dipilah dan ditempatkan sesuai jenisnya kemudian diolah menjadi barang kreasi kerajinan tangan dan sisanya dicacah dan dijual ke pabrik peleburan plastik. 
Sebuah koran nasional belum lama ini memuat tulisan tentang bank yang serupa. Namanya Bank Sampah “Gemah Ripah” berlokasi di Dusun Bandegan, Bantul, Yogyakarta. Cara kerjanya hampir sama dengan Bank Sampah “Karya Peduli”. Kesuksesan bank sampah yang memegang motto “menabung sampah, hidup lebih bersih dan hari esok lebih baik” ini menginspirasi daerah lain. Kini, bank sampah telah diterapkan di 20 desa di Bantul, melibatkan sekitar 1.000 keluarga. 
Kiranya model bank semacam ini ada baiknya dirintis di Bali. Kalau bank semacam ini terdapat minimal satu buah di setiap kabupaten/kota di Bali, niscaya Pulau Dewata berangsur-angsur bersih dan indah, jauh dari kekumuhan yang kini sudah mulai tampak di beberapa sudut kota. Ada nilai ekonomis yang diperoleh dari model bank sampah ini, di samping mampu menampung tenaga kerja. Kebiasaan membuang sampah sembarangan (throwaway lifestyle) sebagaimana digelitik pada awal tulisan ini pun, dapat dikurangi. Siapa yang tertarik?

0 Response to "Bali Green Province dan Bank Sampah"

Posting Komentar