Tinjauan Sekilas tentang Mental Accounting dan Prospect Theory
Oleh I Ketut Suweca
1. Teori Mental Accounting
Mental accounting, apakah itu? Sebagaimana ditulis Nick Wilkinson dalam An Introduction on Behavioral Economic (2008: 149-184), pembicaraan mengenai “mental accounting” digagas dan dimulai oleh Richard Thaler, profesor dari School of Business Chicago, dengan makalahnya yang bertajuk “Mental Accounting and Consumer Choice” pada tahun 1985.
Menurut Thaler, “mental accounting is the set of cognitive operation use by individuals and household to code, catagirize and evaluate financial activities”. Jadi, menurutnya, mental accounting itu merupakan suatu rangkain operasi kognitif yang dipergunakan oleh individu maupun rumah tangga dalam mengkode, membuat kategori, dan mengevaluasi aktivitas finansialnya. Mental accounting berfokus pada bagaimana seyogianya seseorang menyikapi dan mengevaluasi suatu situasi saat terdapat dua atau lebih kemungkinan hasil, khususnya bagaimana mengkombinasikan kemungkinan-kemungkinan hasil tersebut.
Rupanya, mental accounting melingkupi prilaku manusia secara luas, tidak melulu yang hubungan dengan masalah finansial atau keuangan. Dengan memahami mental accounting, orang diharapkan akan memahami dengan lebih baik proses psikhologis yang melandasi seseorang dalam menentukan pilihan atau mengambil keputusan ekonomi dan lainnya.
Menurut Thaler dalam makalahnya seperti disebutkan di atas, terdapat tiga komponen dalam proses mental accounting, yakni :
• Persepsi terhadap hasil (outcomes) dan membuat serta mengevaluasi keputusan
• Menetapkan aktivitas untuk pencatatan yang spesifik.
• Menentukan pembatasan periode waktu terhadap mental accounting lainnya yang berkaitan.
Ketiga komponen tersebut, hingga saat ini menjadi bahan diskusi oleh berbagai kalangan sehingga hal ini dapat memperkaya pembahasan mengenai topik ini sekaligus memberikan referensi/pemahaman lebih baik dalam menentukan pilihan atau saat harus mengambil keputusan.
Untuk melengkapi pengertian tentang mental accounting ini, di bawah ini disampaikan pendapat sekaligus dua contoh dari Amerika yang dikemukakan Rowena Suryobroto (14 September 2007) dalam makalahnya yang berjudul “Apa yang Mempengaruhi Perencanaan Keuangan Anda?” Dikatakannya, bahwa keuangan individu memiliki nuansa yang sedikit berbeda dan unik untuk diteliti. Keputusan keuangan individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kurang dikenal di dalam model-model keuangan perusahaan, yaitu faktor-faktor psikhologis dan sosial. Berikut ini dua contoh yang dikemukakannya dalam makalah tersebut.
Seorang lelaki asal Indonesia sedang berada di Las Vegas, sebuah kota yang terkenal sebagai kota judi di Amerika Serikat. Keperluannya ke situ adalah untuk menghadiri sebuah seminar. Pada malam hari, ia pamit kepada teman sekamarnya untuk mencoba mesin-mesin judi di Las Vegas sebagai tambahan pengalaman karena ia tidak pernah menemukan mesin-mesin itu di Indonesia. Ia hanya membawa uang $5 dan iapun menuju ke mesin jackpot. Pada percobaan pertama, mesin jackpot tersebut langsung ‘hit’ dan memuntahkan $25 untuknya. Lelaki itu mencoba mesin-mesin jackpot lainnya dan berhasi mengumpulkan $2.500.
Kemudian ia mencoba peruntungannya di meja blackjack atau permainan kartu dan mempertaruhkan seluruh keberuntungan tersebut sejumlah $2.500 di permainan pertama dan memenangkan $10.000. Demikian seterusnya sampai pada akhirnya ia menjadi $1.000.000 (satu juta dolar).
Kemudian ia berpindah ke meja rolet dan kembali mempertaruhkan seluruh uangnya ($1 juta). Di meja itu, uangnya ludes dan dia kembali ke kamar hotelnya. Temannya bertanya, bagaimana keberuntungannya, dan jawabannya adalah, “Lumayanlah, aku kalah $5”.
Contoh di atas, kata Rowena Suryobroto, menunjukkan bahwa ketika jumlah uang tidak tertulis di atas kertas dan hanya ‘tertulis’ pada mental seseorang, uang tersebut menjadi tidak bernilai.
