Ide, Penulis, dan Pembaca
Oleh I Ketut Suweca
Keluhan tentang sulitnya mendapatkan ide untuk dijadikan bahan tulisan sudah kerap kita dengar dan baca. Para penulis pemula yang paling banyak mengeluhkan hal ini. Benar, bahwa menulis itu memerlukan bahan mentah untuk ditulis. Kalau kita miskin ide atau gagasan, apa yang mau ditulis? Kalau pun dipaksa menulis, maka hasilnya tidak seperti kita harapkan, jauh dari berkualitas.
Adakah cara manjur mengatasi kekeringan ide? Sesungguhnya, kekeringan ide itu terjadi karena tidak ada upaya untuk mengatasinya. Mungkin lantaran tidak tahu caranya atau tidak mau melakukannya. Kalau upaya itu ada, kekeringan ide tidak akan pernah muncul. Lalu, bagaimana mengatasi kekeringan ide itu?
Mulailah menulis dari apa yang kita pikirkan, apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, apa yang kita alami, apa yang kita baca. Indera-indera kita setiap waktu mampu menangkap berbagai fenomena yang terjadi di luar diri dan merefleksikannya ke dalam pikiran dan hati. Apa yang kita lihat di luar sana? Apa yang kita rasakan dan alami? Tulis saja itu sebagai langkah awal.
Tentu saja tidak cukup hanya dengan menangkap dan merefleksikan fenomena yang ada. Itu adalah langkah pertama sebelum masuk ke langkah berikutnya, yakni mencari bahan/referensi tulisan itu. Referensi itu perlu untuk menambah bobot pada karya kita. Dalam kaitan ini, mungkin yang diperlukan adalah data pendukung, kata/ucapan para tokoh, sedikit humor, atau lainnya. Masukkan saja itu ke dalam tulisan kita sepanjang perlu.
Jangan pernah dilupakan opini atau pandangan kita sendiri. Jangan hanya mengkompilasi pendapat atau informasi yang diperoleh. Tulisan seperti itu kurang berharga. Yang membuatnya berharga justru karena di dalamnya ada opini orisinal sang penulisnya. Apa pendapat penulis tentang suatu peristiwa? Apa pendapat penulis tentang pandangan orang lain? Apa pula pendapat penulis tentang fenomena yang terjadi? Orang harus punya pendapat sendiri dalam tulisan. Tidaklah baik sebuah tulisan yang hanya kumpulan hasil copypaste sejumlah pendapat yang diurut begitu rupa. Dari sisi kebaruannya, ini benar-benar tidak tercermin. Apakah kita tidak memiliki pendapat? Mustahil bukan? Karena setiap orang, apalagi yang berpredikat sebagai penulis punya pendapat -- karena ini modal dasarnya -- maka kemukakan saja ke dalam tulisan.
Mengikat Ide yang Berkeliaran
Saya acapkali merasakan hadirnya berbagai ide ke dalam pikiran. Ia singgah sebentar, lalu pergi. Tak diundang ia datang, tak diusir dia pergi. Ide-ide itu datang dan pergi sekehendak hati. Dan, saya hanya sebagai penonton permainannya. Entah berapa banyak ide-ide baru yang terlewatkan begitu saja. Sesekali saya merasa kecewa karena kehilangan ide-ide itu. Saya pun terkadang berusaha mengundangnya untuk kembali, tapi gagal. Ide yang hilang tetap hilang, emoh kembali. Begitulah yang pernah terjadi, dulu, ketika ide-ide itu datang dan pergi begitu saja tanpa saya berbuat sesuatu apa pun terhadapnya.
Ide adalah sebuah karunia Tuhan yang tiada taranya, yang kalau dikelola dengan baik, akan sangat berguna. Perhatikanlah di sekitar, bagaimana sebuah ide awal yang tampaknya sepele menjadi sesuatu yang berharga setelah dimanfaatkan, diwujudkan, dan dikembangkan. Banyak orang, di antaranya pengusaha, yang kini maju dalam bidangnya, pada awalnya dimulai dari sebuah ide sederhana. Kita tidak terlalu sulit menemukan mereka yang berhasil dalam bidangnya berawal dari sebuah ide yang tampak sepele.
