Fenomena Copy-paste vs Budaya Menulis

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si


Rupanya cukup banyak kendala yang muncul tatkala sedang digalakkannya minat membaca dan menulis para pelajar. Belakangan ini ada kecenderungan para siswa melakukan pembuatan karya tulis dengan jalan mudah yakni dengan mengunduh (men-download) content dari internet melalui website yang berkenaan dengan topik yang dicari, lalu mengcopy-paste-nya ke file word. Dengan sedikit perubahan sistematika yang disesuaikan dengan kebutuhan, jadilah karya tulis itu. Setelah itu, karya tulis yang di kalangan siswa dikenal dengan nama ‘paper’ itupun kemudian diserahkan kepada guru yang menugaskannya. Ironisnya, karya tulis tersebut seringkali tidak diserta sumber atau alamat dari mana tulisan itu diunduh. Demikianlah fenomena copy-paste alias plagiat yang terjadi belakangan ini.
Mengapa copy-paste ini terjadi? Salah satunya adalah karena adanya keinginan untuk menyelasaikan tugas menulis/mengarang dengan cepat dan mudah. Salah satu dalihnya adalah karena banyaknya tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan para guru kepada mereka. Lagi pula, dalam pikiran siswa, toh karya tulis itu tidak akan dibaca dengan serius oleh para guru karena keterbatasan waktu dan kesibukannya. Yang penting ngumpul, demikian mungkin pikiran siswa kita . Alasan lain, mungkin mereka dilanda kemalasan dalam menulis sendiri paper itu apalagi menulis dipandang bukan pekerjaan gampang. Satu-satunya cara yang paling mungkin, dipilihlah meng-copy-paste karya orang lain melalui internet.
Kalau keadaan ini dibiarkan berlangsung terus-menerus, dikhawatirkan akan mengubur dalam-dalam niat untuk meningkatkan budaya baca dan tulis para siswa kita. Kini banyak pihak yang mengeluhkan tentang kondisi minat baca dan tulis para pelajar di tengah-tengah usaha yang sedang dan sudah dilakukan untuk meningkatkan minat baca-tulis itu, baik oleh lembaga pemerintah maupun oleh masyarakat. Kalau kondisi copy-paste ini terus berlangsung, tentu hal ini akan kontradiktif dengan usaha membangun budaya baca-tulis generasi muda bangsa ini. Lebih jauh lagi, hal ini sangat bertentangan dengan upaya mencerdaskankan bangsa. Bukankah ciri bangsa yang maju dan cerdas adalah bangsa yang menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai bagian dari budaya hidup masyarakatnya?

Apa solusi yang bisa dilakukan? Pertama, kepada para siswa sebaiknya diberikat pedoman/etika pengutipan karya tulis orang lain, misalnya dengan senantisa menyebut nama dan alamat website yang diunduh. Pernik-pernik seputar tata cara dan etika pengutipan sebaiknya dijelaskan dengan gamblang sehingga mereka tidak mengalami kesalahan dalam penyusunan karya tulis dan dalam penyebutan sumber pustakanya.
Kedua, memberikan atau melibatkan siswa dalam latihan menulis/mengarang agar mereka dapat mengungkapkan ide-idenya dengan lebih baik ke dalam karya tulis. Di samping teori, parktek menulis di sekolah dan di luar sekolah akan membantu siswa dalam mengorganisasikan buah pikirannya sehingga dapat memenuhi syarat-syarat penulisan yang baik. Tanpa pelatihan seperti itu, jangan berharap para siswa akan mampu menulis dengan baik, apalagi tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Ketiga, kepada para siswa dibiasakan mempresentasikan karya tulisnya itu di depan kelas. Dengan cara ini, mereka mau tak mau akan mempelajari isi paper yang dibuatnya dengan serius. Dengan meminta para siswa menjelaskan isi karyanya dapat dipastikan karya tulis yang dibuat itu benar-benar dibaca dan dikuasai isinya. Ini berarti menambah wawasan siswa dan membina kebiasaannya membaca, sebuah awal yang baik menuju dunia tulis-menulis.
Keempat, siswa perlu didorong untuk berpikir kreatif dan inovatif. Artinya, dalam menulis, mereka mampu mengelaborasi isi karyanya sedemikian rupa sehingga mencerminkan hasil kreativitas dan pemikiran alternatif. Dengan demikian, siswa tidak sekedar meng-copy-paste apa yang ada di internet, tapi memanfaatkan bahan tulisan dari internet itu hanya sebagai pelengkap. Isi utama tulisan adalah ide penulisnya sendiri. Dengan kata lain, bukan apa yang dicopy-paste itu yang menjadi ide utama, melainkan sekadar berfungsi sebagai kutipan yang melengkapi sebuah tulisan. Jadi, harus ditumbuhkan semangat untuk menyajikan sesuatu yang baru, sesuatu yang lain, karena disitulah kualitas dan orisinalitas sebuah karya terletak.
Kelima, menjelaskan kepada para siswa betapa pentingnya kemampuan menulis atau mengarang itu kelak setelah mereka mulai bekerja atau menempuh studi lanjut. Dalam penyusunan proposal suatu proyek atau menulis surat-surat administrasi perusahaan, misalnya, tentu sangat dibutuhkan kemampuan menuangkan gagasan ke atas kertas. Demikian pula saat studi di perguruan tinggi, kemampuan menulis sangat dibutuhkan.
Keenam, mesti ditumbuhkan rasa malu kalau siswa mengcopy-paste tulisan orang lain sebagai karya sendiri, juga merasa malu kalau sesuatu yang dihasilkan tidak mengandung nilai kebaruan sebagai hasil kreativitas siswa sendiri.
Ketujuh, perlu secara periodik mengkutsertakan para siswa dalam lomba-lomba menulis/mengarang antarsiswa untuk mengasah kemampuan menulis mereka, baik yang diselenggarakan sendiri oleh sekolah ataupun oleh lembaga eksternal lainnya.
Untuk mengurangi fenomena copy-paste yang belakangan ini sudah menjadi trend sekaligus mendorong peningkatan budaya menulis di kalangan pelajar, banyak pihak yang dapat berperan. Diantaranya, pihak sekolah/guru, keluarga, lembaga pemerintah terkait dan pihak swasta/masyarakat yang peduli dengan hal ini. Selebihnya, dan ini yang terpenting, guru di sekolah hendaklah menjadi panutan yang baik bagi para siswa dalam hal tulis-menulis.

*) Artikel ini telah dimuat di Harian Bali Express, Senin, 30 Agustus 2010, hal. 4
Read more ...

