Menyapu dengan Sapu Bersih
Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si
Saya termasuk orang yang menaruh rasa hormat dan simpati kepada polisi. Ini berangkat dari pengamatan saya terhadap para petugas lapangan yang mesti menjaga ketertiban dan keamanan. Misalnya, ketika sikap anarkhis pengunjuk rasa menjadi-jadi, polisi harus merangsek masuk, menjaga agar unjuk rasa tidak bertambah liar. Disitu, sering terjadi oknum pengunjuk rasa yang tak puas lalu memungut batu atau barang apapun yang bisa diambil dan nimpugin polisi. Dalam kedaan seperti itu, polisi dituntut sanggup mengendalikan diri sehingga tak terpancing ikut emosi. Demikian pula polisi lalu-lintas harus bertugas di bawah guyuran hujan atau di bawah terik matahari saat mengatur lalu lintas yang sedang macet. Ada pula yang dengan sabar dan penuh kasih membimbing seorang nenek atau anak-anak menyeberang jalan. Juga, ada Polwan lalu-lintas yang bertugas di jalan hingga malam hari. Dan, masih sederet panjang bentuk pengabdian lainnya.
Dalam hubungannya dengan pertanyaan bagaimana mewujudkan polisi yang bersih, pertama-tama dimulai dari sistem rekrutmen. Penerimaan anggota kepolisian hendaklah dilakukan sesuai dengan aturan. Pastikan tidak ada ‘jalur belakang’ yang mempergunakan sejumlah uang untuk menentukan seseorang itu lolos seleksi atau tidak. Seleksi hendaklah benar-benar dilakukan secara transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Kalau dalam proses rekrutmen ini memakai uang sogokan, tak pelak lagi polisi yang dihasilkan adalah ia yang dipenuhi oleh pikiran kapan uang setoran di awal itu akan kembali. Bisa jadi akan dilakukan cara-cara yang berlawanan dengan hukum untuk minimal membuat impas antara setoran di awal dengan perolehannya di saat bertugas.
Kedua, pola remunerasi. Apakah pola penggajian kepolisian kita kini sudah baik? Adakah penghasilan yang diterima polisi kita cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal keluarganya? Kalau di salah satu departemen, seorang golongan IIIA mendapat gaji Rp.12 jutaan rupiah, bagaimana dengan para polisi kita yang pangkat golongannya setara dengan itu? Saya sependapat kalau gaji para aparat penegak hukum di lembaga kepolisian ini secara keseluruhan ditingkatkan dan disesuaikan dengan pangkat/golongan, tanggung jawab, prestasi kerja, masa kerja, tempat bertugas, sehingga polisi kita hidup layak dan dapat berkonsentrasi penuh terhadap tugasnya. Gaji merupakan variabel utama yang berpengaruh terhadap kinerja dan disiplin aparatur di samping sejumlah variabel lain.
Ketiga, sistem kontrol. Setiap lembaga negara dan pemerintahan pada umumnya memiliki sistem kontrol yang bersifat internal. Sistem ini harus berfungsi baik, sehingga sedini mungkin dapat mencegah tindakan penyalahgunaan wewenang. Di sisi eksternal, peran masyarakat menjadi penting dalam mewujudkan polisi bersih. Jangan ada masyarakat yang di satu sisi menghendaki polisi bersih, sedangkan di sisi lain, masyarakat sendiri justru mendorong polisi untuk melanggar aturan dan etika kepolisian deengan, misalnya, menyuap atau menyogok petugas. Kalau menerima sogokan polisi dicibir, kalau menolak polisi dibilang mentang-mentang.. Jadi, serba salah deh polisi kita!
Kontrol internal dan eksternal selalu penting dan perlu guna mencegah penyalahgunaan wewenang secara individual maupun kolektif. Menyitir ucapan ahli politik, Lord Acton, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Dan, kekuasaan tanpa kontrol pasti korup. Itulah alasan mengapa kontrol itu perlu. Dengan sistem kontrol yang berjalan baik dapat diharapkan akan tercipta aparat yang bersih. Hanya aparat yang bersih yang sanggup menegakkan hukum sekaligus membersihkan hal-hal kotor di masyarakat, seperti kasus-kasus kriminal, teroris, dan lainnya yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Bukankah hanya sapu bersih yang dapat membersihkan lantai?. Hormat saya kepada aparat kepolisian yang penuh dedikasi dan loyalitas dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
0 Response to "Menyapu dengan Sapu Bersih"
Posting Komentar