Buku Baru : Sukses Menulis dengan Memanfaatkan Pikiran Bawah Sadar

Judul : Subconscious Mind Writing: Memanfaatkan      Kecerdasan Luar Biasa Pikiran Bawah Sadar
Penulis : I Ketut Suweca
Penerbit : Udayana University Press, 2011
Halaman : xiv + 182 halaman
ISBN  : 978-602-9042-23-8.



Buku Subconscious Mind Writing berbicara banyak hal tentang dunia tulis-menulis. Diantaranya, tentang bagaimana mendapatkan ide untuk penulisan, menyusun artikel dan mempublikasikannya, serta bagaimana menyikapi artikel yang ditolak. Yang menjadi fokus utama buku ini adalah tentang pemanfaatan kemampuan pikiran bawah sadar dalam menggali ide untuk penulisan, teristimewa ide-ide orisinal.
Banyak penulis yang pada awalnya merasa tidak punya ide untuk ditulis, namun ketika mereka praktik menulis, ternyata ide-ide itu mengalir deras ke luar dari pikiran dan terekam ke dalam bentuk tulisan.
Bagaimana semua itu bisa terjadi? Bagaimana masuk ke dalam suasana itu, yang oleh beberapa kalangan disebut dengan proses trance, meditatif, atau proses kreatif? Jawabannya ada di dalam buku ini.
Di samping menyinggung tentang berbagai hal mengenai seluk-beluk dunia tulis-menulis, termasuk di dalamnya tentang menggali ide dari pikiran bawah sadar dan dari kecerdasan semesta, buku ini juga berisi dorongan menulis untuk para penulis pemula dan calon penulis. Buku yang ber-cover dasar biru ini cocok dibaca oleh para siswa, mahasiswa, guru, dan siapa saja yang tertarik untuk mengetahui dan menekuni dunia penulisan artikel untuk media massa. “Membaca buku ini bukan hanya menemukan hal baru dalam proses penulisan, tetapi juga kiat-kiat untuk dapat menghasilkan karya tulis yang bermutu,” tulis wartawan senior, Widminarko, dalam endorsement-nya.
Read more ...

Apa Alasan Kita Ada di Bumi?

I Ketut Suweca

Saya masih teringat ketika dulu menjadi pengunjung tetap sebuah perpustakaan. Seperti biasa, setiap dua minggu sekali saya berkunjung ke perpustakaan itu untuk menukar buku yang saya pinjam sebelumnya dengan buku lain. Dua buku dalam dua minggu menjadi bacaan wajib saya, apa pun jenis buku itu. Yang terpenting saya berminat membacanya.

Suatu hari saya ngobrol dengan seorang karyawan setempat. Kami bersalaman, terlibat obrolan singkat, sebelum memulai mencari-cari buku yang menarik perhatian saya. Inilah petikannya.
“Pak Suweca kan sudah selesai kuliah, kok masih meminjam buku?,” tanya karyawan itu.

“Memangnya kenapa kalau masih meminjam buku?,” saya tanya balik.
“Nggak apa-apa sih, tapi Pak kan sudah tak kuliah lagi, kok masih suka meminjam buku?,” katanya memberi alasan.
“Ya, saya pinjam buku karena nggak bisa beli, he he. Lagi pula saya senang baca-baca untuk mengisi waktu luang,” jawab saya sekenanya.
Mungkin seperti karyawan itulah pandangan masyarakat kita pada umumnya, bahwa kalau sudah tidak bersekolah lagi, maka seseorang tak lagi pantas melahap isi buku. Sayangnya, yang bertanya itu seorang pegawai perpustakaan! Tapi, tak apalah, karena dia tak tahu kalau saya suka menulis yang selalu memerlukan bacaan. Tak apalah, karena dengan begitu, saya jadi dapat ide untuk memberi ilustrasi pada artikel pendek ini.
Membaca hanya untuk mereka yang sedang menempuh pendidikan formal. Kalau sudah tidak kuliah/bersekolah lagi, tak perlu membaca buku! Tentu saja kita tidak sependapat dengan pandangan di atas. Membaca adalah salah satu cara pengembangan diri melalui penambahan pengetahuan. Pengembangan diri menjadi sesuatu yang penting manakala kita ingin mencapai kemajuan bersamaan dengan bergulirnya waktu. Dengan alasan pengembangan diri inilah mengapa orang mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan. Dengan alasan ini pula mengapa orang yang sudah berumur lanjut memutuskan untuk kembali ke kampus. Mungkin dengan alasan ini pula mengapa kita saling berbagi di kompasiana, saling menimba pengetahuan dan pengalaman.
Penulis Gail Sheehy, seperti dikutip John C. Maxwell, mengatakan bahwa “Jika tidak berubah, kita tidak akan pernah bertumbuh. Jika tidak bertumbuh, kita tidak akan hidup.” Atau,  seperti dikatakan penyair Robert Browning: “Apa alasan kita ada di bumi selain untuk bertumbuh?” Jadi, pengembangan diri penting dan perlu, sehingga seharusnya menjadi pilihan kita.  Jika kita masih berpikir bahwa dengan diam saja kita masih bisa berhasil, maka kita salah besar!
Selamat menjalani pengembangan diri. Salam hangat.
Read more ...