Membangun Perpustakaan Pribadi di Rumah

Oleh I Ketut Suweca

Memiliki perpustakaan pribadi di rumah adalah suatu kebanggaan sekaligus prestise. Bagi pandangan kebanyakan orang, perpustakaan di rumah mencirikan tingkat intelektualitas seseorang. Kalau orang memiliki perpustakaan di rumahnya, maka dapat diyakini bahwa si pemilik rumah adalah seorang intelektual, pencinta ilmu pengetahuan atau seorang yang doyan membaca.
Perpustakaaan pribadi di rumah memang dapat merupakan simbol intelektualitas seseorang. Anda bisa membayangkan, bagaimana mungkin seseorang disebut intelektual, kalau ia tidak punya cukup buku dan tidak suka membaca. Bagi seorang intelaktual, buku adalah sahabat karibnya. Oleh karena demikian, agar kesukaan akan buku itu terkondisi dengan baik, sudah seyogianya dibangun perpustakaan pribadi di rumah. Bukan sekedar agar disebut intelek, melainkan untuk menyiapkan ‘gudang ilmu’ dengan segala kelengkapannya, sehingga si pemilik bisa dengan mudah menyalurkan aktivitas membacanya dalam kehidupan privat di rumah sendiri.
Paling tidak ada empat sarana utama yang perlu dipersiapkan tatkala hendak membangun perpustakaan pribadi di rumah. Pertama, siapkan sebuah ruang dengan luasan tertentu yang memadai untuk maksud ini. Boleh di ruangan khusus perpustakaan, boleh di ruang tamu atau di kamar tidur. Diantara sekian pilihan itu, membuat ruangan khusus perpustakaan adalah yang terbaik. Kalau tidak ada ruang khusus, silakan memanfaatkan ruang tamu atau kamar tidur. Kedua, siapkanlah rak yang relatif besar untuk meletakkan buku-buku Anda. Rak itu bisa terbuat dari kayu atau dari rangka besi, atau bahan lainnya, terserah Anda. Yang penting rak tersebut cukup kuat untuk menyangga buku-buku Anda ketika jumlahnya kian banyak dan rak itu terisi penuh. Upayakan rak tersebut tertutup dengan kaca tembus pandang. Ini penting untuk menjaga keamanan/keutuhan buku dari kotoran dan debu. Kaca yang transparan dibutuhkan agar tatkala mencari buku, Anda dapat dengan mudah melihatnya tanpa harus membuka kaca.
Ketiga, siapkan buku-buku yang menjadi ‘kekayaan’ Anda itu. Untuk membeli buku-buku dimaksud, tentu Anda harus siap mengeluarkan dana yang lumayan banyak karena harga buku belakangan ini terbilang mahal. Tapi, pastinya buku-buku itu tak mesti dibeli sekaligus. Sisihkan saja sebagian kecil dari penghasilan Anda untuk membeli buku setiap bulannya. Usahakan setiap bulan Anda menambahkan 2-3 buku ke dalam rak buku Anda. Kalau ada uang lebih, lebih banyak buku yang Anda koleksi setiap bulannya tentu lebih baik. Keempat, siapkan sebuah meja baca dan sebuah kursi serta lampunya yang cukup terang tempat Anda nantinya akan bersantai sambil menikmati bacaan dari gudang ilmu alias perpustakaan pribadi Anda.
Membangun perpustakaan pribadi adalah sebuah langkah awal yang bagus. Tapi, semua itu belumlah cukup kalau Anda tidak meluangkan waktu untuk membaca, menggali ilmu pengetahuan dari perpustakaan yang Anda buat. Sisihkan waktu, paling tidak satu atau dua jam setiap hari untuk membaca.
Nah, selamat membangun perpustakaan dan selamat membaca. Jadilah intelektual sejati.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
Read more ...

Komentar mengenai Kebermaknaan Neuroekonomi bagi Teori Ekonomi

Diringkas oleh : I Ketut Suweca


I. Pengantar
Artikel asli yang diringkas ke dalam tulisan ini berjudul “Comments on The Potential Significance of Neuroeconomics for Economic Theory” karya Ran Spiegler dari University College, London. Sebagaimana sebuah review (ringkasan), tulisan ini memuat ide-ide pokok yang dipaparkan Ran Spiegler dalam artikelnya itu. Ini pun dibatasi oleh kemampuan penulis dalam memahami teks aslinya yang berbahasa Inggeris. Diringkas sebagaimana adanya, tanpa disertai dengan evaluasi atau pendapat mengenai artikel dimaksud.

