Membacalah untuk Menjadi Lebih Bijaksana

Oleh I Ketut Suweca

Membaca adalah aktivitas mentransfer isi bacaan (pengetahuan) ke dalam pikiran. Membaca memberikan pengetahuan bagi pembacanya. Pengetahuan yang didapat bermacam-macam sesuai dengan bacaan yang dibaca. Ada berbagai bahan bacaan, diantaranya buku, majalah, koran, brosur, dan internet. Yang disebut terakhir adalah bahan bacaan elektronik yang mengandung banyak sekali pengetahuan dari berbagai penjuru dunia. Untuk membuat pengetahuan/wawasan bertambah luas dan mendalam, kita bisa ‘kuliah’ dari bahan-bahan bacaan di internet.
Kalau dtelusuri lebih dalam, aktivitas membaca dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi pembacanya. Dari pengetahuan tersebutlah, manusia memandang dunia. Pengetahuan itu pada akhirnya akan mempengaruhi sikap seseorang dan sikap itu menentukan bagaimana seseorang merespon lingkungannya. Jadi, pengetahuan dapat merubah/membentuk sikap seseorang dalam menanggapi lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya, pengetahuan itu sangat menentukan identitas seseorang. Pengetahuan itu pula menentukan siapa dia sesungguhnya: apakah ia seorang pembelajar atau bukan.
Apakah manfaat membaca? Pertama, seperti dikatakan di atas, membaca akan dapat menambah wawasan seseorang. Semakin luas bacaan seseorang, maka semakin luas pula pengetahuannya. Kedua, dengan membaca, seseorang dapat memanfaatkan waktu luang dengan baik. Orang yang membaca berarti pintar memanfaatkan waktu secara positif. Dengan asyik membaca, maka orang terhindar dari pemanfaatan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna atau bermalas-malasan.
Ketiga, dengan membaca, orang dapat menelusuri pemikiran para ahli, para bijaksana melalui tulisan mereka. Berbahagialah orang yang suka membaca, karena dengan hobinya itu, yang bersangkutan dapat mengenal lebih dekat pemikiran dari para bijaksana, dan ini menuntunnya menjadi lebih bijaksana di dalam melakoni kehidupan. Keempat, dengan membaca, seseorang telah membuat jalan bagi dirinya sendiri untuk sukses. Kesuksesan itu memerlukan orang yang menguasai bidangnya, bijaksana dalam bersikap dan bertindak, berpengetahuan yang memadai dalam bidang yang ditekuni. Dan, semua itu dapat diperolehnya dari aktivitas membaca secara berkesinambungan.

Melihat demikian banyak manfaat membaca, maka mari kita lebih rajin lagi membaca. Sisihkan waktu untuk membaca setiap hari selama minimal satu jam. Bagi para pelajar, tentu dibutuhkan waktu membaca yang lebih banyak lagi. Sisihkan uang untuk membeli bacaan. Banyak toko buku yang menyediakan berbagai bahan bacaan. Tinggal tentukan bacaan apa yang disukai dan pilih. Terserah, mau dipilih bacaan yang sesuai dengan minat/hobi atau buku yang sesuai dengan kebutuhan studi.
Oke, selamat membaca. Semoga dengan cara ini wawasan kita akan bertambah, sikap kita akan kian bijaksana dalam merespon berbagai kejadian/peristiwa yang melintas di dalam kehidupan kita. Seperti dikatakan Ursula K. Le Guin, bahwa “kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri, apa yang dilakukan, dirasakan, dan dipikirkan orang lain -- entah itu nyata atau imajiner -- merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita mengenai siapa diri kita”.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
(economist-suweca.blogspot.com)
Read more ...

