Isi Tulisan Adalah “Raja”

I Ketut Suweca

Di antara sekian hal penting dalam sebuah karya tulis, menurut Anda bagian manakah yang paling penting?  Ada pendapat, isinya-lah yang paling penting dalam sebuah tulisan. Bisa saja sebuah tulisan yang dikreasi sedemikian rupa agar tampak menarik, tapi kalau isinya terdiri atas hal-hal sudah diketahui umum, maka nilainya hampir tak berarti. Harus ada sesuatu yang laku  “dijual” pada sebuah karya.  Orang menyebut tulisan tanpa isi sama saja  dengan tulang tak berdaging.   Jadi,  isi (content) demikian penting.
Ada pula pendapat bahwa cara menuliskannya-lah yang terpenting.  Mengapa? Karena, kendati sebuah tulisan yang sesungguhnya mengandung hal-hal  berguna bagi pembaca namun jika tidak ditulis dengan baik, maka akan menjadi percuma. Tulisan yang tak disusun dengan baik -- tidak menggunakan sistematika yang seharusnya, melupakan EYD, sama sekali tidak menghiraukan penalaran -- seperti apa kira-kira jadinya? Kacau-balau, bukan? Orang  pasti  emoh membaca artikel semacam itu. Kalaupun, misalnya, ada yang  bersedia membaca, tak ada sesuatu  yang bisa  dipetik  dari sebuah tulisan yang telah “berhasil” membingungkan pembaca. Jadi, cara/teknik mengungkapkan pikiran melalui bahasa tulis  juga sangat penting.
Akhirnya, mungkin kita sepakat bahwa bukan hanya “apa”-nya yang penting, bahkan juga “bagaimana”-nya pun urgen. Jadi, isi tulisan dan cara membahasakannya sama-sama penting, tak ada salah satu yang lebih penting di antara keduanya.
“Content is the king. Language is the queen,” ujar  Jakob Oetama sebagaimana ditulis St. Sularto dalam buku  “Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama”(Penerbit Buku Kompas, 2011: 265).
Selamat menulis sahabatku. Salam hangat.
Read more ...

Lima Alasan untuk Tidak Menulis

I Ketut Suweca

Menulis atau mengarang bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang pantas dihindari. Mengapa? Ada beragam dalih yang jitu untuk tidak menulis. Mari kita lihat lima di antara sejumlah dalih yang acap kita dengar. Inilah dia.
1.      Takut dicemooh. Ada orang yang ingin memiliki kemampuan sempurna terlebih dahulu, baru bersedia menuliskan ide-idenya. Ia harus pintar dulu, baru menulis. Ia ingin agar pembaca yang menyimak tulisannya tidak mencemooh, bahkan sebaliknya, terkagum-kagum terhadap kualitas tulisan yang ditampilkan. Padahal, kesempuranaan itu bukan milik kita umat manusia. Lalu, kapan kesempurnaan itu ada untuk berani menulis? Oleh karena itu, mari menulis saja, jangan tunggu menjadi manusia pintar dan sempurna terlebih dahulu.
2.      Takut ditolak. Ketakutan tulisan ditolak sama saja dengan orang yang kalah sebelum berperang. Pejuang sejati harus berani maju ke medan perang dan mengupayakan penyerangan dan pembelaan diri. Begitu pula kalau takut ditolak tulisannya, ya, susah mau jadi penulis beneran. Penolakan redaksi sebuah koran atau majalah, bagi para penulis sudah menjadi hal biasa. Jadi, jangan takut tulisan kita ditolak. Tulis saja, kirim saja.
3.      Tidak punya ide. Ini alasan klasik. Ada banyak orang yang kesulitan menemukan ide untuk ditulis. Solusinya adalah : rajin membaca, cermat mendengar, aktif berdiskusi, dan aktif mencatat. Keempat hal itu akan sangat membantu kita mendapatkan ide-ide cemerlang dan merangsang inspirasi datang.
4.      Tidak ada waktu. Ini juga alasan klasik. Salah satu dalih yang paling jitu untuk tidak menulis adalah dengan mengatakan tidak punya waktu. ‘Saya sibuk sekali’ mungkin begitu alasan yang diberikan. Untuk mengatasi hal ini, kiranya perlu kebijakan dalam mengelola waktu.
5.      Tidak tahu bagaimana menuliskan ide. Nah, kalau ini persoalan teknis semata. Ada cukup banyak ide, tapi tak sanggup menuliskan dan memulainya dari mana. Untuk mengatasinya tentu yang bersangkutan harus belajar teknik menulis. Permasalahan semacam ini bisa diatasi dengan penyusunan kerangka karangan atau outline. Berdasarkan outline itulah, tulisan dikembangkan secara sistematis.
Kalau seseorang mempunyai komitmen untuk menulis atau menjadi penulis, maka segala rintangan akan dihadapi dengan gagah berani. Maju terus, serang terus. Andakah itu orangnya?
Read more ...