Sudah Duduk, Lupa Berdiri

I Ketut Suweca

Judul artikel ini saya ambil dari pepatah lama yang menunjuk pada orang yang emoh meninggalkan kekuasaannya walau waktu lengser-nya sudah tiba. Ketidaksediaan melepaskan kekuasaan itu disebabkan enaknya duduk di kursi empuk kekuasaan. Ketika waktunya ia harus turun tahta, bukan main sulitnya. Secara mentalitas, orang seperti ini biasanya sudah sangat lama dan sangat betah berada pada wilayah atau area nyaman (comfort zone), sehingga enggan keluar dari situ. Penguasa yang telah mendapatkan banyak fasilitas dengan segala hak istimewa di dalamnya membutuhkan kearifan untuk bisa legowo meninggalkan kursi empuk kekuasaan secara suka rela.

Tentu saja, ungkapan ‘sudah duduk, lupa berdiri’ tidak hanya relevan dengan kekuasaan. Dalam hal-hal lain pun ungkapan itu dapat berlaku. Dalam dunia kewirausahaan, misalnya, seorang wirausahawan yang kini tengah menikmati hasil dari kemajuan usahanya tak boleh cepat merasa puas.
Ia mesti segera melakukan perubahan-perubahan menuju ke perbaikan atau peningkatan sekaligus mengcegah kemandekan. Dia tak boleh berlama-lama berada dalam zone nyaman, melainkan harus melakukan perubahan.
Orang yang sedang meniti karier pun seyogianya demikian. Kendati pun kini dia berhasil meraih posisi tinggi dalam perusahaan/institusi dan mendapatkan gaji yang sudah relatif besar bagi ukurannya, ia tak bisa berhenti berubah. Dia mesti selalu memperkuat kompetensinya sehingga menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ia  sama sekali tak boleh berhenti belajar jika tak ingin ‘ketinggalan kereta’ di era informasi ini.
Bagaimana dengan para penulis? Penulis yang berhasil dalam karier penulisannya sangat berbahaya kalau sampai lupa belajar, lupa men-charge dirinya saking nyamannya posisi dan kondisi yang diperolehnya kini. Penulis yang baik adalah dia yang selalu belajar dengan memperluas wawasannya tanpa pernah berhenti. Ia benar-benar menyadari bahwa dia adalah orang yang tahu bahwa sesungguhnya ia tidak tahu sehingga dia bersedia belajar. Ia menyadari betapa luas dan dalamnya samudra ilmu yang belum  diselami. Kerendahan hatinya pun senantiasa terjaga.
Jadi, apa pun pekerjaan seseorang, tak terkecuali sebagai penulis,  dia harus berani keluar dari zone nyaman dengan melakukan perubahan. Ia mesti bersiap-siap untuk perang, sebelum perang sesungguhnya terjadi. Laksana komandan militer, ia membangun ‘angkatan perang’-nya di masa damai, bukan baru mulai melakukan itu di masa perang. Itu harus dilakukannya  jika ingin mencapai kemajuan.
Demikian sapaan saya siang ini. Salam hangat untuk semua..
Read more ...

