Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal

I Ketut Suweca

Melacak perkembangan ekonomi kreatif, tak bisa lepas dari kemunculannya untuk  pertama kali di Inggris. Saat itu,  John Howkins (2001) menulis buku Creative Economy, How People Make Money from Ideas. John Howkins adalah seorang yang berkebangsaan Inggris yang memiliki multiprofesi. Di samping sebagai pembuat film, ia juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintahan Inggris. Dia banyak terlibat dalam berbagi diskusi pembentukan kebijakan ekonomi kreatif di kalangan pemerintahan negara-negara Eropa.
John Howkins mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya, dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Konsep ekonomi kreatif itu kemudian dikembangkan oleh ekonom Richard Florida (2001) dari Amerika Serikat. Dalam buku The Rise of Creative Class dan Cities and Creative Class, Florida mengulas tentang industri kreatif di masyarakat. Menurutnya, manusia pada dasarnya adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun perbedaannya ada pada statusnya, karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif dan mendapatkan kemanfaatan ekonomi secara langsung dari aktivitas yang digeluti. (Moelyono, 2010).  Negara, wilayah, atau daerah yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang persaingan di era ekonomi global ini.
Berawal dari Inggris, ekonomi kreatif kini banyak diadopsi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan komposisi jumlah penduduk usia muda sekitar 43 persen atau sekitar 103 juta orang, Indonesia memiliki sumberdaya manusia yang cukup besar bagi keberhasilan pembangunan ekonomi kreatif. Belum lagi potensi lainnya, seperti kepulauan Indonesia yang luas, terdiri atas 17.504 pulau dengan keragaman flora dan fauna serta kekayaan budaya bangsa dengan 1.068 suku bangsa, dan berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh Indonesia. Kekayaan ini adalah potensi besar dalam mendukung tumbuhnya industri kreatif Indonesia yang saat ini memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp.104,6 triliun.
Data menyebutkan, rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia tahun 2002-2006 sebesar 6,3 persen dari total PDB nasional. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp.81,4 triliun dan berkontribusi sebesar 9,13 persen terhadap total ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta orang. Industri kreatif menduduki peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. PDB industri kreatif didominasi oleh kelompok busana (fashion), kerajinan, periklanan, dan desain. Jika dikelola dengan baik, kontribusinya terhadap PDB akan terus naik secara signifikan. Kontribusi ekonomi yang sangat signifikan inilah yang menjadi alasan mengapa industri kreatif Indonesia perlu terus dikembangkan. Selain itu, industri kreatif juga menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun kebanggaan dan  identitas bangsa Indonesia.
Pemerintah telah mengidentififikasi lingkup industri kreatif mencakup 14 subsektor, yakni permainan interaktif, peranti lunak (software), periklanan, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, film, video dan fotografi, kerajinan, arsitektur, busana (fashion), desain, musik, pasar dan barang seni, serta penerbitan dan percetakan.
Kesungguhan Pemerintah
Perombakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merupakan angin segar bagi para pelaku ekonomi kreatif. Lebih-lebih lagi,  ada dua kementerian lainnya yang terlibat langsung dengan pengembangan ekonomi kreatif ini, yakni Kementerian Pedagangan dan Kementerian Perindustrian. Koordinatornya adalah Menko Kesra RI. Hal ini menunjukan kesungguhan pemerintah dalam mengembangkan ekonomi kreatif melalui indutri kreatif yang sudah dan akan terus dikembangkan.
Sinergi antarkementerian ini mesti diperkuat, juga harus jelas siapa mengerjakan apa, agar tak terjadi tumpang tindih kapling tugas. Sinergitas seharusnya menghasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan jika masing-masing kementerian bekerja sendiri-sendiri. Untuk menciptakan sinergi yang benar-benar solid,  Menko Kesra dapat bertindak sebagai koordinator aktif yang menyatupadukan konsep dan gerak langkap pengembangan ekonomi kreatif ini.
Berbasis Budaya Lokal
Menumbuhkembangkan ekonomi kreatif tak bisa lepas dari budaya setempat. Budaya harus menjadi basis pengembangannya. Dalam kebudayaan lokal ada yang disebut dengan kearifan local (local genius) yang menjadi nilai-nilai bermakna,  antara lain,  diterjemahkan ke dalam bentuk fisik berupa produk kreatif daerah setempat. Revrisond Baswir, ekonom Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa ekonomi kreatif tidak bisa dilihat dalam konteks ekonomi saja,  tetapi juga dimensi budaya. Ide-ide kreatif yang muncul adalah produk budaya. Karenanya, strategi kebudayaan sangat menentukan arah perkembangan ekonomi kreatif
Setiap daerah/wilayah pada umumnya memiliki potensi produk yang bisa diangkat dan dikembangkan. Keunikan atau kekhasan produk lokal itulah yang mesti menjadi intinya lalu ditambah unsur kreativitas dengan sentuhan teknologi. Silakan saja satu daerah dan daerah lain memiliki produk yang sejenis, namun setiap daerah mesti mempertahankan ciri khasnya.
Dalam hal ini mesti dihindari penyeragaman antardaerah/wilayah. Jika ini dilakukan juga, maka nilai keunikan dan kekhasan  akan hilang. Berikan berkembang apa yang ada di daerah setempat, dan inilah yang dipadukan dengan kemampuan manusia yang inovasi-kreatif. Hanya dengan demikian keunggulan komparatif bisa terjaga dan  daya saing produk bisa dipertahankan.
Akhirnya, kta menaruh harapan semoga ekonomi kreatif melalui industri-industri kreatif bisa berkembang dengan baik di negeri ini. Jika ini berkembang, maka tak hanya produk domestik bruto (PDB) yang meningkat, lapangan kerja juga kian terbuka sehingga pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi secara bertahap.

0 Response to "Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal"

Posting Komentar