II. Ringkasan Isi Artikel
Dalam pembahasan mengenai neuroekonomi, para komentator bereaksi tidak hanya terhadap substansi noeuroekonomi, bahkan juga pandangan yang diberikan terhadap topik ini. Sebagai sebuah pandangan atau pendapat, tentu lahir dari kegairahan murni terhadap neuroekonomi sebagai sebuah topik yang menarik untuk dibicarakan. Neurosains adalah suatu bidang yang sudah maju yang sama menariknya dengan ilmu ekonomi. Lagi pula, neurosains dan neuroekonomi memiliki perangkat ilmiah dan pemanfaatan teknologi tinggi yang merupakan sebuah bahan kajian yang pasti memiliki daya tarik tersendiri bagi para pakar ekonomi. Namun, berbagai pandangan yang diberikan terhadapnya cenderung lebih memicu tanggapan-tanggapan kritis.
Penulis artikel ini menyatakan persetujuannya terhadap sejumlah besar kritik dari para pakar. Seperti halnya Harrison (2008), Spiegler pun menyatakan bahwa ia juga tidak tertarik terhadap sampel-sampel kecil yang mencirikan penelitian neuroekonomi, metodelogi yang digunakan untuk mengumpulkan subjek, dan statistik yang berat yang diperlukan untuk membuat data fMRI (functional magnetic resonance imaging) baku agar dapat dianalisis. Seperti Rubinsteins (2006), Spiegler pun mengamati bahwa sebegitu jauh neuroekonomi merupakan upaya untuk menemukan korelasi-korelasi neural dari konsep-konsep prilaku yang ada. Juga, seperti halnya Gul dan Pesendorfer (2005), Spigler juga tidak yakin bahwa hanya karena pembuatan keputusan berlangsung di otak berimplikasi bahwa neurosains relevan bagi analisis ekonomi.
Walaupun dalam beberapa hal Spiegler menyatakan ketidaksetujuannya dengan pandangan para pakar lainnya, namun ia sepakat bahwa beberapa penelitian tentang neuroekonomi berkontribusi terhadap teori ekonomi. Misalnya, Spiegler sependapat dengan Benhabib dan Bisin (2008) yang menyarankan bahwa neuroekonomi dapat mengubah cara pakar ekonomi menghadapi model keputusan dengan data: model yang memandang keputusan bukan saja sebagai teori prilaku pilihan, bahkan juga sebagai teori proses pengambilan keputusan.
Spiegler membatasi perhatiannya hanya pada teori ekonomi murni, dengan melihat tradisi modeling ekonomi yang merupakan kebiasaan yang ditempuh oleh para pakar ilmu ini. Tradisi modeling ini terus berlanjut tanpa bisa dihalangi. Lantas, bagaimana pakar neuroekonomi dapat berkontribusi terhadap ilmu ekonomi dengan tradisi modelingnya itu? Neuroekonomi akan berkontribusi ke dalam ranah ilmu ekonomi yang berdekatan sekali dengan fiksi ilmiah. Spiegler bahkan beragumen bahwa berspekulasi tentang model-model seperti itu mungkin menarik, tetapi sama sekali tidak produktif. Menurutnya, para pakar ilmu ekonomi dan neuroekonomi, jika ingin membangun sebuah model hendaknya benar-benar membangun satu model, bukan berspekulasi tentangnya.
Pendekatan ekonomi standar terhadap model pengambilan keputusan berdasarkan pada maksimalisasi manfaat. Pendekatan ini tidak membuang aspek-aspek psikologi namun model standar selalu berakhir dengan merepresentasikan prilaku pilihan dengan maksimalisasi manfaat. Jadi, proses keputusan selalu sama dengan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis). Salant dan Rubenstein (2007) berargumentasi bahwa tidak ada alasan mengapa kita tidak dapat melakukan latihan teoritik tehadap keputusan yang sama dimana prilaku yang dapat diamati terlihat sebagai hasil yang mungkin diperoleh dari proses pengambilan keputusan selain dari sebuah analisis biaya-manfaat.
Menurut Spiegler, ada aspek penting dari pembuatan keputusan yang secara praktis telah diabaikan oleh para pakar. Keadaan tidak mengambil keputusan (indeciviness) tampaknya merupakan watak pribadi yang mencirikan seseorang. Mencapai keputusan adalah mudah bagi beberapa orang, tapi menyakitkan bagi orang lain. Kita dapat melihat hal ini dari segi pilihan yang teramati. Dapat pula dicoba dengan melihat sisi prilaku pilihan lainnya, seperti jumlah informasi yang relevan yang dicari pengambil keputusan sebelum membuat keputusan, atau sejauh mana orang menyukai pilihan untuk tidak memilih, atau sejauh mana kerangka masalah keputusan memperhalus hal yang berhubungan dengan pilihannya. Kita dapat mendefinisikan indecision dari segi prilaku nonpilihan yang dapat diamati, seperti waktu yang diperlukan bagi individu dalam membuat keputusan atau jumlah berapa kali ia menggaruk kepala sebelum dia mencapai keputusan akhir.
Salah satu klaim utama dari pakar neuroekonomi adalah bahwa data non-pilihan adalah relevan bagi analisis ekonomi. Klaim ini sering digunakan untuk membenarkan pengumpulan data fMRI yang mahal. Ironisnya, alat-alat teknologi tinggi dari neurosains memiliki manfaat sampingan menarik perhatian para pakar ekonomi daripada data nonpilihan yang berteknologi lebih rendah.
Inovasi teknologi memberi inspirasi terhadap penemuan-penemuan model-model baru, meskipun ini tidak menyebabkan perubahan-perubahan dalam konsep-konsep ekonomi secara mendasar. Misalnya, internet telah memunculkan jenis-jenis model pasar dua sisi melalui pencarian didasarkan pada kata kunci. Dampak teknologi baru ini bagi pemikiran ekonomi hebat sekali. Misalnya, e-mail game (Rubinstein, 1989), telah memberikan inspirasi bagi para pakar ekonomi.
Demikian pula kemajuan dalam neurosains dapat memberikan dampak yang serupa. Bayangkan pada suatu hari, ilmuwan menemukan pemetaan kasar antara satu set zat kimia dan satu set watak (sikap terhadap resiko, indisiveness, dll.). Misalnya zat-zat itu menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan secara luas. Ini mungkin menghilhami suatu model pasar ekonomi yang menarik, karena watak tertentu yang sekarang diasumsikan tidak ada, sekarang akan menjadi hasil dari pilihan-pilihan pelaku di pasar karena zat kimia yang mengubah watak.
Pada level tertentu, kata Spiegler, kita telah mempunyai pengalaman dengan model-model semacam itu, diantaranya tentang pemakaian zat-zat adiktif (Becker dan Murphy,1988). Literatur itu memperlakukan konsumsi zat adiktif sebagai pokok bahasan tanpa memadukannya ke dalam model ekonomi. Namun, zat-zat yang mengubah watak dapat menjadi begitu meluas dan berhubungan dengan aspek-aspek prilaku ekonomi untuk mengembangkan model pasar yang benar-benar baru. Tidak ada dari hal ini memerlukan pengetahuan neuroekonomi, tapi pengetahuan semacam itu dapat mengilhami asumsi dan model ekonomi baru. Spiegler menekankan peranan kemajuan dalam neuroekonomi sebagai sumber inspirasi yang potensial bagi pakar teori ekonomi.
Dua keberhasilan terbesar dalam ekonomi prilaku sebegitu jauh adalah teori prospek dan hyperbolic discounting. Bahkan dalam model-model yang berhasil ini, terdapat kesenjangan yang besar antara asumsi-asumsi yang benar-benar berdasarkan psikologi eksperimental dan cara model ini diterapkan secara nyata. Agar dapat menerapkan teori prospek, kita perlu menspesifikasi apa yang menentukan titik referensinya. Ini merupakan komponen yang menentukan dalam aplikasi model namun sulit mencari pembenaran terhadap spesifikasi tertentu dengan pengetahuan psikologi empiris. Kita tidak punya pilihan lain selain menambah model itu dengan asumsi-asumsi. Begitu pula dengan preferensi waktu dengan hyperbolic discounting berimplikasi preferensi inkonsusten dinamis, pakar ekonomi menggunakan pendekatan multi-selves ketika menerapkan hyperbolic discounting.
Terdapat kesenjangan besar antara asumsi yang didasarkan pada empiris dan asumsi yang diperlukan untuk membuat model itu jalan. Preferensi Spiegler adalah memandang neuroekonomi sebagai sebuah sumber dari inspirasi dan ia tidak bermaksud mengecikan makna disiplin ilmu ini.