Belajar dari Koran Kompas

I Ketut Suweca

Saya tidak berlangganan Kompas. Hanya membelinya secara eceran. Ada pedagang koran di pinggir jalan yang mangkal dengan lapak kecilnya setiap pagi, menjadi langganan saya. Kemarin saya berburu koran ini di tempat pengecer itu. Tapi, koran yang saya cari  sudah habis. Di sebelah pengecer langganan saya itu, ada lagi tiga pedagang lain. Saya tanya, apakah Kompas masih ada. Jawaban mereka sama: “sudah habis.” Salah seorang dari mereka berucap: “Tadi diborong oleh seorang pembeli. Tersisa empat, dibeli semua,” ujar salah satu dari pedagang koran itu. Apa akal? Saya pun meneruskan perburuan. Kali ini saya langsung ke agen. Syukur, saya dapatkan koran itu. Saya beli satu eksemplar untuk mengobati rasa rindu saya yang tiada pernah habisnya terhadap koran nasional yang satu ini. Bahkan dalam hati saya beryukur ada koran bagus di negeri ini yang konsisten mempertahankan kualitas dan keberagaman isi.
Ada sejumlah manfaat yang bisa saya dapatkan dari membaca Kompas, terutama terkait dengan usaha pembelajaran diri. Pertama, dengan membaca Kompas dipastikan saya akan dapat menambah pengetahuan dan informasi baru di berbagai bidang: teknologi, ekonomi, pendidikan, budaya, dll.  Yang paling saya gandrungi adalah tulisan Opini pada halaman 6 dan 7. Saya banyak belajar dari para pakar di kolom itu, seperti Yudi Latif dan Airlangga Pribadi.  Lalu, khusus hari Minggu, saya tertarik membaca menikmati rubrik Cerpen-nya yang selalu bagus, Persona, serta tulisan ringan yang selalu menggelitik dari Samuel Mulia dalam rubrik Parodi. Oh ya, saya juga suka sekali dengan laporan hasil riset Kompas yang saya yakini sangat akurat dan bermanfaat untuk menambah referensi pembaca.
Kedua, saya juga banyak  belajar menulis dari koran Kompas. Beragam tulisan yang dimuat di media tersebut tentu sudah melewati proses seleksi yang ketat. Hanya tulisan yang memenuhi syarat saja yang bisa masuk di situ, ya bobotnya, ya tata tulisnya. Gaya penulisan Kompas, menurut saya, layak dipedomani, sebelum pembaca (yang penulis) menemukan sendiri gaya penulisannya.
Ini baru dua hal yang secara langsung dapat saya petik dari membaca  Kompas. Tentu masih banyak lagi manfaat yang dapat diperoleh dari koran nasional ini. Oh ya, Kompas mendapatkan penghargaan lho! Nama penghargaan itu THE BEST NATIONAL NEWSPAPER (GOLD) yang merupakan Penghargaan Indonesia Print Media Award (IPMA 2011) dari Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS). SELAMAT KEPADA SEGENAP JAJARAN KOMPAS.  Keep your quality.
Read more ...

Menulis dengan Tiga Pisau Bedah!

I Ketut Suweca

Proses editing (pengeditan) merupakan langkah yang tidak boleh ditinggalkan oleh penulis yang baik. Dengan editing ini, diharapkan tulisan yang dihasilkan menjadi  jauh lebih baik dibanding konsep awalnya. Sebuah tulisan yang baru selesai dikerjakan pada tahap konsep awal biasanya cukup banyak kesalahannya. Itulah sebabnya seorang penulis melakukan pengeditan sebelum dikirim ke media, baik media online maupun cetak. Perbaikan itu bukan hanya dilakukan satu atau dua kali, bahkan mungkin berkali-kali, sampai  dia  benar-benar merasa mantap sebelum mempublikasikan hasil karyanya. Ia menyadari bahwa sebuah tulisan merupakan representasi diri penulisnya. Tulisan yang dibuat secara cermat mencerminkan sang empunya yang teliti/saksama dalam berkarya; suatu sifat yang diperlukan dalam karier penulisan.

Saya berpendapat, paling tidak ada 3(tiga) pisau bedah yang bisa dipakai dalam mengedit  sebuah konsep tulisan. Dengan ‘senjata’ tiga pisau bedah itu kita dapat  membongkar,, menemukan, dan mengeluarkan semua benih-benih ‘penyakit’ pada tubuh sebuah karya. Tentu saja pisau bedahnya sendiri mesti tajam, sehingga proses ‘operasi’ dapat berjalan dengan sukses.