Musim Hujan Sudah Tiba

I Ketut Suweca

Beberapa bulan ke depan, kita akan menghadapi musim hujan.  Menjelang pertengahan bulan November ini saatnya kita bersiap-siap memasuki  awal musim hujan. Berbagai upaya antisipasi dibutuhkan. Upaya antisipasi  ini penting, sebab berkaca pada bencana yang diakibatkan oleh hujan yang berlebihan pada tahun-tahun sebelumnya, memang semestinya membuat kita tak boleh  lengah. Tahun ini pun sudah mulai  daerah-daerah di Indonesia yang terkena bencana, baik karena cuaca yang kadang-kadang ekstrem, disebabkan hujan yang mengguyur demikian derasnya. Apalagi baru-baru ini, sejumlah kawasan di Denpasar terendam air dengan satu korban hilang. Air Tukad Badung meluap.
Beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya saluran air. Perlu diperiksa kembali saluran-saluran air yang ada, seperti got, kali, sungai. Mungkin di situ terdapat tumpukan sampah yang dipastikan bakal menjadi penyumbat air sehingga air bisa meluap. Got yang dipenuhi  sampah hendaknya dibersihkan. Got, kali, dan sungai yang kadang-kadang oleh sebagian masyarakat yang tak mengerti, dijadikan “tempat pembuangan (sampah) akhir ” (TPA) seyogianya dibersihkan sekaligus dihentikan kebiasaan menjadikan saluran air itu sebagai TPA. Di samping dibersihkan dari sampah, bila perlu dilakukan pengerukan seperti dilakukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kab. Buleleng terhadap sungai yang bermuara di Pelabuhan Buleleng.  Pembersihan saluran air  menjadi sangat penting, bahkan mendesak dilakukan untuk mengurangi kemungkinan luapan air yang berakibat banjir.
Resiko lain dari datangnya musim hujan adalah kemungkinan terjadinya longsor. Jalan-jalan utama, juga jalan-jalan pedesaan  yang terletak di lereng-lereng perbukitan seperti jalur Singaraja-Denpasar perlu mendapatkan perhatian lebih serius. Titik-titik yang rawan longsor ini  seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Kesiapan peralatan dan tenaga, baik oleh pemerintah maupun masyarakat,  menjadi sangat vital untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu diperlukan bisa segera  bergerak cepat. Peralatan berat untuk membersihkan longsoran, gergaji listrik, dan sebagainya mesti dalam keadaan siap pakai.
Hal lain yang mungkin perlu mendapat perhatian adalah pepohonan besar dan tinggi yang tumbuh di pinggir jalan. Di atas pepohonan itu biasanya terbentang kabel listrik yang telanjang.  Untuk menghindari bahaya gangguan listrik, sebaiknya bagian pepohonan yang hampir menyentuh kabel listrik itu dipotong. Pepohonan bisa menjadi pengantar listrik yang membahayakan nyawa manusia di sekitarnya. Belum lagi akibat negatif lain, seperti kebakaran karena gesekan kabel dan pepohonan karena tiupan angin.
Yang penting juga, tapi kadang dipandang sepele, adalah kesiapan para pengendara mobil dan motor. Kecepatan kendaraan sebaiknya dikurangi karena di musim hujan jalan-jalan cenderung licin. Wiper pembersih air pada  kaca mobil diperiksa kembali agar dapat berfungsi dengan baik. Para pengendara sepeda motor pun  perlu ekstra hati-hati di jalan dan melengkapi diri dengan perlengkapan berkendaraan di saat hujan.  Jangan sampai hal-hal yang tampaknya kecil dan remeh ini mengakibatkan kelancaran perjalanan menjadi terganggu.
Langkah-langkah antisipasi sangatlah penting. Jangan sampai lengah menghadapi musim penghujan ini. Sebab, jika lengah, antisipasi yang kita persiapkan tidak ada, resiko yang ditanggung pun semakin besar. Sambil berdoa kepada Tuhan Yang Masaesa untuk mohon keselamatan, mari kita songsong musim penghujan ini dengan penuh syukur seraya mempersiapkan upaya antisipasi sebagai bentuk kesiagaan.
Read more ...

Penulis Itu Pembaca dengan Metode “Triple Track”

I Ketut Suweca

Penulis itu adalah seorang pembaca, ya pastilah. Tanpa membaca, seseorang tak akan menjadi penulis yang berhasil. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan pembaca dengan metode “triple track?” Mari kita mulai menjawabnya.
Pertama, seorang penulis pastilah seorang pembaca karya orang lain.  Entah yang dibaca itu buku, majalah, koran atau media online/internet. Dari berbagai media tersebut, si penulis akan mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan itu dicerap sedemikian rupa ke dalam batin. Dengan referensi yang luas, maka pada suatu saat ia pun akan mengalami “kehamilan” dan melahirkan karya-karyanya sendiri.  Semakin luas bacaannya,  kian berbobot karya yang dihasilkan sang penulis. Membaca itu wajib baginya, bahkan sudah menjadi menu harian.
Kedua, seorang penulis adalah pembaca yang “membaca” kebutuhan pembaca. Membaca kebutuhan pembaca berarti mengamati dengan seksama perkembangan yang terjadi di bidangnya. Juga,  membaca dinamika kehidupan yang dialaminya  dan kehidupan di sekitarnya. Jika ingin tulisannya “laku dijual” dalam arti dibutuhkan pembaca, maka dia mesti mengikuti tema yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.  Bahkan, idealnya, sang penulis mampu membawa pembaca ke arah pencerahan batin dan kemuliaan hidup.
Ketiga, seorang penulis adalah pembaca tulisannya sendiri. Pada saat editing, dia harus mengoreksi tulisannya dengan cermat, bahkan sampai berkali-kali, sebelum dipublikasikan melalui media online seperti kompasiana, majalah, koran, atau buku. Tanpa mengoreksi terlebih dahulu  dengan cermat, karyanya tak mungkin bebas dari kesalahan. Walau sudah dikoreksi berkali-kali pun, kadangkala masih saja ada kesalahan, seperti kesalahan ketik.
Jadi, ada tiga tahap/jalan (triple track) yang dilakukan penulis dalam posisi sebagai pembaca, yakni membaca karya orang lain, membaca kebutuhan pembaca selaras dengan perkembangan yang tengah berlangsung, dan membaca tulisannya sendiri untuk tujuan editing.
Selamat menulis.
Read more ...