Hidup Penuh dengan Rasa Syukur

Oleh I Ketut Suweca

Sebagian dari kita mungkin suka mengeluh setiap hari, disadari atau tidak. Mulai dari bangun pagi hingga menjelang tidur ada saja yang pantas dikeluhkan. Ya, tidak punya inilah, tidak memiliki itulah. Cuaca tidak baiklah, tidak punya cukup uanglah. Tak punya makanan enaklah. Anak-anak tak mau membantu orang tuanyalah. Kekasih atau teman tak setialah dan masih banyak lagi. Keluhan-keluhan itu seolah-olah tiada putusnya. Ada saja sesuatu persoalan yang pantas dikeluhkan.
Mengeluh adalah bagian dari hidup, dan ini sangat manusiawi. Akan tetapi, mengeluh saja, apalagi mengeluh setiap hari, sama sekali tidak berguna. Keluhan itu lebih banyak membebani pikiran sehingga bisa menyebabkan stress dan kita pun tidak bisa menikmati hidup karenanya. Mengeluh itu seperti menyiram api dengan bensin yang membuatnya kian menyala. Semakin ‘menyala’ suatu keluhan, semakin berat beban pikiran yang harus ditanggung. Hidup itu sendiri memang sebagian terdiri dari masalah dan masalah. Tapi, kalau masalah tersebut dikeluhkan terus-menerus, maka dia akan kian membesar. Kalau tak yakin tentang ini, mulailah bangun pagi Anda dengan sederet keluhan, maka dapat dipastikan Anda akan sakit karenanya. Dan, jangan lupa, keluhan itu juga akan menarik hal-hal yang negatif ke dalam hidup.
Pernahkah kita begitu siuman di pagi hari, lalu dengan segera berterima kasih kepada Tuhan yang masih memberikan kesempatan menyongsong hari baru? Sudahkah kita bersyukur kepada Tuhan, karena kita telah diberikan kaki dan tangan, jantung, mata serta organ tubuh lainnya yang dapat berfungsi dengan baik sehingga dapat menunjang segala aktivitas kita? Pernahkah kita bersyukur atas semua harta, rumah, kendaraan, dan sebagainya yang kita miliki? Alih-alih bersyukur, kita mungkin malah lebih sering mengeluh karena belum memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Bersyukur adalah pola hidup yang selaras dengan ajaran agama. Semua agama mendorong umatnya untuk bersyukur atas apapun yang dimiliki. Kalau dilihat dari manfaat, bersyukur sendiri dapat membantu kita untuk menikmati ketenangan dan kedamaian hidup setiap hari. Juga, membuat jiwa kita lebih halus dan lebih mampu memaklumi segala persoalan yang menimpa kita. Dengan banyak bersyukur, kita menjadi lebih kuat menghadapi kehidupan, dan lebih bisa memaklumi bahwa kehidupan ini demikian berwarna. Artinya, kita bisa memaklumi segala perbedaan yang ada sekaligus tak hendak memaksakan keinginan terhadap orang lain. Kita menjadi lebih sabar dan mampu menjaga diri untuk tidak cepat larut dalam hal-hal negatif yang mungkin dapat merusak diri sendiri dan orang lain. Dengan banyak bersyukur, kita akan merasa lebih dekat dengan Tuhan dan merasa bahwa Tuhan selalu dekat dengan kita serta selalu membantu kita setiap kali ada masalah yang harus kita hadapi. Seperti dikatakan Dr. Robert Murphy, bahwa “orang yang memiliki hati yang bersyukur selalu selaras dengan Yang Tak Terhingga, dan tidak bisa menahan sukacita yang timbul dari merenungkan Tuhan dan kehadiran-Nya”.
Oleh karena itu, marilah kita mulai menyukuri apapun yang kita miliki dan apapun yang menimpa kita dalam menjalani kehidupan. Yakinilah bahwa masalah pasti selalu ada dalam kehidupan. Setiap masalah pasti ada hikmah di baliknya. Dalam setiap persolan, niscaya ada jalan pemecahan. Dan, tak ada masalah yang kekal, pasti akan berlalu, cepat atau lambat. Pintarlah kita menyukuri apa-apa yang sudah menjadi karunia Tuhan untuk kita.
Banyak hal yang pantas kita syukuri. Misalnya, kita bersyukur karena masih diperkenankan menghirup udara segar ketika fajar menyingsing, masih memiliki tubuh yang relatif sehat, mempunyai anak-anak yang sehat dan rajin belajar. Juga tetap bersyukur, walaupun mungkin kita hari ini dalam kedaan terbaring sakit, atau di kantong kita hanya ada uang sepuluh ribu rupiah. Percayalah, dengan selalu bersyukur, kepada kita Tuhan akan merentangkan jalan menuju kebaikan dan kebahagiaan. Acapkali problem yang kita hadapi membuat kita kacau, tetapi kalau kita tegar dan penuh syukur dalam menghadapinya, yakinlah setelah itu akan datang hikmah yang berguna asal kita senantiasa berupaya memberikan yang terbaik yang kita bisa. Mari, jadikan setiap hari sebagai hari baru, dimana rasa syukur selalu kita dendangkan.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?
(economist-suweca.blogspot.com)
Read more ...

Patung di Tengah Jalan Penyebab Kemacetan, Benarkah?

