Kelas Menengah dan Perilaku Konsumtif

Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen akibat krisis tahun 1998, Indonesia terus mencatat pertumbuhan positif rata-rata 5 persen sejak tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sejak tahun 2000 melahirkan masyarakat kelas menengah. Geliat ekonomi ini telah memunculkan sekitar 9 juta warga kelas menengah baru setiap tahunnya. Kategori kelas menengah, menurut Bank Dunia, adalah mereka yang membelanjakan uangnya  sebesar  2 dolar sampai 20 dolar AS per hari.

Masyarakat kelas menengah ini diharapkan bisa menjadi semacam bemper ekonomi dari terjangan krisis  global. Konsumsi mereka yang menyumbang 70 persen dari pertumbuhan ekonomi  diharapkan menggerakkan perekonomian Indonesia agar terus bertumbuh.
Laporan Bank Dunia menyebutkan, jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini sekitar 56,5 persen dari total jumlah penduduk. Menurut Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta. Berarti, jumlah kelas menengah dengan pengeluaran per hari 2 dolar  AS  (sekitar Rp. 18.000,-) sampai dengan  20 dolar AS  (sekitar Rp.180.000,-) tidak kurang dari 134 juta orang.

Berkembangnya jumlah kelas menengah Indonesia secara pesat bukan melulu karena pertumbuhan ekonomi. Gaji pegawai negeri sipil dan swasta yang naik secara gradual juga mendorong tumbuhnya kelas menengah ini. Demikian juga perkembangan pekerjaan pada sektor telekomunikasi, penerbangan,  pertambangan, dan perkebunan yang tumbuh cepat ikut mendongkrak bertambahnya kelas menengah.

Perilaku Konsumtif
Dari 134 juta orang jumlah  kelas menangah, sekitar 14 juta orang masuk ke dalam rata-rata pengeluaran 6 dolar sampai 20 dolar AS per hari. Sebanyak  68 persen atau sekitar 91 juta orang lainnya merupakan kelas menengah bawah, dengan pengeluaran 2-4 dolar AS per hari.

Nafsu kelas menengah untuk berbelanja ternyata sangat besar. Bahkan masyarakat kelas menengah ini memiliki gaya tersendiri dalam berbelanja. Masih menurut Bank Dunia, nilai uang yang dibelanjakan kelas menengah Indonesia sangat  fantastis. Belanja pakaian dan alas kaki tahun 2010 mencapai Rp.113,4 triliun. Belanja rumah tangga dan jasa sebesar Rp.194,4 triliun, belanja di luar negeri Rp.50 triliun, dan biaya transportasi Rp. 283,6 triliun.

Lebih lanjut, data Bank Indonesia menunjukkan, jumlah transaksi menggunakan kartu kredit dalam periode 2005-2010 naik 2,5 kali lipat sehingga menjadi Rp.161,4 triliun. Ada 6,7 juta orang yang memegang kartu kredit. Kecenderungan peningkatan konsumsi dan transaksi menggunakan kartu kredit ini harus dikendalikan agar tidak kontraproduktif. Jika konsumen terjebak dalam nafsu konsumtif yang berlebihan sehingga  terjerat utang, bukan tidak mungkin kelas menengah ini bakal jatuh ke jurang kemiskinan.

Ekspektasi peningkatan penghasilan pada tahun-tahun mendatang diyakini  akan terus mendorong konsumsi. Kini, konsumsi berperan 70 persen atas produk domesti bruto (PDB). Hal ini dibenarkan oleh pengamat ekonomi, Tony Prasetiantono, yang mengatakan bahwa struktur perekonomian Indonesia menunjukkan konsumsi berperan sangat besar, yakni sekitar 70 persen. Disebutkan, menguatnya kelas menengah ini berdampak positif pada peningkatan permintaan tidak saja pada jasa penerbangan dan telekomunikasi, bahkan juga otomotif. Ini memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

Potensi pertumbuhan masyarakat kelas menengah masih terbuka di tahun 2012. Pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2012 sekitar 6,7 persen. Dengan asumsi ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi 1 persen akan menciptakan 450.000 lapangan kerja baru. Akan  tercipta peluang untuk mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang menganggur. Dan,  mereka akan  sangat potensial menjadi kelas menengah.