III. Kesimpulan
Dalam pembicaraan mengenai neuroekonomi, komentar kritis tidak hanya tentang neuroekonomi, bahkan komentar terhadap komentar tentang topik yang relatif baru ini. Ini menunjukkan betapa para pakar mencapai kegairahan murni, karena neuroekonomi telah menjadi suatu bahan kajian yang menarik untuk didalami.
Akan halnya sumbangan neuroekonomi terhadap teori ekonomi, Spiegler menyatakan kritiknya, yang sejalan dengan berbagai kritik yang mendahului, diantaranya kritik Harrison, Rubinstein, serta Gul dan Pesendorfer, yang pada intinya mengandung ketidakyakinan bahwa pembuatan keputusan yang berlangsung di otak berimplikasi dan relevan dengan analisis ekonomi. Akan tetapi, Spiegler mengaku berpikir positif dengan menyatakan bahwa beberapa cara penelitian neuroekonomi mungkin berkontribusi terhadap teori ekonomi. Dalam hubungan ini, ia mengacu kepada pendapat Benhabib dan Bisin yang mengatakan bahwa neuroekonomi dapat mengubah pandangan para pakar ekonomi dalam menghadapi model keputusan dengan data, dengan memandang keputusan bukan saja sebagai teori prilaku, bahkan juga sebagai proses keputusan.
Aspek penting dalam pengambilan keputusan yang acapkali diabaikan pakar ekonomi, yaitu keadaan tidak mengambil keputusan (indeciveness) yang merupakan watak pribadi yang mencirikan seseorang. Mencapai keputusan adalah mudah bagi beberapa orang, tapi sulit dan menyakitkan bagi orang lain.
Dengan perangkat teknologi tinggi, neurosains dapat, misalnya, mengumpulkan data fMRI (functional magnetic resonance imaging). Hal ini menarik perhatian pakar ekonomi yang terbiasa dengan pemetaan prilaku dengan konstruk mental (seperti manfaat dan kepercayaan), sehingga dapat memperluas/memperkaya teknik mereka. Termasuk diantaranya melihat pengaruh dari zat kimia terhadap watak seperti terjadi pada zat-zat adiktif terhadap perubahan watak manusia.
Spiegler memandang neuroekonomi sebagai sebuah sumber inspirasi dan ia menyatakan dengan tegas bahwa ia tidak mengecilkan makna disiplin ilmu itu terhadap teori ekonomi. ***
Read more ...

Pentingnya Membangun Mindset

Oleh I Ketut Suweca

Salah satu tujuan utama berdirinya suatu negara adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya. Kesejahteraan bersama adalah alasan mengapa suatu bangsa mengikatkan diri ke dalam sebuah organisasi yang disebut negara. Negara dalam hubungan ini diharapkan akan dapat mengantarkan rakyatnya untuk mengorganisir segala potensi sumber daya yang tersedia untuk diaktualisasikan guna mencapai kesejahteraan bersama. Peningkatan diri ke dalam sebuah negara tidak akan dilakukan dengan penuh kesadaran kalau negara tidak memiliki kemampuan mensinergikan semua sumber daya untuk meraih cita-cita bersama, yaitu kesejahteraan.
Bagi Indonesia, konsep kesejahteraan itu telah secara jelas dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada alinea kedua disebutkan, “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur”. Selanjutnya, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan tentang cita-cita bangsa Indonesia, yaitu untuk antara lain “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”
Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 33 ayat (4) mencantumkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serata dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Lalu, pada pasal 34 ayat (2) yang mengatur tentang kesejahteraan sosial secara jelas disebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.



Peningkatan Kesejahteraan

Pembangunan yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap, lambat laun telah mengantarkan rakyat Indonesia ke arah kehidupan yang lebih baik, kesejahteraan lahir maupun kesejahteraan batin. Membangun berarti meningkatkan kesejahteraan rakyat, sekaligus juga berarti mengentaskan kemiskinan, kebodohan, dan berbagai keterbelakangan lainnya. Tidak hanya diatur di dalam dasar negara, tidak pula hanya diatur di dalam konstitusi, kesejahteraan rakyat sudah diwujudkan menjadi program negara melalui pemerintah dari tahun ke tahun. Melalui berbagai program yang terkoordinasi dengan baik diharapkan kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan secara bertahap.
Pada era kepemimpinan Soeharto, sangat populer program pengentasan kemiskinan yang disebut dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dengan program IDT tersebut masyarakat mendapat fasilitas untuk meningkatkan perekeonomiannya demi peningkatan kesejahteraan. Setelah IDT, pada era reformasi digulirkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang selama dilaksanakan dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK diantaranya berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, di samping berhasil menumbuhkan kebersamaan dan parstisipasi masyarakat.
Mulai tahun 2007 pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional pPemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. Program ini pun diharapkan akan dapat mengurangi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakang lainnya, sekaligus meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Semua program pemerintah sebagaimana sekilas telah dipaparkan di atas, sangat dibutuhkan sehingga perlu terus-menerus dilanjutkan dan diperbaharui dengan program-program sejenis di masa mendatang. Upaya-upaya yang dilaksanakan melalui program yang terintegrasi dan benar-benar menyentuh kepentingan rakyat menjadi sangat penting dilanjutkan sehingga secara bertahap dapat mengentaskan rakyat Indonesia dari berbagai bentuk keterbelakangan.
Aspek pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam pembangunan manusia Indonesia. Dengan program-program yang disediakan pemerintah, masyarakat menjadi lebih berdaya, lebih memiliki kemampuan untuk mandiri, bukan sebaliknya rakyat menjadi lebih tergantung kepada pemerintah. Jadi, program pembangunan yang ideal adalah program yang mampu memberdayakan rakyat sehingga dapat hidup mandiri.