Oleh Drs. I Ketut Suweca, M.Si

Patung di tengah jalan, pada awalnya didirikan untuk kepentingan estetika kota. Berbagai kota di Bali mendirikan patung di berbagai tempat, termasuk di persimpangan jalan. Jadi, adalah hal biasa kalau patung itu dimaksudkan terutama untuk menambah keindahan sebuah kota.
Tetapi, mengapa patung-patung itu, seperti Patung Dewa Ruci di simpang siur Kuta, harus dievaluasi karena ditengarai sebagai penyebab kemacetan lalu-lintas? Kalau, misalnya, patung-patung yang diperkirakan menjadi biang keladi kemacetan itu dibongkar, apakah kemacetan itu hilang bersamaan dengan hilangnya patung tersebut? Dalam beberapa waktu mungkin ya, tapi untuk jangka panjang? Membongkar patung-patung yang ada adalah salah satu pilihan saja, tapi bukanlah alternatif terbaik. Sayang bukan, patung dengan tamannya yang telah dibangun dengan dana yang cukup besar dan sudah dipelihara dengan baik selama ini, tiba-tiba saja harus dibongkar lantaran ditengarai mengganggu kelancaran lalu lintas!
Kalau direnungkan lebih dalam, sumber penyebab munculnya persoalan kemacetan bukanlah patung-patung itu, melainkan karena sangat padatnya arus lalu lintas. Orang sekarang dengan mudah mendapatkan sepeda motor. Dengan uang muka kecil saja, sebuah sepeda motor sudah bisa diambil dari toko dan dipakai wara-wiri di seputar kota. Jumlah kendaraan, roda dua maupun roda empat, benar-benar memadati di kota Denpasar, apalagi pada jam-jam masuk dan keluar kantor. Kalau, misalnya, dalam kepadatan itu, salah satu saja kendaraan roda empat memutar haluan atau menyeberang jalan, maka ini sudah menimbulkan kemacetan. Sesungguhnya tingkat kepadatan lalu lintas yang terlalu tinggilah yang menjadi penyebab kemacetan.
Lantas apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Persoalan utamanya adalah masalah kepadatan penduduk. Denpasar sudah sedemikian padat penduduknya, terutama oleh para pendatang/kaum urban disertai banyak dan beragamnya sarana transportasi yang dimilikinya. Lagi pula semua aktivitas numplek di Denpasar, mulai dari industri, pariwisata, pendidikan, dan sebagainya. Kaum urban berbondong-bondong ke Denpasar untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak. Karena di Denpasar ada ‘gula’ maka banyak sekali ‘semut’ yang nglurug ke Denpasar. Denpasar pun menjadi tujuan utama kaum urban sehingga kota ini menjadi kota metropolis yang dihiasi kemacetan setiap hari.
Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas tersebut dalam jangka panjang seyogianya diawali dengan mengusahakan pemerataan pembangunan daerah-daerah lainnya di Bali sehingga memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat menarik tenaga kerja. Selama ini banyak sekali generasi muda dari berbagai kabupaten di Bali yang mencari kerja di kota Denpasar dan sekitarnya. Mereka meninggalkan daerah kelahirannya dan bekerja bahkan menetap di Denpasar. Yang masih di di desa kebanyakan orang tua renta yang tentu saja tidak lagi produktif.. Mereka, genrasi muda itu, tak akan mau kembali ke desa dengan alasan susah mencari kerja di desa asalnya. Kalau menjadi petani mengikuti kakek-neneknya, mereka emoh. Bagi desa yang ditinggalkan berakibat kemunduran, bagi kota yang dituju berbuah kemajuan, kepadatan penduduk, dan kemacetan lalu lintas!
Diperlukan pemikiran bersama seluruh pemerintahan di Bali (provinsi dan kabupaten/kota) untuk menentukan strategi yang dapat dilakukan untuk membangun Bali secara totalitas, tidak parsial. Juga, untuk menetapkan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mendorong terciptanya pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh kabupaten/kota di Bali dan bagaimana menarik investor agar menanamkan investasinya secara tersebar dan merata namun tetap dalam bingkai konsep “green province” dan pembangunan berkelanjutan. Hal itu perlu dilakukan untuk membuat simpul-simpul pertumbuhan ekonomi sekaligus menarik tenaga kerja agar tersebar relatif merata di kabupaten-kabupaten seluruh Bali dan tidak lagi numplek di Denpasar yang menimbulkan problem kemacetan.
Read more ...