Ini contoh kedua: Oprah’s Show – sebuah talkshow paling populer di Amerika - pernah menayangkan seorang pengemis yang menemukan uang $100.000. Sebagai orang yang telah bekerja keras dan memiliki uang, Oprah berpikir bahwa lelaki pengemis itu pasti akan menaruh uangnya di bank, mengambil bunganya setiap bulan dan hidup lumayan dengan bunga tersebut. Itu juga dipikirkan para penontonnya. Pengemis tersebut kemudian mengakui bahwa ia membeli dua mobil – satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya – dan menghabiskan $70.000. Sisanya ia gunakan untuk pulang ke kampung halaman dan membagikannya kepada sanak saudara untuk menunjukkan bahwa akhirnya ia memiliki uang dan sanaknya tidak boleh menghinanya lagi. Dalam waktu kurang dari setahun, uang itu ludes berikut kedua mobilnya, dan ia kembali mengemis di jalanan.
Pada kasus ini, menurut Rowena Suryobroto, bahwa faktor psikhologis sangat menentukan keputusan keuangan seseorang.
Terkait dengan mental accounting, Rowena Suryobroto menambahkan, bahwa masih banyak penelitian-penelitian dan eksperimen-eksperimen yang perlu dilakukan untuk menentukan bagaimana keputusan keuangan individu dilakukan. Lebih jauh lagi, penelitian-penelitian tersebut seharusnya menjadi fokus perusahaan-perusahaan berklien individu agar mereka dapat melayani klien mereka dengan lebih baik.
Selanjutnya, penulis sendiri akan menyajikan dua kasus mental accounting, yakni yang pertama terkait dengan ‘medana punia’, dan yang kedua tentang ‘pemanfaatan gaji ketiga belas’.
Ini ilustrasi tentang medana punia. Ada orang Bali, sebutlah namanya I Made Seleg. Dia terbilang rajin sembayang. Dengan memiliki cukup uang, hampir setiap bulan ia berkeliling di wilayah Bali, bahkan pernah sampai ke Jawa Timur dan Lombok untuk metirthayatra. Segera setelah usai sembahyang, dengan ringan ia akan merogoh sakunya untuk ngaturang punia di pura-pura yang dikunjungi. Tidak pernah dalam puluhan ribu, pasti dalam ratusan ribu, bahkan kadang-kadang sampai pada bilangan jutaan rupiah walau tak ada orang yang memintanya maturan sebesar itu. Tapi, dalam beberapa kali kejadian, pengemis mendatangi rumahnya untuk, tentu saja, meminta-minta. Apa yang dilakukan I Made Seleg? Apakah ia akan melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukannya di pura? Ternyata tidak sama sekali. I Made Seleg memilih mengusir dan mencaci pengemis-pengemis itu dengan mengatakan bahwa mereka adalah para pemalas yang bisanya hanya natakang lima Tidak pernah satu sen pun uang I Made Seleg disumbangkan untuk pengemis yang berkunjung ke rumahnya.
Apa yang ada dalam pikiran I Made Seleg? Apakah ia memandang bahwa mepunia di pura lebih tinggi nilainya daripada di tempat lain atau kepada orang lain? Apakah ia juga memandang bahwa para pengemis itu tidak pantas dikasihani? Ini tergantung pada mindset I Made Seleg dalam mengelola uangnya dan bagaimana dia memahami fenomena sosial yang terjadi.
Ada contoh lain lagi. Kali ini yang terkait prilaku seorang PNS dengan ‘gaji ketiga belas’ yang diterimanya. Beberapa tahun belakangan ini, setiap tahun PNS mendapatkan gaji ketiga belas, gaji yang besarnya sama denga satu kali gaji bulanan penuh. Seorang PNS, I Ketut Payu (bukan nama sebenarnya), menerima gaji ketiga belas sebanyak Rp.3.500.000,- Gaji sebesar itu, oleh I Ketut Payu, ditabung semuanya di sebuah bank pemerintah. Tidak ada sedikitpun dari gaji itu dipakainya untuk keperluan yang lain, apalagi untuk bersenang-senang. Lain sekali dengan I Nyoman Gampil (hanya nama samaran), rekan sekerjanya. Gampil memilih membeli sebuah televisi 29 inci, sebuah DVD player, dan sebuah rak televisi. Dari gaji ketiga belas yang diterimanya sejumlah Rp.4.145.000,- itu, sebesar Rp. 3.600.000,- dipakai untuk membeli perangkat elektronik. Sisanya sebesar Rp. 545.000,- dihabiskannya di Bedugul untuk rekreasi bersama keluarganya. Uangnya habis sama sekali dalam tempo dua hari untuk dua keperluan itu.
