Memahami Filsafat Penelitian

Oleh :
I Ketut Suweca
I Made Sudarma

Apakah sifat manusia yang mendorongnya untuk mendapatkan hal-hal baru? Tiada lain adalah rasa ingin tahu (curiosity)-nya. Manusia juga mempunyai akal pikiran. Dengan akal pikirannya itu, manusia tergoda dan terus tergoda untuk mengetahui segala sesuatu yang ada pada dirinya dan di luar dirinya. Hal-hal yang tidak diketahui dan ingin diketahuinya itulah yang menyebabkannya terus-menerus berpikir. Menurut Deepak Coopra, setiap harinya ada 60.000 hal yang lalu-lalang dalam pikiran manusia! Sebagaian diantaranya, mungkin, pikiran yang penuh dengan tanda-tanya, misalnya, mengapa begini-begitu, apakah ini-itu, bagaimana caranya, di mana tempatnya, apa akibatnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab.

Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya berproses secara bertingkat, yaitu dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya, sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab “what” melainkan akan menjawab pertanyaan “why” dan “how”, misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernafas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu, tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.


Pengetahuan mempunyai sasaran, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal sehingga terbentuklah disiplin ilmu. Dengan perkataan lain, pengetahuan itu berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia. Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Namun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya, sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan. Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis. Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama, asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto). Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico). Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).

Arus Berpikir Epistemologi
Diskusi tentang arus utama berpikir dalam filsafat penelitian, juga dalam dunia filsafat pada umumnya ada tiga, yaitu : epistemologi, ontologi dan axiologi. Dengan cara berpikir epistemologi, berarti hendak diketahui dengan pasti bagaimana proses yang dimungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya/hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar? Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara, teknik dan sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa epistemologi membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui metode tertentu yang dinamakan dengan metode ilmiah. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pikiran (pengetahuan) yang lainnya. M. Lewis dan Saunders mengatakan bahwa “epistemology concerns what constitutes acceptable knowledge in a field of study” Diperlukan aturan dasar yang sesuai dalam pembentukan suatu lapangan ilmu, sehingga hasil riset yang dilakukan tidak bias dan lebih obyektif.
Untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, yang disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan, diperlukan cara pendekatan atau metode ilmiah, dengan langkah-langkah sebagai berikut : perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan ( Suriasumantri, 1988: 119-128).
Dalam hal menentukan masalah yang hendak dikaji secara ilmiah, masalah haruslah dibatasi secara spesifik di tengah-tengah luasnya permasalahan yang ada di dunia. Dalam kaitannya dengan penelitian, M. Lewis dan Saunders menyatakan bahwa “the research philosophy you adopt contains important assumptions about the way in which you view the world”. Setelah menentukan secara spesifik masalah dalam penelitian, barulah dapat ditentukan strategi riset dan metode yang dipilih
Selanjutnya, jika seorang periset bekerja di atas prinsip “positivisme”, maka ia melihat masalah secara apa adanya (natural). Dalam hal ini, periset/peneliti bekerja dengan melihat realitas sosial yang ada dan hasil yang didapatkannya merupakan generalisasi dari realitas itu. Jadi, seorang periset dalam bekerja lebih memilih bekerja dengan fakta-fakta, dan sebisa mungkin, bebas nilai untuk menjaga obyektivitas hasil kerjanya.
Kesimpulannya adalah bahwa manusia sesuai fitrahnya memiliki kemampuan berpikir, sesuatu yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Dengan kemampuan berpikir ini, ditambah pula dengan rasa ingin tahu (curiosity), manusia berupaya memahami dirinya sendiri dan fenomena-fenomena yang ada di sekelilingnya. Dari situ, manusia mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan. Tidak puas sebatas itu, manusia pun ingin mendapatkan tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi, yakni ilmu pengetahuan. Untuk mendapatkan ilmu, manusia harus memahami segenap proses yang diperlukan, termasuk harus bekerja dengan metode ilmiah yang diterapkan ke dalam berbagai penelitian. Penelitian yang dilandasi oleh cara positivisme akan melahirkan hasil penelitian yang spesifik, tidak bias, dan sesuai dengan fakta.

0 Response to "Memahami Filsafat Penelitian"

Posting Komentar