Sudah Duduk, Lupa Berdiri

I Ketut Suweca

Judul artikel ini saya ambil dari pepatah lama yang menunjuk pada orang yang emoh meninggalkan kekuasaannya walau waktu lengser-nya sudah tiba. Ketidaksediaan melepaskan kekuasaan itu disebabkan enaknya duduk di kursi empuk kekuasaan. Ketika waktunya ia harus turun tahta, bukan main sulitnya. Secara mentalitas, orang seperti ini biasanya sudah sangat lama dan sangat betah berada pada wilayah atau area nyaman (comfort zone), sehingga enggan keluar dari situ. Penguasa yang telah mendapatkan banyak fasilitas dengan segala hak istimewa di dalamnya membutuhkan kearifan untuk bisa legowo meninggalkan kursi empuk kekuasaan secara suka rela.

Tentu saja, ungkapan ‘sudah duduk, lupa berdiri’ tidak hanya relevan dengan kekuasaan. Dalam hal-hal lain pun ungkapan itu dapat berlaku. Dalam dunia kewirausahaan, misalnya, seorang wirausahawan yang kini tengah menikmati hasil dari kemajuan usahanya tak boleh cepat merasa puas.
Ia mesti segera melakukan perubahan-perubahan menuju ke perbaikan atau peningkatan sekaligus mengcegah kemandekan. Dia tak boleh berlama-lama berada dalam zone nyaman, melainkan harus melakukan perubahan.
Orang yang sedang meniti karier pun seyogianya demikian. Kendati pun kini dia berhasil meraih posisi tinggi dalam perusahaan/institusi dan mendapatkan gaji yang sudah relatif besar bagi ukurannya, ia tak bisa berhenti berubah. Dia mesti selalu memperkuat kompetensinya sehingga menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ia  sama sekali tak boleh berhenti belajar jika tak ingin ‘ketinggalan kereta’ di era informasi ini.
Bagaimana dengan para penulis? Penulis yang berhasil dalam karier penulisannya sangat berbahaya kalau sampai lupa belajar, lupa men-charge dirinya saking nyamannya posisi dan kondisi yang diperolehnya kini. Penulis yang baik adalah dia yang selalu belajar dengan memperluas wawasannya tanpa pernah berhenti. Ia benar-benar menyadari bahwa dia adalah orang yang tahu bahwa sesungguhnya ia tidak tahu sehingga dia bersedia belajar. Ia menyadari betapa luas dan dalamnya samudra ilmu yang belum  diselami. Kerendahan hatinya pun senantiasa terjaga.
Jadi, apa pun pekerjaan seseorang, tak terkecuali sebagai penulis,  dia harus berani keluar dari zone nyaman dengan melakukan perubahan. Ia mesti bersiap-siap untuk perang, sebelum perang sesungguhnya terjadi. Laksana komandan militer, ia membangun ‘angkatan perang’-nya di masa damai, bukan baru mulai melakukan itu di masa perang. Itu harus dilakukannya  jika ingin mencapai kemajuan.
Demikian sapaan saya siang ini. Salam hangat untuk semua..

0 Response to "Sudah Duduk, Lupa Berdiri"

Posting Komentar