Pentingnya Membangun Mindset

Acapkali dikatakan bahwa yang dibangun adalah manusia Indonesia, bukan hanya fisiknya, bahkan juga rohaninya. Bukan hanya materi yang diperlukannya, bahkan juga mental spiritualnya. Dari sisi mental spiritual atau rohani, disini perlu dibangun mindset/cara berpikir tertentu dalam menghadapi kehidupan. Dengan mindset yang selaras dengan kemajuan material, rakyat dapat menjaga dan memelihara bahkan meneruskan laju pembangunan, bukannya terpuruk kembali ke belakang karena mindset yang tidak sesuai. Persoalan mindset adalah persoalan penting dalam pembangunan manusia, karena mindset yang maju akan dapat menarik kemajuan di bidang material. Artinya, perlu mindset tertentu untuk menjadi sejahtera lahir dan batin. Jika tidak, tak pelak lagi, pembangunan menjadi tidak seimbang, sangat riskan terhadap kemungkinan terpuruk kembali ke jurang kemiskinan dan mengakibatkan tingkat ketergantungan yang kian parah.
Dalam hubungan dengan minset ini, ada contoh dari situs pratolo.com yang cukup menarik dan relevan dikemukakan sekadar sebagai ilustrasi. Oprah’s Show – sebuah talkshow paling populer di Amerika - pernah menayangkan seorang pengemis yang menemukan uang $100.000. Sebagai orang yang telah bekerja keras dan memiliki uang, Oprah berpikir bahwa lelaki pengemis itu pasti akan menaruh uangnya di bank, mengambil bunganya setiap bulan dan hidup lumayan dengan bunga tersebut. Itu juga dipikirkan para penontonnya. Pengemis tersebut kemudian mengakui bahwa ia membeli dua mobil – satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya – dan menghabiskan $70.000. Sisanya ia gunakan untuk pulang ke kampung halaman dan membagikannya kepada sanak saudara untuk menunjukkan bahwa akhirnya ia memiliki uang dan sanaknya tidak boleh menghinanya lagi. Dalam waktu kurang dari setahun, uang itu ludes berikut kedua mobilnya, dan ia kembali mengemis di jalanan.
Ada lagi contoh lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Alex P. Chandra (Bali Post,13 Juni 2010) dalam tulisannya yang berjudul Millionaire Mindset. Dikatakan, bahwa diperkirakan 90 persen dari jumlah uang yang beredar dikuasai oleh 10 persen populasi. Bayangkan 10 persen elite menguasai 90 persen kekayaan dunia. Dan, tulis Alex P Chandra, ketika dilakukan pemerataan, yaitu jika seluruh jumlah uang beredar di dunia dikumpulkan dan dibagi-bagi secara merata kepada kepada seluruh penduduk dunia, maka dalam waktu lima tahun, komposisinya kembali menjadi seperti semula. Yaitu, 10 persen populasi akan kembali menguasai 90 persen jumlah uang yang beredar. Mengapa bisa begitu?
“Well … my point is, the rich thinks the certain way, feels the certain way, and do the certain things certain way,” katanya. Orang kaya atau menjadi kaya karena mereka berpikir dengan cara tertentu, merasa dengan cara-cara tertentu, dan melakukan hal-hal yang tertentu pula yang tidak sama dengan orang-orang kebanyakan. Pada bagian lain artikel itu dikatakan, bahwa belief is everything. Tindakan kita pada dasarnya adalah berdasarkan apa-apa yang kita pikirkan dan percayai. Kalau belief kita mengatakan bahwa uang itu ‘jahat’ , maka sangat kecil kemungkinan kita menjadi kaya. Karena kalau kita menjadi kaya, maka kita menjadi orang ‘jahat’.
Penulis artikel ini menambahkan, bahwa pada kenyataannya ada orang-orang yang ‘membenci uang’. Tidak ada orang yang secara sadar membenci uang. Mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa uang itu adalah akar segala kejahatan. Bahwa keinginan menjadi kaya berarti keserakahan. Kalau seperti ini mindset orang tersebut, maka kekayaan, kemakmuran, kesejahteraan atau apapun sebutannya, tak akan pernah datang kepadanya.
Melalui kedua ilustrasi di atas, dapat dipahami betapa persoalan mindset itu menjadi penentu utama pencapaian kemakmuran atau kesejahteraan. Dengan kata lain, kesejahteraan dimulai dari mindset yang positif. Sebaliknya, kemiskinan dan keterbelakangan pun dikarenakan oleh mindset yang negatif.
Mindset lama yang negatif, misalnya, mental ketergantungan, segala sesuatunya serba terbatas, kesejahteraan hanya untuk orang-orang tertentu yang dilahirkan bernasib baik, bagaimanapin tidak mungkin bagi saya untuk maju, kekhawatiran akan gagal. Mindset baru yang positif, misalnya, mental mandiri, segala sesuatunya berkelimpahan, orang bisa merubah sendiri nasibnya, semua orang bisa mencapai kemajuan tanpa perlu menyertakan kekhawatiran yang berlebihan.
Dengan demikian, pendekatan psikoekonomi yang terkait dengan permasalahan mindset dalam pembangunan ekonomi kerakyatan menjadi urgen. Dalam hubungan ini, perubahan mindset demikian dibutuhkan. Artinya, perlu dipertanyakan kembali apakah mindset rakyat selama ini sudah selaras dengan kemajuan yang hendak dicapai? Tidakkah mindset yang ada jutru kontradiktif dengan cita-cita pembangunan.
Mindset atau cara berpikir dipandang sangat menentukan berhasil tidaknya upaya menuju kesejahteraan. Karena, ada orang yang sebenarnya ingin sejahtera, tetapi pola pikirnya berbeda jauh dari keinginannya itu. Ada orang yang ingin maju, tetapi selalu khawatir kalau-kalau dia jatuh terpuruk di tengah jalan. Bayangkan kalau yang kekhawatiran itu menimpa suatu bangsa. Juga, bayangkan kalau keinginan maju itu itu, di rem sendiri oleh bangsa itu. Tentu saja bangsa itu tak akan mampu beranjak mencapai kemajuan.
Walaupun disebutkan mindset itu sangat diperlukan untuk dibangun, tetap saja program-program pembangunan fisik material harus terus dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Artinya, antara pembangunan mindset dengan pembangunan material, haruslah bersamaan. Kalau salah satu dari keduanya tertinggal, maka pembangunan akan timpang. Akan tetapi, yang terpenting jangan pernah meninggalkan pembangunan kualitas manusia melalui mindset-nya.***
Read more ...

Menulis Itu Menyenangkan

Oleh I Ketut Suweca

Benarkah menulis atau mengarang itu menyenangkan? Mungkin demikian pertanyaan Anda, para pembaca. Bagi sebagian besar orang akan berpendapat bahwa menulis itu memang menyenangkan bagi mereka yang menyukai kegiatan ini. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak memiliki hobi, minat, bakat atau apapun namanya, mungkin akan susah baginya untuk mengatakan bahwa menulis itu menyenangkan. Tapi, sabar dulu. Pendapat di atas perlu diragukan! Mengapa?
Di atas disebutkan bahwa mereka yang memiliki bakat sajalah yang bakal senang dengan pekerjaan tulis-menulis. Tapi, apakah bakat itu? Orang tak bakal tahu bakatnya sampai dia mengembangkannya dengan baik hingga mencapai keberhasilan. Bakat tak muncul tiba-tiba, ia harus melalui proses pembelajaran yang intensif.
Oleh karena itu, jangan bilang bahwa Anda tidak berbakat menulis, tapi teruslah mencoba mengasah kemampuan menulis itu sampai Anda tercengang bahwa sebenarnya Anda pun berbakat seperti orang lain yang selama ini Anda pandang berbakat menulis. Anda tentu setuju bahwa ntuk mencapai keberhasilan dalam suatu bidang, latihan dan latihan yang berkesinambungan menjadi faktor penentu keberhasilan. Demikian pula halnya dengan aktivitas tulis-menulis. Kegiatan ini baru akan mencapai puncak-puncak keberhasilannya kalau Anda sungguh-sungguh memperjuangkannya. Jangan sampai baru mencoba beberapa kali, lalu Anda memvonis diri tidak berbakat. Jadi, yang terpenting dalam mengasah kemampuan apapun, termasuk dalam tulis-menulis, adalah kesediaan untuk berlatih dan berlatih terus-menerus tanpa mengenal menyerah. Bukankah ada ungkapan yang menyatakan bahwa ‘ala bisa karena biasa’? Saya percaya ungkapan itu benar, Anda juga percaya, bukan?
Begitu Anda mulai menguasai kemampuan tulis-menulis, maka bersamaan dengan itu rasa senang pun akan muncul. Rasa senang ini pada gilirannya akan memacu Anda untuk lebih banyak berkarya dengan kualitas yang lebih baik. Jadi, kesenangan yang Anda peroleh akan berlipat-lipat, apalagi kalau artikel/tulisan yang Anda buat dan Anda coba kirim ke media cetak itu, dimuat. Wah … senangnya bukan main.
Kesenangan itu bertambah lagi kalau ada balas jasa berupa honorarium yang Anda terima atas pemuatan artikel Anda di media massa itu.
Nah, selamat menulis, selamat menjalani proses, dan selamat menikmati kesenangan. Percayalah bahwa menulis itu benar-benar menyenangkan. Kalau Anda belum percaya juga, lakukanlah pekerjaan tulis-menulis dengan tekun, sungguh-sungguh, dan berkesinambungan, lalu lihatlah hasilnya. Anda pasti akan bilang: Benar, menulis itu memang menyenangkan!
Anda punya pendapat lain, para pembaca yang budiman?
Read more ...