Catatan Kecil dari Festival Topeng Internasional

Sejak 30 November sampai dengan 3 Desember 2011, di  Pelabuhan Buleleng, Singaraja, Bali Utara, diselenggarakan Festival Topeng Internasional. Festival ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng dengan International Mask Art and Culture Organization (IMACO). Kegiatan ini diikuti oleh 33 negara yang terdiri dari 28 negara anggota IMACO, delegasi dari seniman Asia, dan dari UNESCO.
Kegiatan ini diisi dengan simposium yang diselenggarakan di Hotel Melka Lovina dan berbagai atraksi seni topeng di panggung terbuka Pelabuhan Buleleng, diantaranya seni kreasi Topeng Ni, Topeng Kang Cing Wi, dan Topeng Pemaculan.  Selain pementasan dan simposium, digelar juga pameran topeng yang diikuti negara-negara anggota IMACO dan perajin topeng dari Buleleng dan Gianyar. Ratusan topeng yang memenuhi dua gedung itu sangat menarik perhatian pengunjung. Bentuknya unik, ekspresinya menarik. Ada pula pameran lukisan dan hasil kerajinan kreatif masyarakat Bali yang terbuat dari kayu.
Berikut adalah hasil bidikan kamera penulis terhadap pameran topeng tersebut.



Toprng Korea

Topeng Tejakula, Buleleng, Bali

Topeng Jawa



Topeng Indonesia

Lukisan Gianyar, Bali


Kerajinan Rakyat

I Ketut Suweca , 7 Desember 2011).
Read more ...

Editing, Seberapa Penting?

I Ketut Suweca

Para penulis senior selalu mengingatkan betapa pentingnya  editing atau pengeditan naskah. Sebelum sebuah tulisan dikirim ke redaksi koran/majalah atau ke media online, pengeditan tak boleh ditinggalkan. Jika tak dilakukan, maka kemungkinan besar naskah yang terkirim masih banyak kesalahannya. Pengeditan merupakan finishing process dalam mengerjakan sebuah karya tulis.
Pengeditan pada umumnya dipilah menjadi dua, yakni pengeditan pada  aspek kebahasaan dan pengeditan aspek logika. Aspek kebahasaan dimaksudkan adalah yang terkait dengan pemakaian bahasa tulis, seperti tanda baca, diksi, ejaan, dan sebagainya. Selanjutnya, aspek logika meliputi penalaran, koherensi (keterkaitan/keterpaduan), sistematika isi, termasuk memperbaiki kesalahan pada data, nama, dan alamat. Sebuah karya tulis yang baik, bukan hanya bahasanya yang harus baik dan benar, bahkan isinyapun mesti  logis, runut, dan mengandung kejujuran.
Setelah selesai diketik untuk pertama kalinya sebuah naskah akan melalui proses editing sebagaimana disebutkan di atas. Usai pengeditan tahap pertama, sebaiknya naskah dibiarkan dulu beberapa waktu. Kita bisa beralih mengerjakan tugas lain yang tak ada hubungannya dengan naskah tersebut. Ini dimaksudkan agar pikiran kita segar kembali.  Ketika melihat naskah itu kemudian, kita bisa mengoreksi dengan lebih cermat kesalahan-kesalahan yang mungkin masih ada. Untuk naskah ke media cetak atau koran bahkan sangat dianjurkan untuk menyimpannya minimal selama sehari sebelum diperiksa sekali lagi menjelang dikirim.
Bertautan dengan ini, saya mempunyai kebiasaan meminta bantuan anak untuk membaca naskah saya secara cermat sebelum  mengirim ke media cetak. Anak saya yang kelas XII SMA akan membacanya dari awal hingga akhir. Yang diperiksanya terutama yang berkaitan dengan kesalahan ketik, irama tulisan, dan kemudahan dalam memahami isi. Kalau dia mengatakan “sudah cukup” atau “sudah bagus”, maka saya segera mempublikasikannya. Kalau dalam pengeditan itu, dia masih belum mengerti dengan apa yang dimaksudkan dalam teks, maka saya mesti memperbaiki naskah tadi. Itu bisa berarti ada kata-kata sulit yang mesti dicarikan padanannya dalam bahasa yang lebih sederhana. Jadilah anak saya adalah editor naskah-naskah saya.
Untuk tujuan publikasi di koran/majalah, saya membayangkan pembaca naskah itu rata-rata berpendidikan SMA. Jadi bahasa dan logika yang dipakai sesuai dengan tingkatan pendidikan calon pembaca. Kalau anak saya yang siswa SMA sudah bisa paham, maka pembaca pun  saya yakin akan mengerti. 
Read more ...