Modal Dasar Pembelajar Sejati

I Ketut Suweca
Saya ingin mengajak pembaca untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan: apakah sebetulnya yang menyebabkan orang berhasil dalam hidupnya? Mengapa, misalnya, ada orang sampai bisa menjadi atlet internasinal, seperti Oka Sulaksana (selancar) dan Ade Rai (binaraga)? Mengapa ada orang sukses mencapai pendidikan demikian tinggi dengan sederet gelar pada namanya dengan seabreg buku hasil karyanya? Lalu, mengapa ada orang yang berhasil menjadi pengusaha besar padahal belasan tahun lalu ia hanyalah seorang anak petani penggarap di sebuah desa terpencil? Faktor apakah gerangan yang menjadikannya seperti itu?
Kesuksesan tampaknya demikian menyenangkan. Orang mungkin akan mengatakan betapa enaknya jadi orang sukses, baik sebagai atlet, ilmuwan, pengusaha, atau lainnya. Bisa makan enak, rumah besar, mobil terbaru, bisa liburan ke mana-mana, dan sebagainya. Akan tetapi, jarang sekali orang berpikir betapa kerasnya usaha yang harus dilakukan untuk mencapai keberhasilan itu. Kalau kita lihat dalam biografi atau otobiografi orang-orang sukses, ternyata banyak sekali waktu, tenaga, pikiran dan kemampuan yang dikerahkan untuk mencapai keberhasilan tersebut. Untuk mencapai puncak gunung tinggi, orang harus mendaki melalui lereng yang terjal. Untuk mencapai sukses orang pun dituntut untuk melakukan pengorbanan yang tidak kecil. Tak ada keberhasilan yang diraih hanya dengan duduk berpangku tangan, berleha-leha. Para atlet internasional, para guru besar dengan berbagai buku karyanya, para pengusaha sukses, para pelajar yang berprestasi mengagumkan, mencapai posisinya seperti itu, semuanya melalui perjuangan yang keras, panjang, dan melelahkan. Mereka harus menghadapi berbagai rintangan dalam perjalanan seperti rasa bosan yang sangat, rasa putus asa yang hampir-hampir menjatuhkan, dan bekerja keras siang malam di luar kebiasaan pada umumnya.
Akan tetapi, segala aral-rintangan yang ditemui di perjalanan tak membuatnya berpaling dari tujuan. Tujuan mereka jelas, yakni mencapai cita-cita yang sudah terpatri di dalam sanubarinya. Walaupun jalan yang dilalui mesti berkelok-kelok, terjal dan berbatu, mereka yang bermental sukses tak akan pernah mundur. Mereka melangkah dan terus melangkah maju bersama keyakinan dan komitmennya yang kuat untuk mencapai cita-cita.
Apakah yang dapat dipelajari dari mereka yang sukses dalam karier dan kehidupannya? Tak ada lain yang paling mendasar adalah kepribadian atau attidute-nya. Kepribadian yang di dalamnya berkobar api semangat yang dilandasi oleh dua hal, yakni ketekunan dan keuletan yang tiada tara. Orang-orang yang mencapai sukses memiliki ketekunan dan keuletan yang demikian kuat. Dengan modal ketekunan, mereka mampu secara terus-menerus memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sesuatu yang berharga untuk dicapai. Dengan keuletan, mereka tak pernah berpaling dari tujuan, kendatipun rintangan dan tantangan silih berganti datang menghadang. Kedua aspek kepribadian itu tetap kuat melekat di dalam dirinya, yang kemudian secara pasti mengantarkannya mencapai keberhasilan.
Sebagai pelajar di jenjang manapun, pelajaran apa yang kita dapat tarik dari mereka yang sukses? Tak ada pilihan lain selain mengikuti langkah mereka yang positif. Dalam hal belajar, bagaimana kita bisa memupuk tekad untuk belajar dengan baik, dengan sungguh-sungguh, walaupun banyak kesulitan yang pasti dijumpai tatkala kita menjalani prosesnya yang panjang. Ketekunan dan keuletan adalah dua modal dasar yang harus menjadi bagian dari kepribadian kita. Karena, tanpa ketekunan dan keuletan itu, mustahil bagi kita menjadi pembelajar sejati, apalagi menjadi pemenang yang sejati.
Pembelajar sejati akan mencapai kemenangan sejati. Sebaliknya, pembelajar semu akan menghasilkan kemenangan yang semu. Maknanya adalah, mereka yang tampak berhasil dalam prestasi belajarnya padahal semua itu diperoleh dengan cara-cara yang tak terhormat, akan menjadi pemenang semu. Dan, jangan lupa, para pemenang semu itu tak akan mencapai kemenangan sejati di dalam hidupnya, karena mereka sama sekali tidak mengadopsi nilai-nilai dasar kehidupan yang luhur dan hakiki, yakni ketekunan dan keuletan, serta satu lagi, yakni kejujuran. Tak ada gunanya bersorak girang merayakan kemenangan kalau kemenangan itu dicapai dengan cara-cara curang. Hanya mereka yang melangkah dengan cara yang terhormatlah yang akan mendapatkan kemenangan yang sejati.
Mari menjadi pembelajar sejati, karena dengan begitu kita tak akan menipu diri sendiri. Selamat menjelajahi karier dan ilmu pengetahuan dengan modal ketekunan, keuletan dan berteman baik dengan kejujuran.
Bagaimana pendapat Anda, para pembaca?

economist-suweca.blogspot.com
Read more ...