Lalu, sebagai orang yang berniat luhur menjadi penulis sukses, apa yang bisa kita lakukan? Adakah kita akan membiarkan saja ide-ide yang datang dan pergi begitu saja sebagaimana yang pernah saya lakukan dulu, tanpa berikhtiar untuk berbuat sesuatu terhadapnya? Seorang yang mempunyai obsesi besar menjadi penulis tak akan pernah membiarkan ide-ide itu wara-wiri, melainkan akan menangkap dan mengikat mereka dengan tali yang paling kuat. Tali yang paling kuat yang dipergunakan penulis adalah catatan. Ya, dengan mencatat ide-ide itu. Mencatat berarti menangkap, mencatat berarti mengikat. Dengan mencatatnya, maka ide itu tak akan bisa lagi berkeliaran ke mana-mana. Alih-alih berkeliaran, ia malah mengundang anak-anaknya, cucunya, cicitnya datang mendekat. Seorang penulis harus cepat dan dengan sigap mengikat satu keluarga besar itu sekaligus. Bukan untuk menyiksa mereka, tapi untuk membuat mereka rapi dan elok sehingga bisa ditampilkan di panggung pertunjukan pembaca. Keindahan tariannya, kemolekan penampilannya, membuat para pembaca berdecak kagum, sampai-sampai ada yang berani membayar mahal pada sang sutradara pertunjukan, yakni penulisnya.
Mari kita ikat ide-ide yang datang dengan mencatatnya di buku, ipad, handphone, dan sarana apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk itu. Setelah itu, ide-ide tersebut kita kemas dan kembangkan sedemikian rupa sehingga bisa tampil sebagai sebuah karya tulis yang menarik dan bernas. Mengikat ide, itulah tugas sang penulis.
Bagaimana Penulis Memperlakukan Pembaca?
Untuk apa sih orang menulis? Mungkin saja untuk sekadar menumpahkan unek-unek. Ini terutama dilakukan di buku harian (diary). Tetapi, kegiatan menulis/mengarang pada umumnya dilakukan oleh seorang pengarang dengan maksud agar dinikmati orang lain (pembaca) melalui buku, koran, majalah, atau media online. Sebuah tulisan, apa pun bentuknya, baru membawa kebermanfaatan apabila mampu mengusung maksud sang empunya, yakni menyampaikan pesan (ide, nilai) kepada pembaca. Karena tulisan itu akan bersentuhan dengan pikiran dan hati pembaca, maka seorang penulis yang bijak niscaya akan memperhitungkan pembaca.
Bagaimana penulis melakukan semua itu? Maksudnya, bagaimana dia mampu memandang pembaca sedemikian rupa agar pesan dalam tulisannya tepat mengena di pikiran dan hati pembacanya? Penulis yang bijak tentu akan berbuat kebajikan melalui tulisannya dengan mengakomodasi kepentingan calon pembaca melalui hal-hal berikut ini :
Pertama, cara penulis memandang tingkat pendidikan pembaca. Pemimpin Redaksi Harian Keng Po di Jakarta tahun 1950-an, Injo Beng Goat, mengatakan bahwa kalau dia menulis tajuk rencana, maka yang dibayangkan di depan matanya ialah pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamatan SMP. Itu dulu. Tapi, kini dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik, kita dapat saja memprediksi pembaca tulisan kita itu rata-rata berpendidikan SMA. Tentu ada pembaca yang mempunyai pendidikan lebih tinggi dari SMA, atau lebih rendah. Nah, dengan mengambil jalan tengah, yakni rata-rata SMA, maka penulis bisa menentukan cara pengungkapan pesan yang relevan.
Kedua, cara penulis memperlakukan pembaca. Ini terkait dengan persoalan karakter penulis : seperti apa ia melihat orang lain? Apakah ia memandang pembaca berderajat lebih rendah dibanding dirinya? Apakah sebaliknya, dia memandang pembaca lebih tinggi derajatnya daripada dirinya? Atau, ia memandang pembaca sejajar atau sepadan dengan dirinya? Bagaimana ia memandang pembaca, seperti itulah ‘rasa’ tulisan yang akan diciptakannya. Apakah terasa oleh pembaca tulisannya menggurui, mendoktrinasi, mengancam, dan mencela dengan kasar? Atau, apakah terasa oleh pembaca tulisannya mengajak, mendorong, dan menggelitik dengan santun? Tulisan mencerminkan karakter penulisnya.