Dalam kasus pemanfaatan gaji ketiga belas ini, faktor psikhologis dan sosial sangat menentukan pilihan keputusan seseorang. Apakah I Ketut Payu mengambil keputusan yang tepat, sementara I Nyoman Gampil salah? Tepat tidaknya keputusan itu, tergantung kepada mental accounting setiap individu yang terlibat. Teori mental accounting akan memberikan si pembelajar wawasan yang lebih baik dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan terutama dalam hal keuangan.
Agaknya, yang perlu diapresiasi adalah ajakan Benny Santoso,S.T, M.Com., CFP yang menyatakan, bahwa “kita tidak akan kekurangan sumber daya, baik dalam hal finansial maupun nonfinansial, untuk senantiasa membeli kebenaran, hikmat, didikan dan pengertian”. Juga, nasihat dari penulis situs pratolo.com tentang The Mental Accounting Problem. Dikatakan, dua diantara gejala atau masalah-masalah mental accounting adalah : “Anda berbelanja lebih banyak dengan menggunakan credit card daripada jika memakai uang cash”. Dan, “Anda mengira diri Anda bukanlah pemboros, tetapi Anda mengalami kesulitan untuk menabung, meskipun penghasilan Anda cukup besar”.
2. Teori Prospek
Prospect theory (teori prospek) dikembangkan oleh dua orang psikholog, Daniel Kahneman dan Amos Tversky di awal tahun 80-an pada dasarnya mencakup dua disiplin ilmu, yaitu psikologi dan ekonomi (psikoekonomi). Titik berangkatnya adalah pada analisis prilaku seseorang dalam mengambil keputusan (ekonomi) di dalam dua pilihan. Dewasa ini, teori prospek yang telah dikembangkan selama 30 tahun menjadi sangat popular terutama di kalangan para ekonom, di samping teori utility yang juga digemari untuk diteliti oleh para ekonom. Sayangnya, penelitian atau tulisan oleh para psikolog justru tidak sebanyak penelitian, eksperimen atau tulisan oleh para ekonom. Bahkan, di tahun 2002 Kahneman memperoleh penghargaan atas teori prospek ini di bawah kategori ilmu ekonomi!
Tidak seperti kebanyakan teori psikhologi yang lain, teori prospek memiliki dasar matematika yang sangat kuat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa para ekonom sangat menyukainya. Kendati demikian, tidak seperti halnya teori utility yang menitikberatkan pada bagaimana keputusan seharusnya diambil dalam situasi yang tidak menentu (prescriptive approach), teori prospek justru berfokus pada bagaimana keputusan nyata itu diambil (decriptive approach).
Teori prospek sebenarnya sangat sederhana. Dimulai dengan penelitian Kahneman dan Tversky terhadap prilaku manusia yang dianggap aneh dan kontradiktif dalam mengambil suatu keputusan. Subyek penelitian yang sama diberikan pilihan yang sama namun diformulasikan secara berbeda, dan mereka menunjukkan dua prilaku yang berbeda. Ini oleh Kahneman dan Tversky disebut sebagai risk-aversion dan risk-seeking behavior. Contoh yang mereka kemukakan adalah seperti ini : orang akan mau menelusuri hampir seluruh toko yang ada pada sebuah kota agar memperoleh $5 lebih murah untuk sebuah kalkulator seharga $15, tetapi mereka tidak akan melakukannya agar memperoleh $5 lebih murah untuk jaket seharga $125.
Di dalam teori prospek, disebutkan bahwa frame yang diadopsi seseorang dapat mempengaruhi keputusannya, dan dalam kondisi ketidakpastian orang akan memilih pilihan yang menghasilkan expected utility terbesar. Frame yang diadopsi sangat ditentukan oleh :
• Formulasi masalah yang dihadapi
• Norma dan kebiasaan, serta
• Karakteristik para pengambil keputusan.
Hal yang sangat penting dari studi Kahneman dan Tversky adalah eksperimen mereka yang menunjukkan bahwa sikap tentang resiko menghadapi keuntungan (gain) akan sangat berbeda dengan sikap tentang resiko menghadapi kerugian. Contoh yang dikemukakannya sbb.: sekelompok orang pada saat dihadapkan pada pilihan untuk pasti mendapatkan uang $1.000 atau kurang-lebih 50 persen dari kemungkinan mendapatkan uang $2,500, ternyata orang akan lebih memilih yang pasti yaitu sebsar $1.000. Ini adalah contoh dari prilaku risk-aversion. Akan tetapi, kelompok orang yang sama, jika kepadanya diberikan pilihan untuk pasti rugi sebesar $1.000 atau kurang-lebih 50 persen kemungkinan tidak akan rugi, maka mereka akan cenderung memilih pilihan yang lebih beresiko. Ini adalah contoh risk-seeking.