Modal Sosial dan Sistem Broker: Pembentukan Ikatan Hutang di India Selatan

Critical Review : I Ketut Suweca

I. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sebuah critical review terhadap tulisan yang berjudul “Social capital and the brokerage system: the formation of debt bondage in South India”. Penulis artikel tersebut ada tiga orang, yakni Augendra Bhukuth, Jerome Ballet dan Isabelle Guerin. Mereka melakukan penelitian di negara bagian Tamil Nadu, India Selatan, pada industri bata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan wawancara yang bersifat informal. Wawancara dilakukan terhadap 10 orang majikan dan manajer serta 10 orang broker pada industri bata. Penelitian tersebut bertujuan untuk memahami sistem broker dan hubungannya dengan buruh, cara perekrutan buruh dan bagaimana para buruh tersebut diberi panjar, sehingga dapat ditangkap bagaimana modal sosial tersebut dibentuk. Penekanan artikel karya ketiga ilmuwan Perancis tersebut terletak pada hubungan broker dengan buruh dalam ikatan hutang.

II. Ringkasan Isi : Modal Sosial, Broker dan Buruh
Pembicaraan mengenai modal sosial (social capital) belum lama berkembang. Tidak ada definisi yang jelas mengenai modal sosial. Modal sosial dipelajari pada semua cabang –cabang ilmu sosial, seperi sosiologi dan ekonomi. Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai nilai dari kewajiban sosial atau hubungan yang dibentuk melalui jaringan sosial. Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial memfasilitasi tindakan individu atau kelompok di dalam struktur sosial. Oleh karena itu, keberadaan seseorang dalam jaringan sosial tidak serta-merta menghasilkan modal sosial. Putnam (1993) mengatakan bahwa model sosial dibentuk dari norma-norma dan jaringan-jaringan yang memfasilitasi kepercayaan, kerjasama dan tindakan kolektif. Durlauf dan Fafchamps (2004) dalam penelitiannya tentang modal sosial, menyebutkan tiga aspek modal sosial, yaitu: 1). modal sosial menimbulkan eksternalitas positif bagi para anggota kelompok; 2). eksternalitas itu dicapai melalui saling percaya, norma-norma dan nilai-nilai; 3). kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai itu muncul dari organisasi informal.
Dalam kaitannya dengan modal sosial yang terbentuk dalam industri bata di India Selatan, khususnya antara broker dan buruh, dapat ditelusuri dari pola rekrutmen buruh. Buruh pabrik bata di daerah penelitian ini adalah mereka yang pada umumnya miskin, tidak punya tanah, dan oleh karenanya mereka menjual tenaga untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka menjadi buruh industri bata berkat bantuan broker yang menjadi penghubung antara majikan/manajer yang membutuhkan tenaga kerja dengan para buruh. Para broker tidak kesulitan mencari buruh, karena mereka menggunakan kemampuan finansial (financial power)-nya untuk menarik para buruh. Oleh karena para buruh pada umumnya tidak punya uang, maka para brokerpun memberikan panjar (hutang) tanpa bunga untuk mereka yang harus dibayar secara kredit saat mulai mendapatkan gaji di industri bata. Hubungan ini disebut dengan sistem hali kuno(Breman,1985): hubungan ketergantungan bukan antara majikan dengan buruh, melainkan antara broker dengan buruh.
Lalu, apa saja yang dipertimbangkan broker dalam memberikan pinjaman panjar kepada buruh? Ada tiga pertimbangan dalam pemberian panjar tersebut, yakni 1). Faktor hubungan, jika buruh dekat dengan broker, maka dia akan dapat memperoleh jumlah yang besar sebagai panjar; 2). Faktor prilaku, seorang buruh yang tenang dan tidak banyak menuntut dan bertengkar dengan buruh lain dianggap buruh yang baik; 3). Faktor produktivitas, buruh yang terbukti produktif memperoleh jumlah panjar yang lebih tinggi. Broker memberi panjar kepada buruh dalam dua kali pembayaran. Pembayaran pertama berupa lump sum, yang besarnya setengah dari yang diminta. Setengahnya lagi diberikan kemudian. Buruh biasanya menggunakan pembayaran pertama untuk keperluan kesehatan dan perkawinan dan investasi pertanian. Para buruh ini memimpikan kelak mereka memiliki lahan pertaniannnya sendiri. Pembayaran kedua dipakai oleh para buruh untuk membeli makanan.
Menurut Granovetter (1973) sebagaimana dikutip dalam artikel ini, terdapat dua jenis hubungan yang membentuk modal sosial antara buruh dengan broker. Pertama, hubungan yang disebut dengan bonding (ikatan), yaitu hubungan broker-buruh berdasarkan pada ikatan yang terbentuk ketika orang memiliki hubungan yang lama (tertutup dan terbatas). Kedua, hubungan yang disebut dengan bridging (penjembatanan), yaitu bubungan yang timbul ketika orang memiliki hubungan kurang intensif atau kurang sering bertemu dan tidak akrab.
Melalui penelitian ini diketahui bahwa hubungan bonding sama-sama menguntungkan, baik bagi broker maupun bagi buruh. Broker menjalin hubungan bonding dengan buruh dengan merekrut mereka dari anggota keluarga, teman, anggota kasta dan orang sedesa. Ini baik terutama untuk menghindari resiko tidak dibayarkannya kembali pinjaman yang diberikan. Broker disini berada dalam posisi dihormati oleh para buruh yang direkrut, sehingga broker dengan mudah dapat mempengaruhi buruh baik secara psikhologis maupun finansial. Ketika broker merekrut buruh dari luar desa yang tidak mereka kenal, maka mereka akan minta bantuan seorang kiz maizitry yang mungkin merupakan saudara dekat atau saudara jauh dari sang broker. Fungsi kiz maizitry ini adalah merekrut calon buruh untuk bekerja dalam naungan broker tersebut sekaligus memeriksa apakah calon buruh itu tidak sedang mendapat pinjaman dari broker lainnya.
Ada dua faktor yang menentukan terciptanya kepercayaan dalam hubungan broker dengan buruh. Pertama, buruh yang miskin memandang broker sebagai penyelamat mereka. Hutang moral memperkokoh kepercayaan dan membentuk hubungan yang kian menguat. Inilah yang disebut dengan ketergantungan, dalam bentuk ketergantungan moral dan financial. Kedua, persepsi buruh di tempat kerja. Ketiadaan aturan kerja formal di industri bata menimbulkan perasaan bahwa kepentingan mereka, para buruh itu, akan terlindungi oleh broker. Ketika broker melindungi buruh, maka dia akan memperoleh kehormatan atas harga dirinya sehingga para buruh akan segan menipunya.
Tentu saja ada resiko dalam hubungan buruh dan broker ini. Karena, bisa saja buruh melarikan uang panjar. Untuk mencegah hal itu, broker merekrut buruh dari keluarga atau mereka yang dengan mudah dia kontrol dan monitor. Pendatang baru yang tidak memiliki hubungan dekat dengan broker harus melalui orang ketiga yang disebut kiz maizitry tadi. Orang ketiga ini menjamin bahwa orang baru itu memang layak dan bersedia bekerja sesuai dengan ketentuan dan perjanjian yang ditetapkan. Broker memiliki power finansial dan mereka selalu didekati oleh para buruh untuk mendapatkan kredit/panjar. Untuk memenuhi kebutuhan itu, broker sampai menggadaikan harta mereka untuk mendapatkan uang dari rentenir dengan bunga bahkan sampai 10 persen per bulan, sementara mereka memberikan pinjaman kepada buruh tanpa bunga sama sekali.
Begitu seorang buruh memperoleh panjar, maka mereka harus bekerja untuk mampu membayarnya secara kredit. Memposisikan buruh di dalam ikatan hutang adalah sesuatu yang menguntungkan sekaligus merugikan. Keuntungannya adalah orang berhutang tidak dapat menuntut upah yang lebih tinggi sampai ia melunasi hutangnya. Kerugian atau ketidaknyamanannya adalah buruh akan minta panjar kepada broker secara reguler untuk bertahan hidup dan mereka bisa saja menipu broker dengan mencari pinjaman dari broker lain. Ini bisa menimbulkan perselisihan dan kekerasan fisik. Untuk menghindari penipuan itu, broker tidak mengikat buruh dengan bunga pinjaman. Mereka menjalin hubungan melalui kepercayaan, ketergantungan finansial, dan mempertahankan moralitas yang baik.