Berkaitan dengan itu, mari kita berusaha untuk menebar kebajikan dengan menulis secara sederhana sehingga gampang dicerna pembaca. Mari kita juga berupaya menjaga kesantunan berbahasa yang tercermin dari tulisan yang kita ciptakan. Tulisan kita berbicara dengan lantang tentang siapa kita sesungguhnya.
Tentu saja tidak cukup hanya dengan menangkap dan merefleksikan fenomena yang ada. Itu adalah langkah pertama sebelum masuk ke langkah berikutnya, yakni mencari bahan/referensi tulisan itu. Referensi itu perlu untuk menambah bobot pada karya kita. Dalam kaitan ini, mungkin yang diperlukan adalah data pendukung, kata/ucapan para tokoh, sedikit humor, atau lainnya. Masukkan saja itu ke dalam tulisan kita sepanjang perlu.
Jangan pernah dilupakan opini atau pandangan kita sendiri. Jangan hanya mengkompilasi pendapat atau informasi yang diperoleh. Tulisan seperti itu kurang berharga. Yang membuatnya berharga justru karena di dalamnya ada opini orisinal sang penulisnya. Apa pendapat penulis tentang suatu peristiwa? Apa pendapat penulis tentang pandangan orang lain? Apa pula pendapat penulis tentang fenomena yang terjadi? Orang harus punya pendapat sendiri dalam tulisan. Tidaklah baik sebuah tulisan yang hanya kumpulan hasil copypaste sejumlah pendapat yang diurut begitu rupa. Dari sisi kebaruannya, ini benar-benar tidak tercermin. Apakah kita tidak memiliki pendapat? Mustahil bukan? Karena setiap orang, apalagi yang berpredikat sebagai penulis punya pendapat -- karena ini modal dasarnya -- maka kemukakan saja ke dalam tulisan.
Mengikat Ide yang Berkeliaran
Saya acapkali merasakan hadirnya berbagai ide ke dalam pikiran. Ia singgah sebentar, lalu pergi. Tak diundang ia datang, tak diusir dia pergi. Ide-ide itu datang dan pergi sekehendak hati. Dan, saya hanya sebagai penonton permainannya. Entah berapa banyak ide-ide baru yang terlewatkan begitu saja. Sesekali saya merasa kecewa karena kehilangan ide-ide itu. Saya pun terkadang berusaha mengundangnya untuk kembali, tapi gagal. Ide yang hilang tetap hilang, emoh kembali. Begitulah yang pernah terjadi, dulu, ketika ide-ide itu datang dan pergi begitu saja tanpa saya berbuat sesuatu apa pun terhadapnya.
Ide adalah sebuah karunia Tuhan yang tiada taranya, yang kalau dikelola dengan baik, akan sangat berguna. Perhatikanlah di sekitar, bagaimana sebuah ide awal yang tampaknya sepele menjadi sesuatu yang berharga setelah dimanfaatkan, diwujudkan, dan dikembangkan. Banyak orang, di antaranya pengusaha, yang kini maju dalam bidangnya, pada awalnya dimulai dari sebuah ide sederhana. Kita tidak terlalu sulit menemukan mereka yang berhasil dalam bidangnya berawal dari sebuah ide yang tampak sepele.