Secara singkat dapat dikatakan teori prospek menunjukkan, bahwa orang akan memiliki kecenderungan irasional untuk lebih enggan mempertaruhkan keuntungan (gain) daripada kerugian (loss). Dalam kondisi rugi, seseorang akan cenderung lebih nekat menanggung resiko dibandingkan pada kondisi berhasil. Seseorang akan merasakan seolah-olah nilai kekalahan sejumlah uang tertentu dalam suatu taruhan lebih menyakitkan daripada nilai kemenangan dari sejumlah uang yang sama, sehingga dalam situasi rugi orang lebih nekat untuk menanggung resiko.
Teori prospek berbeda dengan teori utility dalam hal-hal penting berikut ini : pertama, teori prospek menggantikan utility dengan nilai (value), dimana utility biasanya diartikan sebagai net wealth, sedangkan nilai (value) diartikan sebagai untung atau rugi. Kedua, nilai dari kerugian secara relatif adalah tidak sama dengan nilai dari keuntungan. Misalnya, orang akan merasa lebih sakit jika rugi Rp.100.000,- dibandingkan dengan kegembiraan yang diperoleh saat mendapatkan keuntungan Rp100.000,-. Dalam bahasa Kahneman dan Tversky : orang akan cenderung risk-aversion pada saat menghadapi keuntungan dan risk-seeking pada saat menghadapi kerugian.
Teori prospek ini dapat dipakai untuk memotret banyak sekali fenomena prilaku manusia di berbagai bidang kehidupan, khusunya pada proses pengambilan keputusan yang kadangkala ‘tidak masuk akal’. Teori ini dipakai untuk mengukur (melakukan measurement perspective) terhadap prilaku orang atau organisasi dalam mengambil keputusan, untuk melihat dengan kacamata yang lebih jernih apakah orang atau organisasi tersebut berprilaku risk-aversion atau risk-seeking, dan apa pula yang melatarbelakangi keputusannya itu.
Dua contoh akan diberikan untuk melengkapi teori prospek ini. Contoh pertama: Prilaku di pasar modal atau di pasar uang. Pada saat harga saham di pasar modal naik sedikit saja, orang akan cepat-cepat menjual saham mereka untuk mendapat keuntungan (selling fast, profit taking). Sebaliknya, kalau harga sahamnya anjlok, orang justru akan cenderung menahan saham mereka, tidak menjualnya, dengan harapan suatu saat harga akan membaik lagi dan tidak jadi rugi (not selling, minimize losses). Demikian juga jika dollar menguat terhadap rupiah, orang justru akan cenderung menyerbu money changer untuk membeli dollar ( dan ini justru akan membuat rupiah kian terpuruk). Sebaliknya, jika dollar melemah terhadap rupiah, orang akan memegang erat rupiah-nya.
Contoh kasus kedua adalah prilaku peserta permainan ‘who wants to be a millionaire’ yang pernah disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Seorang peserta, telah berhasil mencapai rupiah sebesar Rp25 juta setelah selangkah demi selangkah bisa menjawab dengan benar setiap pertanyaan yang diberikan oleh presenter acara. Pada langkah menuju angka lebih tinggi setingkat lagi, yakni Rp.30 juta, ia memutuskan berhenti dengan perolehan uang ‘hanya’ sebesar Rp.25 juta (walaupun ia tahu bahwa sesungguhnya ada peluang untuk memperoleh dan membawa pulang uang maksimal sebesar 1 miliar rupiah!). Ia tak mau ‘berspekulasi’ atau menanggung resiko lebih besar lagi, karena kalau ia kalah karena salah menjawab pertanyaan berikutnya, maka ia akan kembali ke Rp.1 juta.
Dari kedua kasus tersebut, terdapat prilaku yang tampak irasional. Dalam kasus saham di atas, misalnya, justru tatkala dollar menurun kursnya terhadap rupiah, orang memilih memegang erat dollarnya. Dalam kasus peserta ‘who wants to be a millionaire’, orang justru merasa cukup dengan Rp.25 juta kendatipun ada peluang mendapatkan lebih dari itu, bahkan bisa memperoleh reward puncak senilai Rp1 milliar. Apapun yang dilakukan seseorang atau organisasi, tentu dilandasi dengan ‘perhitungan-perhitungan’ yang mungkin salah satunya adalah penerapan dari teori prospek.