Kebijaksanaan Seorang Steve Jobs

I Ketut Suweca

Dunia sempat dikejutkan oleh berita meninggalnya Steve Jobs. Tokoh teknologi komunikasi dan informasi dan salah seorang pendiri perusahaan raksasa Apple ini meninggal pada tanggal 5 Oktober 2011 akibat komplikasi kanker pankreas yang dideritanya. Tentang kematiannya, perusahaaan Apple mengumumkan, bahwa mereka sangat berduka telah kehilangan Steve Jobs. “Kecerdasan, semangat, dan energi Steve Jobs sumber inovasi berharga yang memperkaya dan memperbaiki hidup kami semua. Dunia menjadi lebih baik karena Jobs. Cinta terbesarnya adalah untuk istrinya, Laurence dan keluarganya. Kami berduka untuk mereka dan semua orang yang tersentuh oleh perjuangannya yang luar biasa,” demikian dilansir oleh sejumlah media.
Sekilas Masa Kecil dan Karier Jobs
Steve Jobs lahir di San Francisco, California, 24 Februari 1955 dari orang tua kandung Abdulfattah Jandali dan Joanne Schieble. Orang tua biologisnya itu adalah sepasang  kekasih yang masih berstatus mahasiswa saat Jobs dilahirkan. Mereka lalu menyerahkan Jobs untuk diadopsi pasangan Paul dan Clara Jobs dari Mountain View, California. Mereka tinggal dan membesarkan Jobs di Lembah Silikon, sebuah kawasan industri terbesar di Amerika Serikat.  Selang beberapa bulan setelah Jobs diadopsi, Joanne Schieble  dan Jandali menikah secara resmi dan memperoleh keturunan, yaitu seorang  anak perempuan bernama Mona Simpson. Mona tidak pernah tahu dan tak kenal kakak kandungnya hingga dewasa.
Walaupun masa kecilnya tidak menggembirakan, Jobs bisa membuktikan dirinya sebagai orang yang sangat kreatif, visioner, dan inovatif.  Ia biasa menghabiskan masa liburan SMA dengan magang di perusahaan Hewlett Packard di Palo Alto. Saat itulah dia bertemu dengan Steven Wozniak, seorang perancang desain komputer. Bahkan kemudian, mereka bekerjasama dan berhasil membangun sebuah mesin komputer yang dinamai Apple I.  Usahanya ini berhasil mendapatkan keuntungan, dan mereka pun membangun Apple II, yang kembali sukses dijual di pameran komputer California tahun 1977. Keduanya lalu mendirikan perusahaan bernama Apple, yang pada awalnya dimulai dari garasi di sebuah rumah. Perusahaan itu didirikan, setelah Jobs berhasil meyakinkan seorang pengusaha lokal, Mike Markulla, untuk memberikan bantuan dana sebesar 250.000 dollar AS.
Anehnya, Steve sempat dipecat  pada tahun 1985 dari perusahaan Apple yang didirikannya karena dipandang bahwa ia ‘tak dapat dikontrol.’ Tapi, Steve mengaku karena adanya perbedaan dalam visi mengenai masa depan dan sulit disatukan.   Namun,  pada tahun 1996 dia ditarik  kembali ke Apple setelah di luar dia menunjukkan kehebatannya dengan  mendirikan NeXt, sebuah perusahaan pengembangan platform komputer. Perusahaan ini dibeli senilai $429 juta oleh Apple,  dan Jobs pun kembali ‘pulang’. Setahun berselang, Jobs menjadi CEO perusahaan raksasa Apple. Pasca kembalinya Jobs, Apple maju pesat. Produk-produk revolusioner dan laku seperti iPod, iPhone, iPad, dan Macbook Air yang supertipis pun lahir dari Apple Inc. (Kompas, 7/10/2011).
Kebijaksanaan Hidup
Sepeninggal Jobs, banyak orang memburu produk-produk Apple, sebagai bentuk kecintaannya kepada Jobs dan Apple. Sementara itu, banyak pula kalangan yang khawatir dengan nasib perusahaan raksasa itu. Pertanyaan yang muncul di antaranya, apakah Apple masih akan sanggup melahirkan produk-produk inovatif sebagaimana ketika Jobs masih ada? Di tengah keraguan dan kian ramainya pencinta produk Apple berburu berbagai varian yang dikeluarkan Apple, ada hal yang sangat positif yang diwariskan Jobs untuk masyarakat dunia, yakni kebijaksanaan  hidup. Inilah diantaranya.
Steve Jobs dikenal sebagai manusia yang fokus. Ia berkonsentrasi dengan penuh antusias terhadap pekerjaannya untuk mencapai hasil terbaik. Ia mengembangkan produk terbaik dari Apple Inc untuk dinikmati oleh konsumen, bahkan hingga mengguncang dunia. Keuntungan materi bukan menjadi tujuan utama Jobs. Salah satu nilai dasar yang ia tanamkan di Apple Inc adalah membuat sesuatu yang benar-benar memberi kontribusi besar bagi masyarakat.  “Buatlah sesuatu yang memberikan kontribusi besar bagi masyarakat, sesuatu yang bisa membuat lekukan di alam semesta. Saat itu tercapai, keuntungan materi akan mengikuti dengan sendirinya,”  ujarnya pada sebuah pidato dalam  acara wisuda Stanford University. Steve Jobs juga betul-betul  fokus dalam menentukan apa yang hendak dibangun. Ia tidak mudah tergoda oleh arus pasar.
Jobs juga dikenal sebagai manusia yang mendengarkan kata hati dan intuisi. Dalam pidatonya yang berdurasi 15 menit itu, Jobs mengatakan: “Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apapun lainnya. Pendekatan ini efektif  dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya,” ujarnya. Pada bagian lain pidatonya itu, ia berkata: “Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak terdengar kata hati Anda. Dan, yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan.”  Kata hati dan intuisi adalah patokan Jobs dalam bekerja dan melakoni hidup.
Satu lagi kebijaksanaan berharga dari Steve Jobs, yakni pentingnya  memilih pekerjaan yang benar-benar disukai.  Ia meyakini, bahwa yang membuatnya betah bekerja adalah karena dia menyukai pekerjaan itu. “Saya yakin, bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaaan maupun pasangan hidup. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan, Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai.” ujarnya dalam pidato itu.
Selanjutnya dikatakan:  “Bila Anda belum menemukan, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.”  Rupanya petuah terakhirnya ini tak hanya relevan untuk menemukan karier dan melangkah menjalaninya hingga ke puncak, bahkan juga relevan dengan usaha menemukan pasangan hidup.
Yang terakhir yang tak kalah pentingnya yang dapat dipetik dari pidato Jobs adalah tentang kematian.  “Kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya, maka yang tua menyingkir untuk diganti yang muda,” tandasnya.
Demikianlah Steve Jobs. Ia tercatat sebagai tokoh teknologi informasi dan komunikasi berkelas dunia. Jobs bahkan dianggap sejajar dengan Thomas Edison dan Henry Ford pada masanya.  Kebijaksanaan hidup yang diwariskan Jobs kepada masyarakat, antara lain perlunya fokus, mengikuti kata hati dan intuisi dalam bekerja, serta pentingnya memilih dan melakukan pekerjaan yang disukai. Dan, kematian menurutnya merupakan buah terbaik dari kehidupan yang membuat hidup berputar.  Steve Jobs meninggal pada tanggal 5 Oktober 2011 dalam usia 56 tahun. 
Read more ...