III. Evaluasi, Kegunaan, dan Keterbatasan
Penekanan artikel hasil penelitian ini ada pada hubungan yang dilandasi dengan kepercayan, ketergantungan financial antara broker dengan buruh. Di indutri bata, broker adalah agen kunci. Broker menggunakan afiliasi jaringan mereka untuk merekrut buruh diantara anggota keluarga, teman-teman, orang sekasta dan sedesa dengannya. Mereka merekrut buruh dengan menyalurkan pinjaman kepada para buruh itu. Mereka merekrut orang yang dapat dengan mudah mereka pengaruhi dan monitor. Pembentukan kepercayaan ini mencegah terjadinya efek negatif dari ikatan hutang. Ketiadaan kepercayaan menyebabkan jaringan terbentuk berdasarkan ikatan hutang. Resiko ketiadaan kepercayaan dapat dihindari dengan menyuruh buruh masuk ke dalam ikatan hutang.
Apa yang dapat dipelajari dari artikel ini? Hubungan antara broker dan buruh menggambarkan bagaimana modal sosial yang berupa kepercayaan (trust) itu terbentuk. Kepercayaan tersebut berwujud kepercayaan dari broker terhadap buruh dan sebaliknya. Kepercayaan ini menjadi salah satu dari aspek modal sosial yang dipelihara di samping hubungan yang semata-mata dilandasi ikatan hutang. Satu hal lagi yang perlu dilihat, bahwa broker berupaya sedemikian rupa merekrut orang-orang yang dikenalnya dengan baik yang berasal dari teman-teman sedesa atau sekasta. Kalau dilihat dari sisi positifnya, perekrutan seperti ini ada nilai plus-nya yaitu terangkatnya perekonomian keluarga, teman atau orang sekasta dari sang broker. Usaha untuk maju bersama ini relatif baik di tengah-tengah kemiskinan buruh.
Sebagai sekadar perbandingan, mari dilihat bagaimana sistem rekrutmen buruh/karyawan di Indonesia pada umumnya. Jika suatu perusahaan membutuhkan tenaga kerja, maka pada umumnya ia akan melakukan perekrutan sendiri. Atau, dia bekerjasama dengan perusahaan perekrut tenaga kerja profesional, dan untuk keperluan ini, perusahaan pemakai tenaga kerja harus membayar jasa kepada lembaga perekrut. Lembaga perekrut tenaga kerja sangat jarang yang bersedia memberikan pinjaman yang berupa panjar. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan uang dari jasa yang diberikan dari perusahaan pengguna. Jadi, dalam kasus ini berbeda dengan broker yang bekerja dalam merekrut buruh di India Selatan.
Artikel hasil penelitian itu tentu saja sangat bermanfaat dalam upaya memahami bagaimana modal sosial itu – dalam hal ini kepercayaan – itu bekerja. Akan tetapi, di dalam artikel ini tidak disinggung hubungan buruh dengan majikan/manajer di industri bata, padahal ada 10 orang manajer/majikan yang diwawancarai. Penelitian ini hanya menekankan pada hubungan broker dengan buruh, tidak hubungan majikan dengan buruh. Kiranya perlu dikemukakan hubungan para majikan/manajer dengan broker dan buruh sehingga dapat diketahui seperti apa aspek kepercayaan diantara mereka dikemas. Di samping itu, tidak disentuh sama sekali apakah ada keuntungan finansial yang diperoleh oleh para broker di luar “rasa hormat” dari para buruh karena telah membantu mereka dengan pinjaman tanpa bunga itu.
Selebihnya, penelitian ini dilaksanakan di India Selatan yang dalam banyak hal sangat berbeda kondisinya dengan belahan dunia lainnya, termasuk dengan Indonesia. Namun, kendatipun penelitian ini spesifik di India Selatan, tetap saja ada manfaatnya dalam menambah referensi mengenai pembentukan modal sosial di dalam masyakatat yang berbeda