Sumber :
1. http://forum psikologi.ugm.ac.id/index.php?topic=50.10;wap2
2. http://rowenasuryobroto.multiply.com\apa yang mempengaruhi keuangan anda
3. http://pratolo.com/2008/08/30/the-mental-accounting problem/
4. Wilkinson Nick, 2008. An Introduction to Behavioral Economics. New York : Palgrave Macmilan
Rupanya, mental accounting melingkupi prilaku manusia secara luas, tidak melulu yang hubungan dengan masalah finansial atau keuangan. Dengan memahami mental accounting, orang diharapkan akan memahami dengan lebih baik proses psikhologis yang melandasi seseorang dalam menentukan pilihan atau mengambil keputusan ekonomi dan lainnya.
Menurut Thaler dalam makalahnya seperti disebutkan di atas, terdapat tiga komponen dalam proses mental accounting, yakni :
• Persepsi terhadap hasil (outcomes) dan membuat serta mengevaluasi keputusan
• Menetapkan aktivitas untuk pencatatan yang spesifik.
• Menentukan pembatasan periode waktu terhadap mental accounting lainnya yang berkaitan.
Ketiga komponen tersebut, hingga saat ini menjadi bahan diskusi oleh berbagai kalangan sehingga hal ini dapat memperkaya pembahasan mengenai topik ini sekaligus memberikan referensi/pemahaman lebih baik dalam menentukan pilihan atau saat harus mengambil keputusan.
Untuk melengkapi pengertian tentang mental accounting ini, di bawah ini disampaikan pendapat sekaligus dua contoh dari Amerika yang dikemukakan Rowena Suryobroto (14 September 2007) dalam makalahnya yang berjudul “Apa yang Mempengaruhi Perencanaan Keuangan Anda?” Dikatakannya, bahwa keuangan individu memiliki nuansa yang sedikit berbeda dan unik untuk diteliti. Keputusan keuangan individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kurang dikenal di dalam model-model keuangan perusahaan, yaitu faktor-faktor psikhologis dan sosial. Berikut ini dua contoh yang dikemukakannya dalam makalah tersebut.
Seorang lelaki asal Indonesia sedang berada di Las Vegas, sebuah kota yang terkenal sebagai kota judi di Amerika Serikat. Keperluannya ke situ adalah untuk menghadiri sebuah seminar. Pada malam hari, ia pamit kepada teman sekamarnya untuk mencoba mesin-mesin judi di Las Vegas sebagai tambahan pengalaman karena ia tidak pernah menemukan mesin-mesin itu di Indonesia. Ia hanya membawa uang $5 dan iapun menuju ke mesin jackpot. Pada percobaan pertama, mesin jackpot tersebut langsung ‘hit’ dan memuntahkan $25 untuknya. Lelaki itu mencoba mesin-mesin jackpot lainnya dan berhasi mengumpulkan $2.500.
Kemudian ia mencoba peruntungannya di meja blackjack atau permainan kartu dan mempertaruhkan seluruh keberuntungan tersebut sejumlah $2.500 di permainan pertama dan memenangkan $10.000. Demikian seterusnya sampai pada akhirnya ia menjadi $1.000.000 (satu juta dolar).
Kemudian ia berpindah ke meja rolet dan kembali mempertaruhkan seluruh uangnya ($1 juta). Di meja itu, uangnya ludes dan dia kembali ke kamar hotelnya. Temannya bertanya, bagaimana keberuntungannya, dan jawabannya adalah, “Lumayanlah, aku kalah $5”.
Contoh di atas, kata Rowena Suryobroto, menunjukkan bahwa ketika jumlah uang tidak tertulis di atas kertas dan hanya ‘tertulis’ pada mental seseorang, uang tersebut menjadi tidak bernilai.
Ini contoh kedua: Oprah’s Show – sebuah talkshow paling populer di Amerika - pernah menayangkan seorang pengemis yang menemukan uang $100.000. Sebagai orang yang telah bekerja keras dan memiliki uang, Oprah berpikir bahwa lelaki pengemis itu pasti akan menaruh uangnya di bank, mengambil bunganya setiap bulan dan hidup lumayan dengan bunga tersebut. Itu juga dipikirkan para penontonnya. Pengemis tersebut kemudian mengakui bahwa ia membeli dua mobil – satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya – dan menghabiskan $70.000. Sisanya ia gunakan untuk pulang ke kampung halaman dan membagikannya kepada sanak saudara untuk menunjukkan bahwa akhirnya ia memiliki uang dan sanaknya tidak boleh menghinanya lagi. Dalam waktu kurang dari setahun, uang itu ludes berikut kedua mobilnya, dan ia kembali mengemis di jalanan.
