Oleh I Ketut Suweca
Berawal dari Inggris, ekonomi kreatif kini banyak diadopsi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan komposisi jumlah penduduk usia muda sekitar 43 persen atau sekitar 103 juta orang, Indonesia memiliki sumberdaya manusia yang cukup besar bagi keberhasilan pembangunan ekonomi kreatif. Belum lagi potensi lainnya, seperti kepulauan Indonesia yang luas, terdiri atas 17.504 pulau dengan keragaman flora dan fauna serta kekayaan budaya bangsa dengan 1.068 suku bangsa, dan berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh Indonesia. Kekayaan ini adalah potensi besar dalam mendukung tumbuhnya industri kreatif Indonesia yang saat ini memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp.104,6 triliun.
Data menyebutkan, rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia tahun 2002-2006 sebesar 6,3 persen dari total PDB nasional. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp.81,4 triliun dan berkontribusi sebesar 9,13 persen terhadap total ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta orang. Industri kreatif menduduki peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. PDB industri kreatif didominasi oleh kelompok busana (fashion), kerajinan, periklanan, dan desain. Jika dikelola dengan baik, kontribusinya terhadap PDB akan terus naik secara signifikan. Kontribusi ekonomi yang sangat signifikan inilah yang menjadi alasan mengapa industri kreatif Indonesia perlu terus dikembangkan. Selain itu, industri kreatif juga menciptakan iklim bisnis yang positif.
Pemerintah telah mengidentififikasi lingkup industri kreatif mencakup 14 subsektor, yakni permainan interaktif, peranti lunak (software), periklanan, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, film, video dan fotografi, kerajinan, arsitektur, busana (fashion), desain, musik, pasar dan barang seni, serta penerbitan dan percetakan.
Kesungguhan Pemerintah
Perombakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merupakan angin segar bagi para pelaku ekonomi kreatif. Lebih-lebih lagi, ada dua kementerian lainnya yang terlibat langsung dengan pengembangan ekonomi kreatif ini, yakni Kementerian Pedagangan dan Kementerian Perindustrian. Koordinatornya adalah Menko Kesra RI. Hal ini menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam mengembangkan ekonomi kreatif melalui indutri kreatif yang sudah dan akan terus dikembangkan.
Sinergi antarkementerian ini mesti diperkuat, juga harus jelas siapa mengerjakan apa, agar tak terjadi tumpang tindih kapling tugas. Sinergitas seharusnya menghasilkan output jauh lebih baik dibandingkan jika masing-masing kementerian bekerja sendiri-sendiri. Untuk menciptakan sinergi yang benar-benar solid, Menko Kesra dapat bertindak sebagai koordinator aktif yang menyatupadukan konsep dan gerak langkap pengembangan ekonomi kreatif ini.
Beberapa faktor yang disebutkan menjadi problematika pengembangan ekonomi kreatif melalui industri-industri kreatif, yakni: 1). kurangnya jumlah dan kualitas SDM kreatif; 2). rendahnya penghargaan terhadap para pelaku industri kreatif; 3). lambatnya upaya mengakselerasi tumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi dengan pengembangan akses pasar dan inovasi industri kreatif; 4). keterbatasan akses pada bahan baku; 5). kesulitan permodalan; 6). perlindungan hak cipta; dan 7). ketersediaan ruang public.
Upaya Mengatasi Problem
Problem ekonomi kreatif diharapkan akan dapat ditangani secara bertahap dan terencana dengan baik. Hendaknya, dalam persiapan program aksi, dilibatkan pemerintah daerah setempat. Sebab, pemerintah di tingkat lokal-lah yang memahami industri-industri kreeatif yang berpotensi untuk dikembangkan. Pemerintah di tingkat lokal pun mesti menerima masukan dari para pelaku induttri kreatif untuk mendapatkan masukan dengan lebih akurat apa masalah yang dihadapi dan harapan ke depan yang ingin dicapai.
Pertama, tentang kurangnya jumlah dan kualitas SDM kreatif. Disebutkan bahwa, secara kuantitas dan kualitas, SDM kreatif belum memadai. Penulis meyakini, kreativitas anak negeri ini tak bisa diragukan. Apalagi seperti diteorikan oleh Florida, setiap orang pada dasarnya kreatif. Potensi kreatif ini, hanya perlu ditumbuhkembangkan. Dalam hubungan ini, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang mengedepankan inovasi dan kreativitas produk. Perguruan-perguruan tinggi bisa turut berperan dalam hal ini. Bukan melulu menghadirkan ilmu kewirausahaan yang memang penting dan dibutuhkan, bahkan juga bagaimana membangun manusia kreatif dan inovatif. Dalam industri kreatif, kemampuan menciptakan ide-ide kreatiflah yang terpenting. Modalnya adala “isi kepala” yang terletak di antara dua telinga manusia.