Sastrawan Sunaryono Basuki: Saya Ini Tukang Ketik!

I Ketut Suweca

Anda mengenal nama Sunaryono Basuki Koesnosoebroto? Atau, bahkan Anda pernah menjadi muridnya? Sunaryono Basuki Ks adalah salah seorang begawan sastra yang dimiliki Indonesia. Pak Bas, demikian biasanya murid dan sahabatnya memanggil, lahir 9 Oktober 1941 di Kepanjen, Malang, dan sudah lama menetap di Singaraja, Bali. Ia pensiunan guru besar IKIP Negeri Singaraja (kini Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja). Kiprahnya dalam dunia sastra sudah tak terbilang lagi. Ratusan karya sastra lahir  dari tangannya, seperti novel, cerpen, puisi, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris yang sebagian besar sudah dipublikasika di koran, majalah, dan dalam bentuk buku.  Belum lagi buku-buku teks yang diperuntukkan bagi para mahasiswa.
Sastrawan sepuh yang beristrikan I  Gusti Ayu Darmika dan dikaruniai tiga orang anak (anak pertama almarhum) dan tiga orang cucu ini, masih tetap produktif menulis. Dia juga menerjemahkan karya-karya sastra dunia dari bahasa Inggris  ke dalam bahasa Indonesia. Maklum saja, bahasa Inggris adalah keahlian utamanya di samping sastra. Saat masih mengajar dulu ia memang mengajar di jurusan bahasa Inggris. Demikianlah, limpahan karyanya tak pernah surut. Kian berumur, kian banyak saja karya tulis yang terlahir dari tangannya. Ia sangat produktif.
Bedah Kumpulan Cerpen
Tanggal  9 Oktober 2011 Pak Bas genap berusia 70 tahun. Untuk memperingati ultah ini, maka pada hari Minggu, 16 Oktober 2011 diselenggarakan acara pembedahan sekaligus peluncuran buku kumpulan cerpennya yang berjudul “Antara Jimbaran dan Lovina”. Bedah buku itu diselenggarakan di Danes Art Gallery, Jl. Hayam Wuruk 159 Denpasar. Hadir sebagai pembedah/pembahas buku tersebut, yakni Dr. Fabiola Kurnia, Dr. Jean Couteau, dan Drs. I Nyoman Tingkat, M.Hum. Puluhan penulis dan sastrawan hadir pada forum itu untuk memberi apresiasi terhadap buku Pak Bas, sekaligus menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke-70 untuknya. Suasana bedah buku itu menjadi semakin meriah dengan pembacaan puisi oleh para penyair/sastrawan usia muda dan alunan suara merdu Ayu Laksmi yang bertema nyanyian semesta.
Para pembedah buku kumpulan cerpen ini melihat, Pak Bas sudah banyak berkarya dengan menghadirkan adat dan budaya Bali. Walaupun, sebagaimana dikatakan oleh Jean Couteau dan I Nyoman Tingkat, budaya Bali diletakkan hanya sebagai latar cerita, sama sekali tidak secara khusus memberi penilaian atau protes terhadap budaya tersebut. Tak ada sikap frontal atau konfrontif  di situ. Pak Bas memilih  memainkan pena  secara halus dan tersamar, tanpa kritik yang eksplisit.  Hal ini terlihat dari bagaimana seorang Sunaryono Basuki mengemas cerita dalam kumpulan cerpen itu seperti “Dadong Dauh”, dan “Cok.”
 Sementara itu, Fabiola Kurnia, menyebut Pak Bas sebagai seorang pendekar pena yang menjadi transformer, yakni orang yang mentransformasikan dunia imajinasi dan fakta ke dalam balutan cerita yang utuh untuk dipersembahkan kepada pembaca.
Sudah Ada di Langit
Pada bagian “Tentang Penulis” dalam buku itu, antara lain Sunaryono Basuki Ks menyebut diri hanya sebagai tukang ketik. Ketika saya (penulis) yang turut hadir pada kesempatan tersebut menanyakan lebih jauh tentang hal ini, Pak Bas menjawab bahwa memang dia benar-benar merasa sebagai tukang ketik, tidak lebih, tidak kurang.
“Semuanya sudah ada di langit.  Tugas saya hanya mengambil saja, itu pun kalau diberi kesempatan. Apa yang saya pikirkan dan tuliskan, sudah ada di situ. Sudah pernah saya coba membuat penokohan sesuai dengan keinginan saya. Tapi, nyatanya tokoh-tokoh yang saya persiapkan dengan perannya masing-masing, semuanya berontak. Yang jahat tak mau jadi orang jahat, malah jadi tokoh yang baik. Sebaliknya, yang saya siapkan jadi tokoh yang baik, eh malah jadi jahat. Jadi, saya menyadari bahwa apa yang saya tulis itu sebelumnya sudah tertulis di langit. Saya tinggal mengambilnya. Dari sini saya belajar, bahwa hanya Tuhanlah Sang Pencita, bukan manusia. Ini menghindarkan diri dari kesombongan,” ujarnya di depan forum yang dihadiri oleh para satrawan dan penulis itu.
Selamat ulang tahun ke-70. Semoga Tuhan melimpahkan kesehatan kepada Pak Bas, sehingga bisa tetap  berkarya. Karya-karya Pak Bas akan menjadi warisan yang sangat berharga bagi  generasi penerus negeri ini.
Read more ...

Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal

I Ketut Suweca

Melacak perkembangan ekonomi kreatif, tak bisa lepas dari kemunculannya untuk  pertama kali di Inggris. Saat itu,  John Howkins (2001) menulis buku Creative Economy, How People Make Money from Ideas. John Howkins adalah seorang yang berkebangsaan Inggris yang memiliki multiprofesi. Di samping sebagai pembuat film, ia juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintahan Inggris. Dia banyak terlibat dalam berbagi diskusi pembentukan kebijakan ekonomi kreatif di kalangan pemerintahan negara-negara Eropa.
John Howkins mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya, dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Konsep ekonomi kreatif itu kemudian dikembangkan oleh ekonom Richard Florida (2001) dari Amerika Serikat. Dalam buku The Rise of Creative Class dan Cities and Creative Class, Florida mengulas tentang industri kreatif di masyarakat. Menurutnya, manusia pada dasarnya adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun perbedaannya ada pada statusnya, karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif dan mendapatkan kemanfaatan ekonomi secara langsung dari aktivitas yang digeluti. (Moelyono, 2010).  Negara, wilayah, atau daerah yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang persaingan di era ekonomi global ini.
Berawal dari Inggris, ekonomi kreatif kini banyak diadopsi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan komposisi jumlah penduduk usia muda sekitar 43 persen atau sekitar 103 juta orang, Indonesia memiliki sumberdaya manusia yang cukup besar bagi keberhasilan pembangunan ekonomi kreatif. Belum lagi potensi lainnya, seperti kepulauan Indonesia yang luas, terdiri atas 17.504 pulau dengan keragaman flora dan fauna serta kekayaan budaya bangsa dengan 1.068 suku bangsa, dan berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh Indonesia. Kekayaan ini adalah potensi besar dalam mendukung tumbuhnya industri kreatif Indonesia yang saat ini memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp.104,6 triliun.
Data menyebutkan, rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia tahun 2002-2006 sebesar 6,3 persen dari total PDB nasional. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp.81,4 triliun dan berkontribusi sebesar 9,13 persen terhadap total ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta orang. Industri kreatif menduduki peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. PDB industri kreatif didominasi oleh kelompok busana (fashion), kerajinan, periklanan, dan desain. Jika dikelola dengan baik, kontribusinya terhadap PDB akan terus naik secara signifikan. Kontribusi ekonomi yang sangat signifikan inilah yang menjadi alasan mengapa industri kreatif Indonesia perlu terus dikembangkan. Selain itu, industri kreatif juga menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun kebanggaan dan  identitas bangsa Indonesia.
Pemerintah telah mengidentififikasi lingkup industri kreatif mencakup 14 subsektor, yakni permainan interaktif, peranti lunak (software), periklanan, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, film, video dan fotografi, kerajinan, arsitektur, busana (fashion), desain, musik, pasar dan barang seni, serta penerbitan dan percetakan.
Kesungguhan Pemerintah
Perombakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merupakan angin segar bagi para pelaku ekonomi kreatif. Lebih-lebih lagi,  ada dua kementerian lainnya yang terlibat langsung dengan pengembangan ekonomi kreatif ini, yakni Kementerian Pedagangan dan Kementerian Perindustrian. Koordinatornya adalah Menko Kesra RI. Hal ini menunjukan kesungguhan pemerintah dalam mengembangkan ekonomi kreatif melalui indutri kreatif yang sudah dan akan terus dikembangkan.
Sinergi antarkementerian ini mesti diperkuat, juga harus jelas siapa mengerjakan apa, agar tak terjadi tumpang tindih kapling tugas. Sinergitas seharusnya menghasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan jika masing-masing kementerian bekerja sendiri-sendiri. Untuk menciptakan sinergi yang benar-benar solid,  Menko Kesra dapat bertindak sebagai koordinator aktif yang menyatupadukan konsep dan gerak langkap pengembangan ekonomi kreatif ini.
Berbasis Budaya Lokal
Menumbuhkembangkan ekonomi kreatif tak bisa lepas dari budaya setempat. Budaya harus menjadi basis pengembangannya. Dalam kebudayaan lokal ada yang disebut dengan kearifan local (local genius) yang menjadi nilai-nilai bermakna,  antara lain,  diterjemahkan ke dalam bentuk fisik berupa produk kreatif daerah setempat. Revrisond Baswir, ekonom Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa ekonomi kreatif tidak bisa dilihat dalam konteks ekonomi saja,  tetapi juga dimensi budaya. Ide-ide kreatif yang muncul adalah produk budaya. Karenanya, strategi kebudayaan sangat menentukan arah perkembangan ekonomi kreatif
Setiap daerah/wilayah pada umumnya memiliki potensi produk yang bisa diangkat dan dikembangkan. Keunikan atau kekhasan produk lokal itulah yang mesti menjadi intinya lalu ditambah unsur kreativitas dengan sentuhan teknologi. Silakan saja satu daerah dan daerah lain memiliki produk yang sejenis, namun setiap daerah mesti mempertahankan ciri khasnya.
Dalam hal ini mesti dihindari penyeragaman antardaerah/wilayah. Jika ini dilakukan juga, maka nilai keunikan dan kekhasan  akan hilang. Berikan berkembang apa yang ada di daerah setempat, dan inilah yang dipadukan dengan kemampuan manusia yang inovasi-kreatif. Hanya dengan demikian keunggulan komparatif bisa terjaga dan  daya saing produk bisa dipertahankan.
Akhirnya, kta menaruh harapan semoga ekonomi kreatif melalui industri-industri kreatif bisa berkembang dengan baik di negeri ini. Jika ini berkembang, maka tak hanya produk domestik bruto (PDB) yang meningkat, lapangan kerja juga kian terbuka sehingga pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi secara bertahap.
Read more ...