Pada kasus ini, menurut Rowena Suryobroto, bahwa faktor psikhologis sangat menentukan keputusan keuangan seseorang.
Terkait dengan mental accounting, Rowena Suryobroto menambahkan, bahwa masih banyak penelitian-penelitian dan eksperimen-eksperimen yang perlu dilakukan untuk menentukan bagaimana keputusan keuangan individu dilakukan. Lebih jauh lagi, penelitian-penelitian tersebut seharusnya menjadi fokus perusahaan-perusahaan berklien individu agar mereka dapat melayani klien mereka dengan lebih baik.
Selanjutnya, penulis sendiri akan menyajikan dua kasus mental accounting, yakni yang pertama terkait dengan ‘medana punia’, dan yang kedua tentang ‘pemanfaatan gaji ketiga belas’.
Ini ilustrasi tentang medana punia. Ada orang Bali, sebutlah namanya I Made Seleg. Dia terbilang rajin sembayang. Dengan memiliki cukup uang, hampir setiap bulan ia berkeliling di wilayah Bali, bahkan pernah sampai ke Jawa Timur dan Lombok untuk metirthayatra. Segera setelah usai sembahyang, dengan ringan ia akan merogoh sakunya untuk ngaturang punia di pura-pura yang dikunjungi. Tidak pernah dalam puluhan ribu, pasti dalam ratusan ribu, bahkan kadang-kadang sampai pada bilangan jutaan rupiah walau tak ada orang yang memintanya maturan sebesar itu. Tapi, dalam beberapa kali kejadian, pengemis mendatangi rumahnya untuk, tentu saja, meminta-minta. Apa yang dilakukan I Made Seleg? Apakah ia akan melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukannya di pura? Ternyata tidak sama sekali. I Made Seleg memilih mengusir dan mencaci pengemis-pengemis itu dengan mengatakan bahwa mereka adalah para pemalas yang bisanya hanya natakang lima Tidak pernah satu sen pun uang I Made Seleg disumbangkan untuk pengemis yang berkunjung ke rumahnya.
Apa yang ada dalam pikiran I Made Seleg? Apakah ia memandang bahwa mepunia di pura lebih tinggi nilainya daripada di tempat lain atau kepada orang lain? Apakah ia juga memandang bahwa para pengemis itu tidak pantas dikasihani? Ini tergantung pada mindset I Made Seleg dalam mengelola uangnya dan bagaimana dia memahami fenomena sosial yang terjadi.
Ada contoh lain lagi. Kali ini yang terkait prilaku seorang PNS dengan ‘gaji ketiga belas’ yang diterimanya. Beberapa tahun belakangan ini, setiap tahun PNS mendapatkan gaji ketiga belas, gaji yang besarnya sama denga satu kali gaji bulanan penuh. Seorang PNS, I Ketut Payu (bukan nama sebenarnya), menerima gaji ketiga belas sebanyak Rp.3.500.000,- Gaji sebesar itu, oleh I Ketut Payu, ditabung semuanya di sebuah bank pemerintah. Tidak ada sedikitpun dari gaji itu dipakainya untuk keperluan yang lain, apalagi untuk bersenang-senang. Lain sekali dengan I Nyoman Gampil (hanya nama samaran), rekan sekerjanya. Gampil memilih membeli sebuah televisi 29 inci, sebuah DVD player, dan sebuah rak televisi. Dari gaji ketiga belas yang diterimanya sejumlah Rp.4.145.000,- itu, sebesar Rp. 3.600.000,- dipakai untuk membeli perangkat elektronik. Sisanya sebesar Rp. 545.000,- dihabiskannya di Bedugul untuk rekreasi bersama keluarganya. Uangnya habis sama sekali dalam tempo dua hari untuk dua keperluan itu.
Dalam kasus pemanfaatan gaji ketiga belas ini, faktor psikhologis dan sosial sangat menentukan pilihan keputusan seseorang. Apakah I Ketut Payu mengambil keputusan yang tepat, sementara I Nyoman Gampil salah? Tepat tidaknya keputusan itu, tergantung kepada mental accounting setiap individu yang terlibat. Teori mental accounting akan memberikan si pembelajar wawasan yang lebih baik dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan terutama dalam hal keuangan.