IV. Kesimpulan
Penelitian tentang modal sosial sudah banyak dilakukan kendatipun belum lama berkembang. Aspek kepercayaan sebagai bagian dari modal sosial di daerah penelitian India Selatan digambarkan oleh hubungan antara para buruh dengan broker yang diikat terutama oleh pertemanan, keluarga, dan kasta. Sistem perekrutan buruh dengan pola ini akan memperkuat ikatan batin diantara mereka, sekaligus membuka peluang bagi terangkatnya kemampuan ekonomi para buruh. Tetapi, apabila buruh yang direkrut dari luar desa dan tidak dikenal, maka akan ia kan dibantu oleh para orang ketiga yang dipercaya oleh broker. Dalam kaitan ini, kepercayaan broker terhadap buruh belum tercipta dengan baik, maka dipakai ikatan hutang. Dengan hutang itu, buruh tersebut akan berinteraksi dengan lebih intensif dengan brokernya sehingga lambat laun kepercayaan itu bisa ditumbuhkan.
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan bagi mereka yang tertarik untuk mempelajari tentang modal sosial secara lebih mendalam. Akan tetapi, apa yang dilakukan di India Selatan semata-mata sebagai referensi, tidak untuk diterapkan mentah-mentah di Indonesia atau di bagian lain dari belahan dunia ini karena belum tentu sesuai. Setiap wilayah/daerah memiliki karakteristiknya sendiri sehingga modal sosial yang terbentuk atau yang dibangun harus relevan dengan karekteristik tersebut.
Penelitian ini diharapkan akan dapat menggugah peneliti lain untuk juga melakukan penelitian sejenis sehingga dapat dikuak lebih jauh dan lebih dalam tentang modal sosial di berbagai belahan dunia, juga di Indonesia, sehingga referensi tentang hal ini akan kian lengkap dan memadai.
Read more ...

Menghitung Dampak Pelaksanaan BBM Nonsubsidi

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si

Subsidi hanya layak diberikan untuk mereka yang tak mampu, tak terkecuali bagi usaha-usaha kecil yang baru tumbuh (infant). Tetapi, subsidi menjadi tidak tepat kalau diberikan kepada mereka yang mampu secara ekonomi. Kalau subsidi BBM yang selama ini diberikan pemerintah secara merata dan tanpa pembedaan kini dicermati dan diperhitungkan lagi, ini pertanda bagus. Pemerintah berencana memberlakukan subsisi BBM hanya untuk kendaraan tahun 2005 ke bawah. Sedangkan, kendaraan yang dibuat di atas tahun 2005 tidak lagi diberikan subsidi. Akibat kebijakan tersebut, akan ada dua jenis harga untuk BBM yang sama, yakni harga BBM bersubsidi dan harga BBM nonsubsidi. BBM bersubsidi tentu dibeli lebih murah daripada yang nonsubsidi. Mereka yang membeli BBM dengan kendaraan yang dibuat di atas tahun 2005 akan membayar lebih besar daripada mereka yang kendaraannya tahun 2005 ke bawah.
Akan tetapi, apakah secara teknis hal ini dapat dilaksanakan? Apakah untuk setiap kendaraan yang membeli minyak di SPBU harus diperiksa dulu STNK-nya sekadar untuk mengetahui angka tahun pembuatan kendaraan tersebut dus untuk menetapkan harga jual yang dipakai? Kalau hanya mengandalkan pengakuan dari pemilik, akankah efektif? Di dalam praktek hal ini sungguh rumit, tidak praktis dan jauh dari pelayanan prima lantaran memakan waktu lebih banyak. Jadi, perlu dipastikan seperti apa format pelaksanaannya di lapangan. Jangan sampai masyarakat dan petugas SPBU dibuat bingung dan kerepotan karenanya.
Dampak berikutnya dari subsidi terbatas ini ada pada harga mobil. Kendaraan -kendaraan tahun 2005 ke bawah akan kian laris. Orang akan beralih ke mobil yang berangka tahun pembuatan 2005 ke bawah. Karena permintaan semakin bertambah, sementara penawaran kurang-lebih tetap, niscaya harga mobil bekas akan naik tajam. Orang akan memilih menggunakan mobil bekas keluaran 2005 ke bawah dalam kegiatan transportasinya demi efisiensi BBM. Lalu, mobil keluaran di atas 2005, menjadi kurang menarik karena kurang efisien lantaran harus memakai minyak nonsubsidi yang harganya lebih tinggi. Alhasil, mobil bekas yang relatif lebih tua akan lebih banyak di jalan raya.
Salah satu dampak susulannya adalah kemungkinan semakin tingginya emisi gas karbon yang dikeluarkan. Lihatlah di jalan beberapa mobil tua yang tidak terpelihara dengan baik dipaksa jalan oleh pemiliknya. Mobil itu pun mengeluarkan emisi gas buang sebagai sisa pembakaran bahan bakar dari knalpotnya, mengepul ke udara dan dihirup oleh mereka yang ada di sekitarnya. Emisi gas buang dari mobil-mobil seperti itu akan membuat udara semakin kotor/polutif karena mengandung karbon monooksida (CO), berbagai senyawa hidrokarbon, oxida nitrogen, dll yang membahayakan kesehatan.
Diyakini bahwa adanya rencana pembenahan dalam pemberian subsidi ini didasari atas niat baik pemerintah. Dari penarikan subsidi BBM ini, diharapkan akan ada cukup dana untuk pembangunan di sektor-sektor lainnya, seperti peningkatan derajat kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dalam pengenaan BBM bersubsidi dan nonsubsidi ini hendaklah diperhitungkan dengan cermat teknis operasionalnya di lapangan, juga berbagai dampak ikutannya. Jangan sampai niat baik itu berakibat tidak baik hanya lantaran tidak diperhitungkan dengan benar segala resikonya.
Lalu, apa solusinya? Untuk lebih realistis dalam pelaksanaannya, yang ditiadakan cukuplah subsidi untuk mobil mewah yang, seharusnya, memakai bahan bakar minyak pertamak atau pertamak plus. Mobil yang dari pabriknya memang di-setting mengkonsumsi pertamak agar diisi dengan pertamak. Bukankah kini banyak mobil-mobil mewah dan baru yang mengalami gangguan pada fuel-pump-nya yang salah satunya ditengarai lantaran menggunakan bensin (yang mengandung sulfur melebihi batas), bukan pertamak?
Kebijakan mewajibkan mobil-mobil mewah kembali ke habitatnya di pertamak/pertamak plus akan menghasilkan sisa anggaran dari pengurangan subsidi terhadap jenis bahan bakar ini. Di samping itu, policy ini membuktikan keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil dan menengah sekaligus tidak mendorong masyarakat beralih ke mobil yang lebih tua usianya.
Read more ...