Ketinggian Bangunan atau Pemerataan Pembangunan?

Oleh I Ketut Suweca

Belakangan ini muncul wacana di media massa tentang usulan penyempurnaan  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali. Dalam RTRW yang masih berlaku sekarang, ketinggian bangunan di Bali maksimum 15 meter. Jika lebih, bakal terkena sangsi. Rupanya setelah diberlakukan sekian lama, ketinggian sebesar itu tidak lagi mencukupi. Dipandang perlu lebih dari itu pada zona tertentu. Wacana tersebut, tak pelak, memunculkan perdebatan yang tak berkesudahan dengan argumen masing-masing.
Secara garis besar terdapat dua arus utama pemikiran yang saling berseberangan. Di satu pihak adalah pemikiran menghendaki bangunan di Bali diperbolehkan lebih dari 15 meter sehingga diperlukan perubahan RTRW Bali. Di lain pihak adalah pemikiran yang menginginkan ketinggian maksimal bangunan ditetapkan 15 meter sesuai dengan RTRW yang sudah ada.

Silang Pendapat
Alasan pihak yang menghendaki bangunan dibolehkan lebih dari 15 meter pada intinya adalah karena keterbatasan lahan yang tersedia. Jika dibiarkan perkembangan pemukiman berlangsung bersamaan dengan bertambahnya penduduk Bali, maka lahan pertanian dan lahan kosong lainnya akan habis. Tak ada lagi lahan pertanian dan perkebunan yang hijau seperti yang kita nikmati sekarang. Menurut pendapat ini, tak ada pilihan lain untuk mengatasi masalah pemenuhan akan kebutuhan pemukiman selain membuat bangunan dan pemukiman yang bertingkat ke atas (vertikal) pada zona tertentu, sehingga mengatasi penggunaan lahan di sekitarnya. Paling tidak, upaya ini dapat memperlambat laju pengalihan fungsi lahan.
Alasan pihak kedua yang menghendaki ketinggian bangunan ditetapkan tak lebih dari 15 meter adalah jika bangunan-bangunan pemukiman, hotel, jenis bangunan lainnya pada zona tertentu di Bali diberikan membangun lebih dari 15 meter, maka Bali tak ada bedanya dengan beberapa wilayah/kota lain di Indonesia. Keindahan alam Bali akan tersapu oleh bangunan-bangunan bertingkat yang memenuhi kawasan. Pandangan mata akan berbenturan dengan beton-beton menjulang tinggi di kiri-kanan jalan. Bali tak lagi menjadi Bali.  Hal ini dipandang menjauh dari folosofi dasar manusia Bali yang berbasis spiritual Hindu: tri hita karana. 