Agaknya, yang perlu diapresiasi adalah ajakan Benny Santoso,S.T, M.Com., CFP yang menyatakan, bahwa “kita tidak akan kekurangan sumber daya, baik dalam hal finansial maupun nonfinansial, untuk senantiasa membeli kebenaran, hikmat, didikan dan pengertian”. Juga, nasihat dari penulis situs pratolo.com tentang The Mental Accounting Problem. Dikatakan, dua diantara gejala atau masalah-masalah mental accounting adalah : “Anda berbelanja lebih banyak dengan menggunakan credit card daripada jika memakai uang cash”. Dan, “Anda mengira diri Anda bukanlah pemboros, tetapi Anda mengalami kesulitan untuk menabung, meskipun penghasilan Anda cukup besar”.
2. Teori Prospek
Prospect theory (teori prospek) dikembangkan oleh dua orang psikholog, Daniel Kahneman dan Amos Tversky di awal tahun 80-an pada dasarnya mencakup dua disiplin ilmu, yaitu psikologi dan ekonomi (psikoekonomi). Titik berangkatnya adalah pada analisis prilaku seseorang dalam mengambil keputusan (ekonomi) di dalam dua pilihan. Dewasa ini, teori prospek yang telah dikembangkan selama 30 tahun menjadi sangat popular terutama di kalangan para ekonom, di samping teori utility yang juga digemari untuk diteliti oleh para ekonom. Sayangnya, penelitian atau tulisan oleh para psikolog justru tidak sebanyak penelitian, eksperimen atau tulisan oleh para ekonom. Bahkan, di tahun 2002 Kahneman memperoleh penghargaan atas teori prospek ini di bawah kategori ilmu ekonomi!
Tidak seperti kebanyakan teori psikhologi yang lain, teori prospek memiliki dasar matematika yang sangat kuat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa para ekonom sangat menyukainya. Kendati demikian, tidak seperti halnya teori utility yang menitikberatkan pada bagaimana keputusan seharusnya diambil dalam situasi yang tidak menentu (prescriptive approach), teori prospek justru berfokus pada bagaimana keputusan nyata itu diambil (decriptive approach).
Teori prospek sebenarnya sangat sederhana. Dimulai dengan penelitian Kahneman dan Tversky terhadap prilaku manusia yang dianggap aneh dan kontradiktif dalam mengambil suatu keputusan. Subyek penelitian yang sama diberikan pilihan yang sama namun diformulasikan secara berbeda, dan mereka menunjukkan dua prilaku yang berbeda. Ini oleh Kahneman dan Tversky disebut sebagai risk-aversion dan risk-seeking behavior. Contoh yang mereka kemukakan adalah seperti ini : orang akan mau menelusuri hampir seluruh toko yang ada pada sebuah kota agar memperoleh $5 lebih murah untuk sebuah kalkulator seharga $15, tetapi mereka tidak akan melakukannya agar memperoleh $5 lebih murah untuk jaket seharga $125.
Di dalam teori prospek, disebutkan bahwa frame yang diadopsi seseorang dapat mempengaruhi keputusannya, dan dalam kondisi ketidakpastian orang akan memilih pilihan yang menghasilkan expected utility terbesar. Frame yang diadopsi sangat ditentukan oleh :
• Formulasi masalah yang dihadapi
• Norma dan kebiasaan, serta
• Karakteristik para pengambil keputusan.
Hal yang sangat penting dari studi Kahneman dan Tversky adalah eksperimen mereka yang menunjukkan bahwa sikap tentang resiko menghadapi keuntungan (gain) akan sangat berbeda dengan sikap tentang resiko menghadapi kerugian. Contoh yang dikemukakannya sbb.: sekelompok orang pada saat dihadapkan pada pilihan untuk pasti mendapatkan uang $1.000 atau kurang-lebih 50 persen dari kemungkinan mendapatkan uang $2,500, ternyata orang akan lebih memilih yang pasti yaitu sebsar $1.000. Ini adalah contoh dari prilaku risk-aversion. Akan tetapi, kelompok orang yang sama, jika kepadanya diberikan pilihan untuk pasti rugi sebesar $1.000 atau kurang-lebih 50 persen kemungkinan tidak akan rugi, maka mereka akan cenderung memilih pilihan yang lebih beresiko. Ini adalah contoh risk-seeking.