Pertama, pisau bedah kata. Kata-kata adalah kekayaan yang menjadi modal utama bagi seorang penulis. Dengan kata-kata, penulis menyampaikan gagasannya. Sebuah tulisan menjadi kering dan tidak enak dibaca bila tidak dirajut dengan kata-kata yang sesuai. Ada beberapa hal yang perlu dibedah dalam kaitannya dengan kata, di antaranya dengan mengajukan pertanyaan : apakah kata-kata atau ungkapan yang membentuk kalimat dalam tulisan itu sudah menerapkan ekonomisasi kata? Dengan kata lain, tidakkah ada kata-kata yang mubazir yang masih termuat di dalamnya? Selanjutnya, apakah kata-kata yang dipilih sudah benar-benar mewakili pikiran dan perasaan penulisnya sehingga terhindar dari pemahaman yang bias pada pembaca?
Kedua, pisau bedah logika. Dalam setiap tulisan ada sejumlah ide yang dikemukakan. Ide-ide itu diurai sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh pembaca. Berkenaan dengan hal ini, pertanyaan yang dapat diajukan adalah: sudahkah logika penulisan benar-benar diterapkan?  Artinya, sudahkan tulisan itu didasarkan pada penalaran yang benar (induktif atau deduktif)? Tidakkah ada bagian-bagian yang kontradiktif antarpernyataan yang membentuk tulisan itu? Hendaknya logika pembentuk tulisan mengalir  lancar menuju muara pengertian yang tepat sesuai dengan maksud si penulis.
Ketiga, pisau bedah orisinalitas. Karya tulis yang bernilai tinggi adalah karya yang menyajikan orisinalitas, yakni sesuatu yang baru, yang merupakan pandangan penulisnya sendiri. Mengkompilasi pendapat banyak orang bukanlah hal tabu, tetapi kalau di dalamnya dilengkapi dengan pemikiran orisinal si penulis, tentu tulisan itu menjadi lebih berbobot. Jadi,  menulis bukan sekadar menulis, melainkan hanya kalau ada hal baru atau sudut pandang baru terhadap suatu peristiwa/pendapat orang lain yang hendak dikemukakan, sesederhana atau sekecil  apa pun itu.
 “Tulisan yang bagus”, ungkap Malcom Gladwell dalam pengantar buku What the Dog Saw, “dinilai berhasil bukan dari kekuatannya meyakinkan. Tulisan yang baik dinilai berhasil jika tulisan tersebut mampu membuat Anda terlibat, berpikir, memberi Anda kilasan pikiran seseorang.”  Semoga tiga pisau bedah itu dapat membantu kita dalam menghasilkan karya terbaik.
Read more ...

Yudi Latif dengan Negara Paripurna

I Ketut Suweca

Informasi tentang buku karya Yudi Latif yang berjudul lengkap Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, saya dapatkan dari harian Kompas. Beberapa artikel di media nasional itu mengutip pendapat Yudi Latif dalam buku ini. Saya pun penasaran, ingin mengetahui seperti apa wujud dan isi buku tersebut.
Sore hari, usai sembahyang di sejumlah pura saat Hari Raya Galungan, saya dan keluarga singgah ke Toko Buku Gramedia Matahari, Denpasar. Maksud hati memang mencari buku itu dan buku Rosihan Anwar yang berjudul Belahan Jiwa. Menyusuri lapak-lapak buku baru, saya belum juga menemukan buku tersebut. Lalu, saya putuskan bertanya kepada karyawan setempat, dan dia membantu menunjukkan buku yang saya maksud. Eh ternyata, kedua buku baru itu diletakkan berdampingan. Saya sangat ingin membeli kedua-duanya sekaligus, tapi dengan pertimbangan dana, saya putuskan hanya membeli karya Yudi Latif. Buku karya Rosihan Anwar akan saya beli kemudian. Buku Yudi Latif, saya pikir, dapat menjadi sumber referensi penulisan praproposal yang sedang saya susun, sehingga buku karya doktor sosiologi-politik itulah yang saya prioritaskan.

Begitu sampai di rumah, dengan tidak sabar saya membuka buku berharga Rp.195.000,- tersebut. Buku itu berketebalan xxvii + 667 halaman. Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2011. Isinya? Buku ini mengandung sejarah Pancasila, sebuah sejarah panjang yang terbentang di belakang kelahirannya. Inilah yang dimaksudkan Yudi Latif dengan historiositas. Keberadaan Pancasila dengan sejarah panjangnya itu secara rasional memang merupakan kehendak bangsa, pilihan terbaik untuk menyatukan keberagaman etnik yang ada di bumi Nusantara. Pancasila adalah jawaban bagi pluralitas bangsa ini. Inilah yang dimaksud oleh si penulis dengan rasionalitas. Dalam buku ini, Yudi Latif berupaya mengkontekstualkan kelima nilai luhur Pancasila dengan kebutuhan kekinian. Inilah rupanya yang dimaksudkan penulisnya dengan aktualitas. Dengan begitu, anak bangsa ini tidak hanya dituntut untuk kembali kepada Pancasila, bahkan juga menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dengan cara mengaktualisasikan ke dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gagasan-gagasan brilian dalam buku ini disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan enak dibaca tanpa menghilangkan kadar keilmiahannya. Oleh karena itu, karya berharga ini pantas dibaca oleh siapapun yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. “… semoga buku ini sedikit banyak  menjadi sumbangan buat dimulainya pencerahan bangsa kita atau aufklarung sebagai titik balik menuju renaissance atau kebangkitan kembali bangsa kita,” tulis ekonom Kwik Kian Gie, dalam endorsement-nya.
Saya membaca buku ini dengan gaya seperti tupai, melompat-lompat, agar segera mengetahui isinya secara sepintas sehingga dapat mengabarkannya di sini. Saya masih harus terus membaca buku ini sampai tuntas, he he.  Selamat sore dan selamat beraktivitas.
Read more ...