Beberapa Pertimbangan
Pertama, dalam kaitannya dengan pembangunan Bali ke depan, seyogianya falsafah dan kearifan leluhur yang adiluhung hendaknya senantiasa menjadi pegangan utama. Betapapun,  kearifan itu akan mampu mempedomani generasi demi generasi agar dapat hidup dalam keseimbangan sekaligus menghindari perasaan keterasingan di daerah sendiri. Oleh karena itu, kiranya filosofi tri hita karana, salah satunya,  hendaklah tetap menjadi pegangan dalam kehidupan manusia Bali.  Karena, dengan konsep warisan leluhur ini, manusia Bali bisa hidup cukup harmonis hingga sekarang, dan sampai nantipun diharapkan demikian bahkan lebih baik lagi. Betapa eloknya bisa tetap hidup selaras dengan alam, dengan sesama manusia, dan Tuhan.
Kedua, persoalan yang ada bukanlah terletak pada perlu-tidaknya perubahan ketinggian bangunan dari 15 meter menjadi boleh lebih dari itu. Itu hanyalah keinginan yang muncul sebagai efek dari kepadatan penduduk yang melebihi kapasitas tampung suatu wilayah. Jadi, persoalan mendasarnya ada pada masalah kepadatan penduduk di kota Denpasar dan Badung sebagai akibat dari ketidakmerataan persebaran pembangunan di  wilayah Bali. Kepadatan ini terjadi sebagian besar karena kehadiran para pendatang dari luar wilayah itu, baik dari Bali maupun luar Bali. Yang membuat mereka datang dan bermukim di kedua wilayah tersebut tentu karena di situ ada sumber penghasilan/penghidupan: pekerjaan. Kebutuhan akan pekerjaan itulah yang mendorong mereka datang ke Badung dan Denpasar. Sementara, di daerah asal, mereka tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan untuk mengembangkan diri.
Di Badung dan Denpasar ada ratusan  jenis pekerjaan, mulai dari bisnis jasa hingga bisnis yang menghasilkan produk tertentu. Industri, pendidikan, pariwisata, numplek bleg di situ. Yang paling menonjol adalah bisnis pariwisata yang membutuhkan tenaga kerja yang besar. Daripada harus bolak-balik ke desa asal, mereka akhirnya memilih tinggal di wilayah dekat tempat mereka bekerja, baik dengan menyewa ataupun dengan membangun pemukiman sendiri. Alhasil, Denpasar dan Badung menjadi padat penduduk, padat lalu lintas, padat pula tuntutan akan lahan pemukiman. Salah satu solusi alternatif yang ditawarkan adalah membuat aturan bangunan boleh lebih dari 15 meter. Maksudnya, antara lain  agar masalah kebutuhan tempat hunian, dll. dapat diselesaikan, sementara pengalihan fungsi lahan dapat diperlambat.
Ketiga, penulis melihat bahwa merevisi aturan ketinggian bangunan pada RTRW Bali bukanlah alternatif terbaik. Dengan penyesuaian aturan yang membolehkan ketinggian bangunan lebih dari 15 meter, untuk sementara,  mungkin akan dapat menanggulangi masalah kebutuhan pemukiman. Solusi ini tidak akan menyelesaikan persoalan jika migrasi penduduk terus terjadi dari desa-desa di Bali atau di luar Bali ke Badung dan Denpasar. Lima sampai sepuluh tahun lagi, persoalan yang sama akan muncul lagi. Akankah RTRW diubah lagi sehingga pada akhirnya berapun ketinggian bangunan akan diperbolehkan?
Tanpa data statistikpun kita bisa melihat betapa pembangunan di Bali sama sekali belum merata. Ada wilayah/kota yang berkembang sangat pesat seperti  kedua wilayah yang disebutkan di atas, sementara ada bagian lain dari wilayah Bali jauh lebih lambat. Di mana ada kesempatan berkembang, ke situlah orang akan datang mengais rejeki. Analoginya, di mana ada gula ke situlah semut beramai-ramai  nglurug.
Keempat, berkaitan dengan point ketiga di atas, Bali sesungguhnya membutuhkan grand desain pembangunan wilayah yang bisa mendorong pusat-pusat pertumbuhan bisa tersebar secara seimbang di seluruh wilayah kabupaten/kota. Memang ini sulit. Tapi, jika tak dilakukan/diusahakan secara sungguh-sungguh, maka Bali akan menangis dalam 10-20 tahun lagi. Kesenjangan akan kian menganga. Kini pun kedua wilayah itu sudah jenuh oleh kepadatan penduduk. Kemacetan lalu-lintas sehari-hari adalah contoh kecil di permukaan yang bisa kita lihat dan rasakan kini. Denpasar dan Badung benar-benar akan mengalami total traffic-jam. Dalam konsep membangun Bali, seyogianya pusat-pusat pertumbuhan itu bisa tersebar merata dan seimbang di seluruh wilayah. Tak hanya di Bali Selatan, juga di Bali Timur, Barat, dan Utara.  Dengan persebaran ini, maka tenaga kerja tak lagi terkonsentrasi di kedua wilayah tadi, melainkan tersebar di seluruh wilayah Bali. Alhasil, kesenjangan pendapatan dapat dikurangi, dan keseimbangan tingkat kepadatan dan persebaran   penduduk pun dapat dijaga.  
Uraian di atas hendak menjelaskan masalah yang dihadapi Bali adalah persoalan kebutuhan persebaran penduduk yang belum merata karena pembangunan yang kurang seimbang antara Bali Selatan dengan Bali Timur, Utara, dan Barat.  Meninggikan bangunan kiranya bukanlah jawaban terbaik. Itu hanya solusi jangka pendek tetapi tak menyelesaikan masalah dalam jangka menengah dan  panjang. Bali memang benar-benar mesti dijaga agar tidak kehilangan “kebalian”-nya dalam dinamika dan gemuruh pembangunan. Bisakah?


Read more ...