Secara singkat dapat dikatakan teori prospek menunjukkan, bahwa orang akan memiliki kecenderungan irasional untuk lebih enggan mempertaruhkan keuntungan (gain) daripada kerugian (loss). Dalam kondisi rugi, seseorang akan cenderung lebih nekat menanggung resiko dibandingkan pada kondisi berhasil. Seseorang akan merasakan seolah-olah nilai kekalahan sejumlah uang tertentu dalam suatu taruhan lebih menyakitkan daripada nilai kemenangan dari sejumlah uang yang sama, sehingga dalam situasi rugi orang lebih nekat untuk menanggung resiko.
Teori prospek berbeda dengan teori utility dalam hal-hal penting berikut ini : pertama, teori prospek menggantikan utility dengan nilai (value), dimana utility biasanya diartikan sebagai net wealth, sedangkan nilai (value) diartikan sebagai untung atau rugi. Kedua, nilai dari kerugian secara relatif adalah tidak sama dengan nilai dari keuntungan. Misalnya, orang akan merasa lebih sakit jika rugi Rp.100.000,- dibandingkan dengan kegembiraan yang diperoleh saat mendapatkan keuntungan Rp100.000,-. Dalam bahasa Kahneman dan Tversky : orang akan cenderung risk-aversion pada saat menghadapi keuntungan dan risk-seeking pada saat menghadapi kerugian.
Teori prospek ini dapat dipakai untuk memotret banyak sekali fenomena prilaku manusia di berbagai bidang kehidupan, khusunya pada proses pengambilan keputusan yang kadangkala ‘tidak masuk akal’. Teori ini dipakai untuk mengukur (melakukan measurement perspective) terhadap prilaku orang atau organisasi dalam mengambil keputusan, untuk melihat dengan kacamata yang lebih jernih apakah orang atau organisasi tersebut berprilaku risk-aversion atau risk-seeking, dan apa pula yang melatarbelakangi keputusannya itu.
Dua contoh akan diberikan untuk melengkapi teori prospek ini. Contoh pertama: Prilaku di pasar modal atau di pasar uang. Pada saat harga saham di pasar modal naik sedikit saja, orang akan cepat-cepat menjual saham mereka untuk mendapat keuntungan (selling fast, profit taking). Sebaliknya, kalau harga sahamnya anjlok, orang justru akan cenderung menahan saham mereka, tidak menjualnya, dengan harapan suatu saat harga akan membaik lagi dan tidak jadi rugi (not selling, minimize losses). Demikian juga jika dollar menguat terhadap rupiah, orang justru akan cenderung menyerbu money changer untuk membeli dollar ( dan ini justru akan membuat rupiah kian terpuruk). Sebaliknya, jika dollar melemah terhadap rupiah, orang akan memegang erat rupiah-nya.
Contoh kasus kedua adalah prilaku peserta permainan ‘who wants to be a millionaire’ yang pernah disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Seorang peserta, telah berhasil mencapai rupiah sebesar Rp25 juta setelah selangkah demi selangkah bisa menjawab dengan benar setiap pertanyaan yang diberikan oleh presenter acara. Pada langkah menuju angka lebih tinggi setingkat lagi, yakni Rp.30 juta, ia memutuskan berhenti dengan perolehan uang ‘hanya’ sebesar Rp.25 juta (walaupun ia tahu bahwa sesungguhnya ada peluang untuk memperoleh dan membawa pulang uang maksimal sebesar 1 miliar rupiah!). Ia tak mau ‘berspekulasi’ atau menanggung resiko lebih besar lagi, karena kalau ia kalah karena salah menjawab pertanyaan berikutnya, maka ia akan kembali ke Rp.1 juta.
Dari kedua kasus tersebut, terdapat prilaku yang tampak irasional. Dalam kasus saham di atas, misalnya, justru tatkala dollar menurun kursnya terhadap rupiah, orang memilih memegang erat dollarnya. Dalam kasus peserta ‘who wants to be a millionaire’, orang justru merasa cukup dengan Rp.25 juta kendatipun ada peluang mendapatkan lebih dari itu, bahkan bisa memperoleh reward puncak senilai Rp1 milliar. Apapun yang dilakukan seseorang atau organisasi, tentu dilandasi dengan ‘perhitungan-perhitungan’ yang mungkin salah satunya adalah penerapan dari teori prospek.
Sumber :
1. http://forum psikologi.ugm.ac.id/index.php?topic=50.10;wap2
2. http://rowenasuryobroto.multiply.com\apa yang mempengaruhi keuangan anda
3. http://pratolo.com/2008/08/30/the-mental-accounting problem/
4. Wilkinson Nick, 2008. An Introduction to Behavioral Economics. New York : Palgrave Macmilan
0 Response to "Tinjauan Sekilas tentang Mental Accounting dan Prospect Theory"
Posting Komentar