Memahami Filsafat Penelitian

Oleh :
I Ketut Suweca
I Made Sudarma

Apakah sifat manusia yang mendorongnya untuk mendapatkan hal-hal baru? Tiada lain adalah rasa ingin tahu (curiosity)-nya. Manusia juga mempunyai akal pikiran. Dengan akal pikirannya itu, manusia tergoda dan terus tergoda untuk mengetahui segala sesuatu yang ada pada dirinya dan di luar dirinya. Hal-hal yang tidak diketahui dan ingin diketahuinya itulah yang menyebabkannya terus-menerus berpikir. Menurut Deepak Coopra, setiap harinya ada 60.000 hal yang lalu-lalang dalam pikiran manusia! Sebagaian diantaranya, mungkin, pikiran yang penuh dengan tanda-tanya, misalnya, mengapa begini-begitu, apakah ini-itu, bagaimana caranya, di mana tempatnya, apa akibatnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab.

Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya berproses secara bertingkat, yaitu dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya, sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab “what” melainkan akan menjawab pertanyaan “why” dan “how”, misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernafas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu, tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.


Pengetahuan mempunyai sasaran, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal sehingga terbentuklah disiplin ilmu. Dengan perkataan lain, pengetahuan itu berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia. Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Namun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya, sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan. Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis. Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama, asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto). Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico). Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).

Arus Berpikir Epistemologi
Diskusi tentang arus utama berpikir dalam filsafat penelitian, juga dalam dunia filsafat pada umumnya ada tiga, yaitu : epistemologi, ontologi dan axiologi. Dengan cara berpikir epistemologi, berarti hendak diketahui dengan pasti bagaimana proses yang dimungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya/hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar? Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara, teknik dan sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa epistemologi membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui metode tertentu yang dinamakan dengan metode ilmiah. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pikiran (pengetahuan) yang lainnya. M. Lewis dan Saunders mengatakan bahwa “epistemology concerns what constitutes acceptable knowledge in a field of study” Diperlukan aturan dasar yang sesuai dalam pembentukan suatu lapangan ilmu, sehingga hasil riset yang dilakukan tidak bias dan lebih obyektif.
Untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, yang disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan, diperlukan cara pendekatan atau metode ilmiah, dengan langkah-langkah sebagai berikut : perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan ( Suriasumantri, 1988: 119-128).
Dalam hal menentukan masalah yang hendak dikaji secara ilmiah, masalah haruslah dibatasi secara spesifik di tengah-tengah luasnya permasalahan yang ada di dunia. Dalam kaitannya dengan penelitian, M. Lewis dan Saunders menyatakan bahwa “the research philosophy you adopt contains important assumptions about the way in which you view the world”. Setelah menentukan secara spesifik masalah dalam penelitian, barulah dapat ditentukan strategi riset dan metode yang dipilih
Selanjutnya, jika seorang periset bekerja di atas prinsip “positivisme”, maka ia melihat masalah secara apa adanya (natural). Dalam hal ini, periset/peneliti bekerja dengan melihat realitas sosial yang ada dan hasil yang didapatkannya merupakan generalisasi dari realitas itu. Jadi, seorang periset dalam bekerja lebih memilih bekerja dengan fakta-fakta, dan sebisa mungkin, bebas nilai untuk menjaga obyektivitas hasil kerjanya.
Kesimpulannya adalah bahwa manusia sesuai fitrahnya memiliki kemampuan berpikir, sesuatu yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Dengan kemampuan berpikir ini, ditambah pula dengan rasa ingin tahu (curiosity), manusia berupaya memahami dirinya sendiri dan fenomena-fenomena yang ada di sekelilingnya. Dari situ, manusia mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan. Tidak puas sebatas itu, manusia pun ingin mendapatkan tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi, yakni ilmu pengetahuan. Untuk mendapatkan ilmu, manusia harus memahami segenap proses yang diperlukan, termasuk harus bekerja dengan metode ilmiah yang diterapkan ke dalam berbagai penelitian. Penelitian yang dilandasi oleh cara positivisme akan melahirkan hasil penelitian yang spesifik, tidak bias, dan sesuai dengan fakta.

Read more ...