Mesti Terkontrol
Tentu saja pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah di Indonesia merupakan sesuatu yang positif. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan relatif membaiknya tingkat pendapatan dan kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia. Akan tetapi, tetap harus diperhatikan bahwa 68 persen dari kelas menengah yang ada atau sebanyak 91 juta yang termasuk kelas menengah di level bawah dengan penghasilan 2-4 dolar AS. Jika perilaku konsumtif mereka menjadi-jadi dan tidak terkontrol, dapat dipastikan mereka akan terlibat utang. Apalagi dibarengi dengan kebiasaan berbelanja dengan kartu kredit yang bisa membuat penggunanya  tanpa sadar membelanjakan uangnya hingga  terkuras habis. Hukum Engle yang menyebutkan, bahwa elastisitas pendapatan terhadap permintaan nonmakanan lebih besar dari 1. Kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen akan meningkatkan permintaan konsumsi nonmakanan lebih dari 1 persen. Perilaku konsumtif  terjadi kini seakan membuktikan kebenaran  Hukum Engle itu.

Kecenderungan konsumtif akan lebih dipersubur oleh adanya pasar global yang membuka perdagangan antarnegara yang kian masif. Indonesia bakal terus diguyur dengan produk-produk impor melihat besarnya kelas menengah dan sifat konsumtif mereka. Dengan pola hidup konsumtif yang bertemu dengan ketersediaan barang-barang impor, bukan mustahil kelas menengah akan tanpa banyak pikir dalam  membelanjakan uangnya.

Lalu, mengapa kelas menengah ini cenderung berbelanja tidak terkontrol? Pertama, mungkin lantaran mereka merasa perlu merayakan kebebasan setelah lama terkungkung di dalam penderitaan sebagai orang melarat. Kedua, barangkali karena keinginan untuk unjuk kekayaan dengan membeli barang-barang peralatan rumah tangga, otomotif, telepon seluler terbaru, dan sebagainya. Mereka ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa status sosial mereka sudah berubah. Tidak lagi masuk kelas masyarakat miskin, melainkan sudah masuk kelompok berpunya dengan kepemilikan harta-benda itu.

Peningkatan pendapatan cenderung menggeser pola berbelanja, dari “kebutuhan” ke arah “keinginan”. Mencermati kecenderungan ini, maka kelas menengah  mesti hati-hati dan  mampu menahan nafsu berbelanja agar tidak mengeluarkan uang sekadar untuk  memenuhi keinginan, bukan kebutuhan yang sesungguhnya. Hal ini  harus benar-benar dilakukan jika tak ingin kelas menengah ini, terutama yang paling riskan adalah kelas menengah dengan  pengeluaran 2-4 dolar per hari, terpelanting dan jatuh miskin karena lebih besar pasak daripada tiang!

Ada dua hal positif yang bisa dilakukan oleh kelas menengah daripada sekadar memenuhi nafsu komsumtifnya. Pertama, meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat miskin. Pergeseran posisi ekonomi secara vertikal yang dicapai seyogianya juga meningkatkan kepedulian kelas menengah terhadap masyarakat miskin. Jangan hendaknya masyarakat kelas menengah hanya berkutat pada kepentingan sendiri dan menutup mata terhadap kondisi kaum miskin di sekitarnya. Dengan tumbuhnya kepedulian, maka mereka  ikut  berperan dalam membantu masyarakat miskin terlepas dari keterpurukannya sekaligus mempersempit kesenjangan ekonomi.

Kedua, kelebihan pendapat itu sebaiknya sebagian ditabung. Seperti dinyatakan ekonom Muhammad Chatib Basri, bahwa tabungan yang berlimpah akan membuat biaya investasi turun dan  pada gilirannya akan mendorong investasi. Ajakan ini sejalan dengan pesan lirik lagu bernada canda Titiek Puspa tempo dulu:  “bang bing bung yuk kita  ke bank/ bang bing bung yuk kita nabung/ tang ting tung he, jangan dihitung/tahu-tahunya kita pasti dapat untung.”

0 Response to "Kelas Menengah dan Perilaku Konsumtif"

Posting Komentar