Lalu, sebagai orang yang berniat luhur menjadi penulis sukses, apa yang bisa kita lakukan? Adakah kita akan membiarkan saja ide-ide yang datang dan pergi begitu saja sebagaimana yang pernah saya lakukan dulu, tanpa berikhtiar untuk berbuat sesuatu terhadapnya? Seorang yang mempunyai obsesi besar menjadi penulis tak akan pernah membiarkan ide-ide itu wara-wiri, melainkan akan menangkap dan mengikat mereka dengan tali yang paling kuat. Tali yang paling kuat yang dipergunakan penulis adalah catatan. Ya, dengan mencatat ide-ide itu. Mencatat berarti menangkap, mencatat berarti mengikat. Dengan mencatatnya, maka ide itu tak akan bisa lagi berkeliaran ke mana-mana. Alih-alih berkeliaran, ia malah mengundang anak-anaknya, cucunya, cicitnya datang mendekat. Seorang penulis harus cepat dan dengan sigap mengikat satu keluarga besar itu sekaligus. Bukan untuk menyiksa mereka, tapi untuk membuat mereka rapi dan elok sehingga bisa ditampilkan di panggung pertunjukan pembaca. Keindahan tariannya, kemolekan penampilannya, membuat para pembaca berdecak kagum, sampai-sampai ada yang berani membayar mahal pada sang sutradara pertunjukan, yakni penulisnya.
Mari kita ikat ide-ide yang datang dengan mencatatnya di buku, ipad, handphone, dan sarana apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk itu. Setelah itu, ide-ide tersebut kita kemas dan kembangkan sedemikian rupa sehingga bisa tampil sebagai sebuah karya tulis yang menarik dan bernas. Mengikat ide, itulah tugas sang penulis.
Bagaimana Penulis Memperlakukan Pembaca?
Untuk apa sih orang menulis? Mungkin saja untuk sekadar menumpahkan unek-unek. Ini terutama dilakukan di buku harian (diary). Tetapi, kegiatan menulis/mengarang pada umumnya dilakukan oleh seorang pengarang dengan maksud agar dinikmati orang lain (pembaca) melalui buku, koran, majalah, atau media online. Sebuah tulisan, apa pun bentuknya, baru membawa kebermanfaatan apabila mampu mengusung maksud sang empunya, yakni menyampaikan pesan (ide, nilai) kepada pembaca. Karena tulisan itu akan bersentuhan dengan pikiran dan hati pembaca, maka seorang penulis yang bijak niscaya akan memperhitungkan pembaca.
Bagaimana penulis melakukan semua itu? Maksudnya, bagaimana dia mampu memandang pembaca sedemikian rupa agar pesan dalam tulisannya tepat mengena di pikiran dan hati pembacanya? Penulis yang bijak tentu akan berbuat kebajikan melalui tulisannya dengan mengakomodasi kepentingan calon pembaca melalui hal-hal berikut ini :
Pertama, cara penulis memandang tingkat pendidikan pembaca. Pemimpin Redaksi Harian Keng Po di Jakarta tahun 1950-an, Injo Beng Goat, mengatakan bahwa kalau dia menulis tajuk rencana, maka yang dibayangkan di depan matanya ialah pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamatan SMP. Itu dulu. Tapi, kini dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik, kita dapat saja memprediksi pembaca tulisan kita itu rata-rata berpendidikan SMA. Tentu ada pembaca yang mempunyai pendidikan lebih tinggi dari SMA, atau lebih rendah. Nah, dengan mengambil jalan tengah, yakni rata-rata SMA, maka penulis bisa menentukan cara pengungkapan pesan yang relevan.
Kedua, cara penulis memperlakukan pembaca. Ini terkait dengan persoalan karakter penulis : seperti apa ia melihat orang lain? Apakah ia memandang pembaca berderajat lebih rendah dibanding dirinya? Apakah sebaliknya, dia memandang pembaca lebih tinggi derajatnya daripada dirinya? Atau, ia memandang pembaca sejajar atau sepadan dengan dirinya? Bagaimana ia memandang pembaca, seperti itulah ‘rasa’ tulisan yang akan diciptakannya. Apakah terasa oleh pembaca tulisannya menggurui, mendoktrinasi, mengancam, dan mencela dengan kasar? Atau, apakah terasa oleh pembaca tulisannya mengajak, mendorong, dan menggelitik dengan santun? Tulisan mencerminkan karakter penulisnya.
Berkaitan dengan itu, mari kita berusaha untuk menebar kebajikan dengan menulis secara sederhana sehingga gampang dicerna pembaca. Mari kita juga berupaya menjaga kesantunan berbahasa yang tercermin dari tulisan yang kita ciptakan. Tulisan kita berbicara dengan lantang tentang siapa kita sesungguhnya.
0 Response to "Ide, Penulis, dan Pembaca"
Posting Komentar