Kedua, rendahnya penghargaan terhadap industri kreatif. Kalau penghargaan itu dimaksud berasal dari masyarakat, tentu karena masyarakat melihat indutri kreatif masih belum bisa berkembang dengan baik. Kepercayaan terhadap ini baru akan tumbuh apabila, misalnya, ada industri kreatif yang telah berhasil mendatangkan kesejahteran bagi pelaku dan masyarakat sekitarnya. Jika penghargaan itu belum muncul dari pemerintah, maka pemerintah seharusnya segera mempersiapkan dan memberikan penghargaan kepada siapapun anggota masyarakat yang berhasil menciptakan suatu karya kreatif dan inovatif yang dapat dibanggakan dan dikembangkan.
Ketiga, lambatnya akselerasi teknologi. Diakui bahwa peran teknologi sangat vital dalam pengembangan indutri kreatif. Bukan hanya dalam hal mengakses informasi pasar dan penemuan-penemuaan terbaru, bahkan juga dalam hal penggunaan peralatan berteknologi canggih dalam proses industri. Kini, akses informasi sudah jauh lebih maju daripada beberapa dekade sebelumnya. Tidaklah sulit bagi siapapun untuk mengakses perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kemajuan teknologi yang berlangsung di seantero dunia. Namun, yang perlu ditangani adalah penguasaan teknologi yang berkaitan dengan proses penciptaan produk kreatif itu. Di sini, lagi-lagi perlu pembelajaran atas inisiatif pelaku industri dengan bantuan lembaga swasta dan pemerintah.
Keempat, keterbatasan akses terhadap bahan baku. Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hubungan ini. Ada kemungkinan, bahan baku yang tersedia terbatas adanya sehingga akan sulit mendapatkannya dalam jangka panjang. Penanggulangannya, tentu harus disinkronkan dengan penghasil bahan baku itu sehingga pelaku industri kreatif tak kekurangan bahan baku. Ada pula terjadi kemungkinan lainnya, bahan baku tersedia, tetapi tidak diketahui di mana keberadaannya. Tentu saja, lagi-lagi diperlukan akses informasi melalui media yang ada, terutama media online. Setiap produsen perlu didorong untuk mempublikasikan bahan baku yang dihasilkan sehingga dengan cepat dapat diakses bahkan dipesan oleh pelaku industri kreatif di tempat lain yang jauh jaraknya.
Kelima, kesulitan permodalan. Diakui bahwa pihak perbankan pada umumnya masih belum berani memberikan bantuan permodalan kepada indutri kreatif. Ini terutama karena industri ini lebih bersifat intangible, tidak fisikal. Diperlukan pendekatan dan kerjasama pada tingkat pemerintah untuk menciptakan kemudahan bagi para pelaku indutri kreatif agar mendapatkan modal. Kalau dibiarkan sendiri para pelaku ini berhubungan dengan pihak perbankan, mungkin akan tetap saja sulit mendapatkan modal. Tetapi, kalau difasilitasi oleh pemerintah dengan perbankan di tingkatan pengambil kebijakan, tentu persoalannya tak lagi rumit.
Keenam, masalah perlindungan hak cipta. Banyak dikeluhkan, bahwa untuk mendapatkan hak cipta hasil penelitian, misalnya, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Dalam era ekonomi kreatif, isu penting yang harus diatasi adalah pembajakan. Buku, musik, atau perangkat lunak sulit untuk dibuat, tetapi dengan mudah digandakan, apalagi dengan kehadiran internet. Padahal, pencurian hak cipta intelektual sangat mematikan inovasi dan kreativitas. Inilah problem yang membuat orang kadang-kadang enggan mengurus hak cipta. Apalagi di dalam masyarakat kita belum terlalu mempedulikan hak cipta ini. Hasil kreasinya dipandang sebagai milik bersama yang boleh ditiru tanpa merasa perlu komplain. Bahkan, dalam masyarakat masih terdapat pandangan, kalau produk kreatif yang dihasilkan ditiru oleh orang lain, malah jadi kebanggaan. Peningkatan pemahaman akan hak cipta dan penanggulangan pembajakan karya cipta memang harus terus diupayakan.
Ketujuh, ketersediaan ruang publik yang terbatas. Untuk mempromosikan produk industri kreatif ada banyak pilihan. Promosi melalui media online/internet dengan membuat website/situs, bisa pula promosi melalui ruang-ruang publik yang tersedia. Penulis pikir, hal ini tak terlalu masalah, sebab di daerah-daerah terserak ruang publik yang bisa dipakai sebagai ajang pameran indutri kreatif. Gedung-gedung milik pemerintah daerah bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ini. Ada juga galeri-galeri dan areal-areal pameran yang dikelola swasta yang bisa dimanfaatkan melalui kerjasama yang saling menguntungkan. Bila dianggap belum cukup, bisa dibangun ruang-ruang publik yang secara kontinu bisa menjadi tempat mempromosikan produk kreatif hasil masyarakat di sekitarnya.
Akhirnya, semoga ekonomi kreatif Indonesia melalui industri-industri kreatifnya dapat berkembang menjadi identitas dan kebanggaan bangsa, sekaligus sebagai sumber kesejahteraan masyarakat yang dapat diandalkan.